Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Pemulihan Kesehatan Jiwa

Masalah dalam hidup manusia berasal dari dua sumber. Pertama, yang berasal dari luar diri, yang seringkali disebut sebagai faktor pencetus/precipitating factor, dan yang kedua berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Yang kedua ini seringkali disebut sebagai faktor bawaan/predisposing factor, yang sebenarnya sudah menjadi masalah pada dirinya sendiri sebelum ada faktor pencetus yang hadir.

Hidup manusia penuh dengan faktor pencetus masalah yang sebagian besar muncul tak terhindarkan. Seorang bisa mengalami kerugian, gangguan kesehatan, kecelakaan, perlakuan tidak fair, pasangan yang tidak setia, mempunyai rekan kerja sulit sekali diajak kerjasama dan sebagainya. Faktor-faktor pencetus ini bukanlah masalah yang sesungguhnya. Masalah yang sesungguhnya adalah faktor bawaan/predisposing factor, yaitu individu itu sendiri, bagaimana dia melihat, menafsir, dan bereaksi terhadap realita faktor precipitating, tersebut. Ada individu yang bisa bereaksi tenang dan bijaksana, ada pula yang panik kemudian melakukan perbuatan- perbuatan yang sangat merusak dan merugikan. Itulah masalahnya. Faktor precipitating yang sangat beratpun bisa dihadapi dengan tenang dan diselesaikan dengan baik jikalau individu tersebut tidak mempunyai faktor predisposing yang bermasalah. Itulah sebabnya, konselor yang berpengalaman dapat membedakan antara fenomena/gejala dari masalah, dan noumena/sumber masalah yang sesungguhnya.

Apa saja yang dirasakan mengganggu, dialami dan yang dikeluhkan klien kepada konselor sebenarnya hanyalah fenomena. Konselor yang kurang berpengalaman selalu terjebak untuk mempercayai dan menganggap "yang dikeluhkan tersebut" sebagai masalah yang sesungguhnya, sehingga mereka cenderung memberikan nasehat dan resep jalan keluarnya. Padahal, masalah yang sesungguhnya adalah faktor predisposingnya, yaitu cara individu tersebut melihat menafsir dan bereaksi atas faktor-faktor pencetus tersebut. Reaksi dan cara yang tidak wajar, tidak sehat dan merugikan adalah indikator kesehatan jiwa yang terganggu atau bermasalah, karena individu yang sehat jiwanya adalah individu yang sadar atas apa yang terjadi dalam dirinya. Yaitu sadar atas pikiran, perasaan dan tingkah-lakunya sendiri, dan kemudian, mempunyai kemampuan untuk mengontrol dan mengarahkan perasaan pikiran dan tingkah-laku tersebut untuk membangun hal-hal yang positif. Itu pula yang menjadi objektif atau tujuan dari konseling, yaitu menolong klien untuk dapat memiliki jiwa yang sehat. Sebagai contoh, perhatikan kasus dibawah ini.

Kasus: Aldi dan Ita (bukan nama yang sebenarnya) sudah menikah lebih dari lima tahun dan sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang sehat usia tiga tahun. Dari penampakan luar, pernikahan mereka baik- baik saja, tetapi sesungguhnya hubungan mereka sudah dingin dan hambar. Mereka hanya berkomunikasi seperlunya saja.

Pada suatu hari Ita mencari anda untuk sharing. Dia langsung menceriterakan bahwa hidup pernikahannya sudah tidak dapat diharapkan lagi. Sambil menangis ia menceriterakan tentang Aldi yang menyeleweng dengan bekas teman SMAnya dan hubungan itu sudah begitu jauh sampai hamil. Mula-mula kedua belah pihak keluarga sudah sepakat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan ganti rugi dan sebagainya, namun persoalan tersebut masih menggantung tidak selesai dan hubungan itu masih diteruskan.

