Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Mempertimbangkan Perceraian

Edisi C3I: e-Konsel 043 - Menghindari Perceraian

AYAT ALKITAB
Roma 7:2 1Petrus 3:7 1Korintus 7:3-4
Amsal 18:22 Filipi 2:3-5
LATAR BELAKANG

Perceraian, yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan penyimpangan dari maksud Allah, tidak disokong Alkitab kecuali dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa dari salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami istri itu. Kerap kali, kedua pihak sama bersalah. Kesombongan dan pementingan diri sendiri, sering menambah andil pada keadaan yang mendorong terjadinya perceraian.

Perceraian sering dihasilkan oleh kehendak yang kaku.
"Kata Yesus kepada mereka: 'Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.'" (Matius 19:8). Perceraian bukan maksud asli Allah bagi pernikahan.

Walaupun diputar balik bagaimanapun, Alkitab tidak membenarkan perceraian. Alkitab menandaskan:

"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." (Kejadian 2:24). Rasul Paulus menulis: "Kepada orang- orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya." (1Korintus 7:10)
"Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, Firman Tuhan, Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, Firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!" (Maleakhi 3:15-16)

Perceraian diizinkan, terbatas pada kondisi-kondisi berikut:
  1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan atau homoseks, dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari pengampunan Allah, atau meninggalkan dosanya dan kembali setia kepada istri atau suaminya. (Lihat Matius 19:9).
  2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan yang tidak beriman meninggalkan pasangannya yang Kristen. (Lihat 1Korintus 7:15)

Jika sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian bercerai, dia harus tetap dalam keadaannya itu. Jika seseorang sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya yang kedua itu berhasil. Meninggalkan pasangan yang kedua untuk kembali pada pasangan yang pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak menciptakan kebenaran!

Berpasangan dengan yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai dengan pasangannya yang bukan Kristen, untuk memenangkannya ke dalam iman pada Kristus (1Korintus 7:12-16).

Perhitungkan resikonya:

  1. Senang atau tidak senangkah Allah?
  2. Perceraian itu akan menganggu kelangsungan hidup dan membawa pengaruh buruk pada orang lain (anak-anak, orang tua, sanak keluarga), atau tidak?
  3. Sungguhkah ia akan menyelesaikan masalah, atau akan menciptakan masalah-masalah baru? Perceraian adalah suatu pengalaman emosional buruk yang membekas dalam.

Gunakan segala sumber untuk mencari jalan keluar:

  1. Mulailah berusaha dari diri sendiri, mencari jalan keluar dengan penuh kerendahan hati dan semangat mengampuni. (Lihat Matius 18:21-22)
  2. Mintalah dan ikuti secara serius, bimbingan pernikahan Kristen dari pusat bimbingan Kristen atau dari pendeta.
  3. Jika perlu, mulailah dengan mencoba hidup terpisah dalam usaha mencari perbaikan terutama dalam kasus penyiksaan jasmani dan mental, homoseks, alkohol, kecanduan, dan sebagainya. Dalam kasus ini pemisahan sementara sangat dianjurkan.

STRATEGI UNTUK MEMBIMBING
  1. Tunjukkan sikap kasih dan memperhatikan. Yakinkan dia bahwa Anda senang berbicara dengannya dan berusaha mencarikan jalan keluar. Anda ingin bertindak sebagai sahabat yang membagikan wawasan yang Anda miliki.
  2. Dengarkan dengan penuh perhatian. Silakan dia menceritakan kasihnya dan menyalurkan perasaannya, sampai Anda merasa telah mengerti situasinya.
  3. Jangan bersikap sebagai hakim. Jangan memihak. Sasaran Anda adalah menyampaikan sudut pandang Alkitab dan menantangnya untuk mengambil keputusan sendiri dan menerima akibatnya sepanjang hidup seterusnya. Ingat teladan Tuhan Yesus. Dengan lembut Dia melayani si perempuan Samaria, walaupun diketahui-Nya bahwa dia telah bersuami lima orang dan yang terakhir hidup bukan dengan suaminya. Dia menyatakan diri-Nya sebagai Juruselamat dan menawarkan "air hidup" kepadanya. (Yohanes 4:9-42)
  4. Katakan padanya, bahwa bila ingin menerima pertolongan dari Allah, dia harus menyerahkan dirinya kepada Kristus dengan segala konsekuensinya. Penyerahan diri itu harus tetap, tidak tergantung pada pemecahan masalahnya. Tanyakan apakah dia pernah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya.
  5. Sesudah menerima Kristus, dia berhak menantikan pertolongan dari Tuhan. Orang itu kini akan memiliki dimensi dan sudut pandang hidup yang baru, yang akan sangat membantunya dalam mencari pemecahan masalah. Dia bisa bergantung pada sumber pertolongan dan pengertian yang ada dalam Firman Tuhan, yang seharusnya mulai dibaca dan dipelajarinya. Orang itu pun bisa membawa seluruh permasalahannya kepada Allah dalam doa. Doa dan penelaahan Alkitab akan menciptakan pengaruh pada penyesuaian sikap-sikap kepribadiannya dan akan membantu dia mencari penyelesaian dengan pasangan hidupnya, melalui pertobatan dan pengakuan.
  6. Anjurkan dia untuk berupaya mencari segala kemungkinan untuk mendapatkan jalan keluar yang sesuai dengan Alkitab.
  7. Berdoalah dengannya, agar Allah memulihkan kembali hidup dan pernikahannya.
Sumber
Halaman: 
192 - 194
Judul Artikel: 
Buku Pegangan Pelayanan
Penerbit: 
Persekutuan Pembaca Alkitab, 1993

Komentar