Masalah-Masalah yang Dihadapi Kaum Muda

Edisi C3I: e-Konsel 148 - Kesaksian Natal

Philip Tangdilingtin mengungkapkan empat masalah pokok yang dihadapi kaum muda pada umumnya, yaitu masalah dalam keluarga, masyarakat, gereja, dan diri kaum muda itu sendiri. Mengidentifikasi masalah merupakan tanggung jawab kaum muda itu sendiri untuk mengatasinya. Orang lain hanya dapat memberikan bantuan atau pendampingan. Dengan kata lain, kaum muda harus mendidik diri sendiri untuk mengatasi masalah secara mandiri. Jika memang tidak mampu, barulah minta tolong kepada orang lain.

Dalam hubungan dengan keluarga, ada kesenjangan nilai dan norma yang membawa kepada konflik antara kaum muda dan orang tua. Kurangnya perhatian dan pengertian kebanyakan orang tua, menurunnya wibawa orang tua karena pengaruh media komunikasi (TV, radio, majalah, koran, film, internet), posisi anak dalam keluarga (bungsu, sulung); semua itu membawa akibat bahwa kaum muda kurang merasa damai, aman, dan terlindung. Lalu mereka tidak kerasan tinggal di rumah, serta kehilangan kesempatan dan tantangan untuk berkembang penuh.

Dalam masyarakat transisi, pengaruh materialisme, hedonisme, konsumerisme, aturan ketat serba imperatif, keseragaman perilaku yang mengurangi tantangan dan daya cipta, kurang diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan berdialog secara leluasa, kenaifan dalam soal seksualitas dan realitas sosial, sikap pengangguran dan "drop-out", serta urbanisasi, sangat memengaruhi kehidupan kaum muda yang terpaksa harus menghadapi tantangan itu. Kaum muda sering terlahir dalam struktur sosial yang tanpa mereka sadari sering menguasai dan memanipulasi hidup mereka. Akibatnya, terjadilah sikap apatis, frustrasi, dan tidak aman dalam transisi.

Dalam gereja yang bertransisi, masalah yang dihadapi kaum muda berkaitan dengan sikap mental, baik dari pihak rohaniawan-rohaniawati maupun kaum awam. Pemahaman tentang sikap hidup bergereja (berjemaat) yang kurang tepat: sikap paternalistis, belum jelasnya konsep inkulturasi, sikap tak mau berubah dari sebagian umat, kemerosotan kesadaran akan perbuatan dosa dan upaya pertobatan yang kurang dalam hubungan dengan transisi nilai-nilai moral, pandangan terhadap kaum muda sebagai "komponen masa depan" semata-mata, dan seterusnya; semua itu mengakibatkan timbulnya sikap pasif, terasing, tidak diterima, dan tidak dihargai sehingga merasa tidak betah (kerasan).

Problematik dalam diri kaum muda sendiri umumnya berpangkal pada penampilan psikis dan fisik mereka yang masih serba labil dan terbuka pada pengaruh luar yang diserap lewat media komunikasi pergaulan, misalnya kenaifan seksualitas, upaya aktualisasi diri yang kurang mendapat tanggapan dan pengakuan, konflik sekitar kebebasan, kurang menyadari potensi dan mengenal diri, rasa rendah diri, kurang atau tak adanya kesempatan mengenyam pendidikan bagi sebagian kaum muda pedesaan dan mereka yang "tak punya", juga pengaruh dari perkawinan dini, kurangnya kesadaran dan upaya mengubah sistem adat yang menghambat perkembangan pribadi, kesulitan sekitar perumahan, lingkungan belajar, dan pergaulan bagi mereka yang datang dari desa ke kota besar. Semuanya itu mengakibatkan kaum muda menjadi gelisah, bingung, tidak pasti, dan masa depan suram.

Sumber
Halaman: 
106 -- 108
Judul Artikel: 
Keluarga sebagai Sekolah Cinta
Penerbit: 
Lembaga Literatur Baptis, Bandung 1995