Dengan putus asa Ita menceriterakan bahwa Aldi mengatakan, "ini bukan salah Ita ... ini salah saya sendiri ... memang sejak mula saya tidak mencintai Ita ... sebenarnya orang yang saya cintai dan dambakan untuk menjadi istri saya adalah dia (menyebut nama perempuan itu). Aneh sekali begitu bertemu kembali dengan dia, perasaan-perasaan saya yang lama itu hidup lagi. Saya sudah coba mematikan itu tetapi tidak bisa. Maafkan saya ..." Bagaimana kesan anda mendengar ceritera Aldi dan Ita ini? Memang Aldi bukan pribadi dengan kelainan jiwa sehingga perlu ditolong oleh psikiater dan psikolog. Fungsi hidup sosialnya baik, dan tanggung-jawabnya dalam pekerjaannya juga tidak tercela. Dengan kata lain, secara umum memang Aldi jiwanya cukup sehat. Tetapi kalau kita perhatikan dengan saksama, kita akan menemukan bahwa (a) ia tidak benar-benar menyadari atau mengenali secara objektif perasaan pikiran dan tingkah-lakunya sendiri. Ia tidak waspada dan menganggap apa yang muncul dari dorongan instingnya benar adanya, sehingga, (b) ia tidak mencoba mengontrol dan mengarahkan pada hal-hal yang positif dan benar. Jadi untuk kasus yang unik ini, beberapa poin dibawah ini perlu disadari oleh konselor Kristen yaitu:

1. Konseling Kristen yang sejati seharusnya Integratif. Maksudnya, pendekatan/approach konseling psikoterapi yang terbaikpun tidak selalu cukup, karena konseling Kristen membutuhkan konsep- konsep yang dihasilkan dari integrasi antara teologi, psikologi, filsafat, dan kemampuan mencerna kekayaan pengalaman-pengalaman hidup. Konselor yang terbiasa dengan pendekatan integrasi ini, akan segera mengenali gejala keunikan cara berfikir dan sikap hidup Aldi.

Aldi adalah pribadi yang terjerat dengan pola kehidupan jiwa seorang existentialist yang mempercayai penuh subjektifitas perasaan dan fikirannya sendiri. Ia bahkan rela jikalau hidupnya diatur oleh dorongan insting yang muncul begitu saja dan kemudian, tanpa kepekaan ia mengharapkan istri dan orang-orang lain memahami dan dapat menerima alasan dibelakang tingkah lakunya.

Memang, secara umum dan dari kaca mata sekuler, sikap Aldi dapat dimaklumi. Bahkan mungkin konselor-konselor yang jiwanya juga cenderung existentialist dengan mudah akan melakukan counter- transference dan terjebak dalam sikap menuruti kemauan Aldi. Akibatnya nasehat dan pengarahan yang sesuai dengan prinsip kebenaran iman Kristen akan melemah dan proses konseling akan berputar-putar melelahkan karena tak ada jalan keluarnya.

Sebagai konselor Kristen, kita seharusnya mewaspadai jebakan-jebakan existentialism yang sangat kondusif untuk pendekatan client-centered yang mengutamakan pendekatan non-judgemental/tanpa sikap menghakimi melalui sikap listening, empathy, acceptance dan understanding terhadap klien. Client-centered bagaimanapun bagusnya, tetap tidak cukup, karena pendekatan ini hanya bisa dipakai oleh konselor- konselor Kristen sebagai prinsip interaksi praktisnya. Sedangkan isi dan arah dari konseling itu sendiri haruslah didasarkan atas kebenaran yang integratif. Diluar konteks kebenaran yang integratif itu tak mungkin konselor dapat menolong Aldi yang "cukup unik jiwanya tetapi tidak sehat rohaninya".

2. Masalah Aldi bukanlah masalah pemilihan antara "realita dan cinta sejati". Masalah Aldi adalah masalah jebakan jiwa existentialism sehingga sebagai orang Kristen Aldi buta terhadap prinsip-prinsip kebenaran firman Allah. Aldi fikir perasaannya terhadap teman SMAnya itu adalah cinta sejati sehingga ia tidak boleh matikan. Aldi juga berfikir bahwa perasaannya yang bosan dan hambar terhadap istrinya sendiri adalah realita tak terhindarkan bahwa antara mereka sudah tak ada cinta lagi. Ia tidak sadar bahwa perasaan dan fikirannya semata-mata subjektifitas dari dirinya sendiri. Kehidupan Kristen tak seharusnya diatur oleh dorongan insting seperti itu. Hidup sebagai orang percaya haruslah diatur oleh prinsip diluar dirinya yaitu kebenaran objektif yang sumbernya dari Allah sendiri.

Perasaan dan fikiran subjektif manusia harus selalu diwaspadai karena tidak seharusnya menjadi penentu hidup. Allah menaruh kebenaran objektif yaitu hukum-hukum yang tak dapat dilanggar dalam hidup ini. Manusia tak dapat berbuat sesuka hati dan perasaannya sendiri. Dalam segala sesuatu ada hukumnya. Hukum gravitasi misalnya, meskipun suka, manusia tak dapat meloncat dari atas gedung bertingkat sepuluh dan mendarat tanpa cidra. Hukum electricity, begitu juga, meskipun mau, manusia tak dapat memegang kabel listrik hidup yang telanjang tanpa tersengat. Segala sesuatu diatur oleh kebenaran objektif dari Allah. Seorang ayah yang merasa sangat mengasihi anaknya, tetap harus merelakan anaknya dioperasi dan mengalami kesakitan jikalau anak tersebut kena radang usus buntu. Ia tidak boleh bersikap menurut subjektifitas perasaan dan fikirannya sendiri. Ia harus tunduk pada kebenaran objektif bahwa anak dengan radang usus buntu harus dioperasi, atau ia akan menghadapi konsekuensi logis yang jauh lebih menyakitkan.

Segala sesuatu dalam hidup ini ada hukumnya. Aldi harus tahu bahwa ia berhadapan dengan hukum Allah. Kebenaran objektif dari hukum Allah itu begitu jelas. Aldi harus belajar mengasihi istrinya, meninggalkan perjinahan, dan mematikan perasaannya terhadap WIL (wanita idaman lain) tersebut. Titik. Tak ada tawar menawar, dan tak ada excuse, apapun alasannya. Itulah hukum pernikahan Kristen, atau ia akan berhadapan dengan Allah dengan attribute "murka/wrath"Nya yang sangat berbahaya. Suatu kondisi fatalistik yang Jonathan Edward sebut sebagai "a sinner in the hand of angry God".

Memang pelayanan konseling harus dilakukan dengan empati dan understanding. Benar! Pelayanan konseling harus didasarkan atas kepekaan terhadap jeritan hati manusia seperti Aldi yang mungkin merasa tertekan dan terjebak dalam pernikahannya. Tetapi pertanggungjawaban hidup tidak dapat didasarkan atas perasaan dan fikiran subjektif manusia. Tidak heran jikalau Alkitab mengingatkan bahwa hanya takut akan Tuhan yang menjadi permulaan kebijaksanaan (Amsal 1:7)

3. Aldi harus belajar mengasihi istri dan membenci perjinahannya. Masalah Aldi merupakan masalah yang sangat sulit oleh karena menyangkut kerja insting yaitu sesuatu yang sumbernya adalah kebutuhan primer yang selama ini tak terpenuhi, yang terpaksa di- repressed karena kondisi yang ada. Kemudian kebutuhan primer dibelakang insting ini mendapatkan pemenuhan melalui pertemuannya dengan teman lama yang kemudian menjadi WIL nya. Itulah sebabnya Aldi tak mau melepaskannya.

Untuk masalah seperti ini, anda sebagai awam hanya dapat mendoakan Aldi, meminta waktu yang tepat dari Tuhan, dan mengkonfrontir dia dengan prinsip-prinsip kebenaran yang integratif di bagian 1 dan 2 diatas. Selebihnya anda dapat mendorong Aldi untuk mengikuti konseling/terapi yang dilakukan oleh mereka-mereka yang lebih professional. Biasanya mulai dengan menghancurkan resistensinya dan mau ditolong untuk berubah. Kemudian mengikuti latihan-latihan pengembangan sistim komunikasi yang baru dengan istrinya, dan sistim kehidupan yang baru untuk seluruh keluarga. Sekali lagi, tanpa dimensi spiritual, biasanya kasus-kasus seperti ini tak dapat diselesaikan dengan baik.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Jan. - Mar. 2003)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar