Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Toleransi dan Prinsip

Meskipun pernikahan ada dalam ikatan pengetahuan dan ijin Allah, orang Kristen percaya bahwa hal memilih jodoh dan menikah ada dalam kebebasan dan tanggung-jawab manusia. Tidak heran jikalau sebagian besar pernikahan sebetulnya terjadi dengan orang yang "Allah tidak kehendaki." Tak selalu orang Kristen yang menikah dengan orang yang seiman, dengan sendirinya pernikahan tersebut dikehendaki Allah. Walaupun benar "secara umum" kepada setiap orang Kristen diajarkan untuk menikah dengan yang seiman (II Kor 6:14).

Orang Kristen percaya bahwa hidup tak diatur oleh nasib dan ketetapan Allah seperti yang manusia pikirkan. Ada perbedaan antara apa yang menjadi kehendak Allah (God's will) dengan apa yang menjadi ketetapan Allah (decreed will). Yang pertama, termasuk hal memilih jodoh dan menikah adalah hal yang tidak diatur oleh Allah dan pernah dipaksakan oleh Allah. Perkawinan Abraham dengan Hagar budak Sara jelas bertentangan dengan kehendak Allah, dan toch sudah terjadi dan sejarah tersebut tak terhapuskan. Begitu juga perkawinan Daud dengan Betsyeba yang terjadi melalui perjinahan. Jadi sebenarnya ada ribuan kehendak Allah kepada anak-anakNya, yang ternyata tak pernah terlaksana. Allah menghendaki orang percaya untuk memberitakan Injil, dan sampai akhir sejarah nanti, hanya segelintir orang Kristen yang melaksanakannya. Allah menghendaki orang Kristen untuk mengenal firmanNya, dan begitu sedikit orang Kristen yang rajin belajar untuk mengenal Alkitab sebagai firmanNya. Kehendak Allah hanya disingkapkan, tetapi tak pernah dipaksakan untuk terlaksana. Roh Kudus yang penuh kuasa bukanlah Roh yang memaksakan pembaharuan dan perubahan dalam hidup orang percaya. Itulah sebabnya Roh Kudus seringkali diduka-citakan dan suaraNya seringkali dipadamkan oleh manusia (Eph 4:30, I Tes 5:19).

Di tengah realita yang seperti inilah peristiwa pemilihan jodoh dan pernikahan terjadi. Banyak anak Tuhan yang bukan saja menikah dengan orang yang tidak seiman, tetapi bahkan sebagian besar menikah dengan pasangan yang sebetulnya tidak sesuai dengan kehendak Allah. Meskipun dalam konteks providensia Allah, tak pernah ada kebebasan mutlak, tetap realitanya orang percayapun dapat melakukan kesalahan yang serius yang akibatnya harus ia tanggung sepanjang umur hidupnya. Termasuk pernikahan dengan orang yang keliru. Yang anehnya, dalam iman kristen, kesatuan dan ikatan pernikahan "yang sudah terjadi walaupun dengan orang yang keliru," harus tetap dimasukkan dalam kategori sebagai pernikahan dari dua orang "yang sudah dipersatukan Allah" (Mat 19:6). Dengan demikian kesalahan yang sudah terjadi jangan ditambah dengan kesalahan yang lebih besar lagi. Dan setiap orang Kristen harus mengerjakan pernikahan mereka, menyelesaikan masalah-masalah mereka, dan membangun kehidupan pernikahan dan keluarga yang dapat memuliakan Allah. Dalam konteks inilah muncul masalah toleransi dan prinsip. Sampai dimana saya dapat mentolerir kelemahan dan kesalahan pasangan saya? Dengan prinsip apa saya mensikapi hal tersebut? Apakah toleransi saya cenderung menghindari segala masalah, dan cuek atau tidak peduli akan realita hidup ini, atau toleransi saya lahir dari pergumulan iman dan kepatuhan pada kebenaran firman Tuhan? Apa demi "perasaan rukun tak ada masalah" saya mentolerir kesalahan dan kelemahan pasangan saya, atau memang dalam kesadaran saya melihat bahwa "timing untuk menyatakan sikap dan prinsip kebenaran belum tiba" sehingga saya tidak mau memaksakan kehendak saya, meskipun secara prinsip, merupakan kebenaran (Mat 7:6)? Apakah saya tolerant oleh karena kesalahan dan kelemahan pasangan saya sebetulnya bukan kelemahan dan kesalahan yang serius, atau saya tolerant oleh karena saya tidak tahu dan tidak peduli akan prinsip kehidupan dan pembangunan keluarga Kristen? Nah untuk memperjelas persoalan- persoalan ini, coba sekarang kita perhatikan kasus di bawah ini.

Saya menikah sudah 14 tahun dengan laki-laki yang jauh lebih tua dari saya. Sekarang saya berusia 34 tahun dan suami sudah 52 tahun. Sebetulnya pernikahan ini diatur oleh orang tua suami saya yang adalah bos saya. Suami saya adalah anak laki-laki tertua Bos saya dan paling tidak pernah sukses. Sekolahnyapun cuma sampai SMP kelas 2 lalu berhenti. Bekerja juga kurang mampu, sehingga setelah menikah sayalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Itu semua sebenarnya OK OK saja, kalau ia tidak jahat. Sejak menikah ia seringkali memukul saya, dan sudah dua kali ia ketahuan mencoba menjinahi pembantu rumah tangga saya. Saat itu saya masih memaafkan dia, karena dia selalu menangis dan bersumpah tak akan mengulang lagi. Tetapi minggu yl ia mengulang kembali kebiasaan buruknya. Saya cuma lupa menseterika baju yang akan dipakai hari ini. Kata-katanya kotor sampai saya tidak tahan dan membalas. Akibatnya ia kemudian memukul kepala saya, sampai saya terjatuh. Muka saya bengkak. Saya menangis dan meminta cerai tetapi suami saya kemudian minta maaf dan berjanji tidak akan mengulang perbuatannya. Saya bingung...saya sebenarnya sudah capai...saya tidak mencintai dia lagi...kata lawyer saya "lebih baik cerai" tetapi bagaimana dengan kedua anak saya yang masih kecil-kecil. Baru-baru ini saya dengar dari seorang bahwa suami saya ternyata punya simpanan...katanya bekas suster rumah sebelah yang sudah lama ada hubungan dengan suami saya...ah, saya betul-betul sudah tak mau lagi dengan dia...dia sih enggak ngaku...tetapi saya benar-benar sudah tak mau lagi dengan dia...

Kasus diatas menyingkapkan tentang dua hal yaitu (1) level toleransi dari seorang istri yang sudah melewati batas kemampuannya, dan (2) prinsip yang tidak jelas yang seharusnya menuntun hidup seorang. Dan untuk menolong, sebut saja ibu X ini, beberapa prinsip konseling dibawah ini perlu dipikirkan.

  1. Coba tangkap pola pikir dan perasaannya.

    Ibu X rupanya seorang wanita yang mudah terpengaruh (sehingga tanpa prinsip yang jelas tentang apa itu pernikahan ia mau menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua dan tidak mempunyai kelebihan apa-apa) dan melihat hidup ini dengan kaca mata yang sangat sederhana. Ia bukan tipenya seorang wanita yang berprinsip. Sikap hidupnya lebih banyak diatur oleh instinctnya yang cuma berorientasi dengan kerja, mencukupi kebutuhan phisik dan mempunyai hidup "tanpa gangguan." Kemungkinan, sejak mula, hubungannya dengan suaminya juga tidak beres. Mungkin (melihat sikap suami yang explosive dan suka menangis kalau bersalah) ia menekan suami dan jarang melayani kebutuhan seksuilnya. Komunikasinya juga mungkin buruk karena pertimbangannya untuk cerai tidak diambil lewat pergumulan yang mendalam dari seorang yang sudah mempunyai banyak pengalaman dengan berbagai "variable interpersonal relationship" dengan suaminya (yang baik dan yang buruk). Keragu-raguan untuk bercerai semata-mata pertimbangan "status." Melalui analisa diatas, cobalah tangkap pola pikir dan perasaannya. Apa komponen-komponen yang ia pakai untuk memikirkan sesuatu, misalnya, hubungannya dengan suaminya. Apakah ia melihat suami sebagai seorang istri melihat suaminya? Bagaimana sistim penilaian yang ia pakai, misalnya: mengapa ia menilai sikap abusive (suka memukul) sebagai kesalahan fatal lebih daripada kelemahan- kelemahannya dalam seksuil? (nampak dalam susunan dan urut-urutan kalimat yang dipakainya). Apakah "untung-rugi" menjadi dasar utama mempertimbangkan kelanjutan hubungan dengan suaminya, atau...apakah ia memakai pertimbangan-pertimbangan yang lain? Lalu bagaimana dengan perasaannya? Apakah ia sedih, marah, kecewa, putus-asa, atau...cuma merasa tertipu dan hilang muka? Apa sebenarnya yang ia ingin selamatkan? Mengapa kepentingan harga dirinya lebih dari keutuhan seluruh keluarga? Apakah mungkin memang sejak mula ia tak pernah ada keinginan dan kesungguhan membangun kehidupan pernikahan yang harmonis dengan suaminya?

    Kalau anda berhasil menangkap pola pikir dan perasaannya, anda akan mulai mengenal dia dan anda akan betul-betul menyadari "dengan pribadi seperti apa" anda sedang berhadapan. Tentu anda tidak terpanggil untuk menyamatarakan setiap pribadi dengan kasus yang sama. Setiap pribadi betul-betul pribadi yang unik. Jangan anda menjadikan dia pribadi yang lain daripada dirinya. Apa yang menjadi realita dalam diri orang-orang lain, tidak selalu menjadi realita dalam kehidupan ibu X yang anda hadapi. Kegagalannya untuk bisa mentolerir kelemahan dan kesalahan suaminya didasarkan atas alasan, pertimbangan, dan motivasi yang khusus milik ibu X.

  2. Coba kenali apakah yang ia pegang betul-betul prinsip hidup yang benar yang didasarkan atas kebenaran Alkitab, atau prinsip semu yang subjektif yang sebetulnya bukan prinsip. Dalam pelayanan konseling, anda akan seringkali bertemu dengan pribadi-pribadi yang sikap, pikiran, perasaan, tingkah-laku dan keputusan-keputusannya diambil tanpa prinsip. Jangankan prinsip yang benar yang didasarkan atas kebenaran Alkitab, karena prinsip kebenaran umumpun kebanyakan dari klien sebenarnya tak pernah punya dan tak pernah pikirkan. Manusia pada umumnya hidup hanyut dalam proses alami yang tidak direncana dan disadari benar-benar. Memilih jodoh, pacaran dan kemudian menikah secara alami, dan kemudian memasuki kehidupan pernikahan juga secara alami, tanpa perencanaan, tanpa strategi dan tanpa tujuan yang jelas pernikahan untuk apa.

    Tentu anda tidak boleh menghadapi ibu X dengan prasangka yang semata-mata negatif seperti diatas. Tetapi harap anda sebagai konselor peka dan kenali realita hidup yang sesungguhnya. Jangan gampang-gampang percaya atas apa yang dikatakan oleh klien anda. Ujilah, apakah ia menyadari apa yang sedang terjadi dalam jiwanya dan dalam hidupnya. Apakah sikapnya didasarkan atas prinsip yang ia sadari dan yakini, dan apakah prinsip tersebut prinsip yang benar? Misalnya, ia tidak suka dan merasa sangat muak melihat suaminya masih tidur pada jam 10.00 pagi tetapi ia mengatakan dengan enteng kepada anda, "ya...lama kelamaan saya abaikan dah...daripada pusing sendiri" Nah, sikap seolah-olah tolerant ini lahir dari prinsip hidup yang benar dan didasari oleh prinsip atau tidak? Bayangkan, jikalau itu hanya sekadar ungkapan saat itu, dan ternyata diam-diam "perasaan tidak puas dan muak" tersebut menjadi salah satu pemicu dan komponen utama yang menentukan sikapnya terhadap suaminya. Sehingga dalam hal-hal kecilpun ibu X seringkali emosional, meledak dan tidak mau kalah. Jadi, kata-kata yang diucapkan ibu X bukanlah kata-kata yang lahir dari sikap tolerant yang sejati.

  3. Tolong dia supaya dapat memilih cara yang sehat untuk mengatasi pergumulan dan konflik-konflik bathinnya. Di tengah pergumulan dan masalah-masalah hidup yang kompleks, banyak orang Kristen yang tertipu dan suka menipu diri sendiri sehingga coba menyelesaikan persoalan dan konflik-konflik bathinnya dengan defence mechanism "reaction formation". Akibatnya, masalahnya tak pernah selesai dan pola-pola konflik bathinnya tersembunyi atau tersimpan untuk sementara. Pengalaman seperti ibu X diatas seringkali diatasi (atas anjuran dan nasehat pendeta) dengan prinsip "pokoknya tidak boleh cerai," "sabar," "tekun berdoa," belajar mendekatkan diri pada Tuhan, ikut kegiatan-kegiatan rohani, dan punya komitmen untuk melayani Tuhan. Akibatnya fokus perhatian ibu X diatas berpindah. Dia akan tertipu dengan kesibukannya yang baru, yang diharapkan menjadi sarana Allah menolong menyelesaikan persoalannya. Ia semakin merasa yakin, yang salah cuma suaminya dan dirinya sendiri sedang dilatih untuk beriman dan bersabar. Inilah yang Carl Jung katakan bahwa, Neurosis is always a substitute for legitimate suffering / neurosis hampir selalu menjadi bentuk pengganti dari penderitaan yang sungguh-sungguh (Collected Works of C.G. Jung, vol 2. Psychology and Religion: West and East. Trans. R.F.C.Hull, 2nd.Ed. Princeton, NJ.: Princeton Univ. Press, 1973.p.75). Mungkin orang akan melihat seolah-olah ibu X sudah menjadi orang yang "lahir baru" padahal sumber konflik bathin dan pola-pola kerja instinctnya (barangkali penyebab masalahnya) masih sama. Seharusnya ia mulai dengan cara yang sehat, yaitu (1) belajar mengenali dirinya sendiri sehingga dalam kejujuran ia mulai tahu pola-pola kerja pikiran dan emosinya, yang bisa merugikan khususnya dalam hubungan antara dirinya dengan suaminya. (2) Dalam terang Firman Tuhan, belajar untuk mulai mengatasi kelemahan atau sisi-sisi negatif yang merugikan. Memang benar "Jesus is the answer, but what is the question?". Jangan bertingkah-laku neurotik dengan mengadopsi tingkah-laku rohani dan berdoa saja karena Tuhan ingin kita tahu "apa sebenarnya persoalan dan pertanyaan kita di hadapanNya?" Tuhan memberkati anak-anakNya yang memikul tanggung-jawab dalam kepatuhan akan pimpinanNya.

    Oleh: Yakub B. Susabda, Ph.D.

    PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

    Seni Tidak Menghiraukan

    Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen, pernah berkomentar bahwa dalam pernikahan, sekali-kali kita perlu untuk tidak menghiraukan perbuatan pasangan kita. Ada banyak hikmat dalam komentar yang kedengarannya kurang simpatik tetapi mendarat ini. Setelah 16 tahun menikah, saya harus mengakui kebenaran saran Dr. Dobson itu.

    Tidak menghiraukan bukan berarti mengabaikan pasangan kita secara pribadi. Tidak menghiraukan mengacu pada sikap tidak mengacuhkan perbuatan pasangan kita yang mengganggu. Dengan kata lain, walau tidak kita sukai, kita memilih untuk mendiamkan atau memasabodokan tindakannya itu. Dr.Dobson mengimbau agar kita tidak senantiasa mempersoalkan setiap perbuatan pasangan kita yang tidak kita senangi. Akan ada hal yang harus diselesaikan, namun ada yang untuk didiamkan atau ditoleransi saja.

    Bagi saya, menoleransi merupakan suatu seni yang diperlukan dalam pernikahan, bahkan suatu keharusan apabila kita ingin hidup bersama. Menoleransi muncul dari pengakuan bahwa perbedaan tidak semata identik dengan kekurangan atau kesalahan. Saya berikan satu contoh dari rumah tangga kami sendiri. Saya bukan orang yang senang dan sering merapikan barang, namun saya orang yang menyukai kerapian. Jadi, saya berupaya mempertahankan kerapian selama mungkin. Ketidakrapian membuat saya tidak nyaman dan resah.

    Sebaliknya, istri saya senang dan sering merapikan barang, tetapi ia juga yang acap kali membuat barang tidak rapi. Saya malas merapikan, oleh sebab itu saya mencoba mempertahankan kerapian (agar tidak usah sering-sering merapikan). Istri saya rajin merapikan tetapi cepat pula meletakkan barang-barang di tempat yang sudah rapi sehingga akhirnya kembali tidak rapi.

    Pada awalnya, adakalanya ia meminta saya untuk membersihkan atau merapikan sesuatu permintaan yang saya turuti dengan setengah hati karena saya malas merapikan dan enggan membersihkan. Sudah tentu sikap saya ini membuatnya jengkel sehingga pada akhirnya istri sayalah yang paling sering membersihkan dan merapikan. Sebaliknya, kadang saya merasa jengkel karena sesuatu yang telah rapi cepat pula berubah menjadi tidak rapi akibat masuknya barang-barang yang tidak diundang di tempat itu.

    Pada akhirnya, istri saya belajar menoleransi kemalasan saya untuk membersihkan dan merapikan. Sebaliknya, saya pun menoleransi siklus rapi-tidak rapi dalam rumah kami. Saya harus jujur, adakalanya kami tidak selalu berhasil menoleransi dan yang keluar dari mulut kami adalah omelan. Namun, kami berusaha menoleransi.

    Menoleransi bertunas dari kesadaran bahwa seseorang tidak harus sama dengan kita dan tidak sama--meski menjengkelkan--merupakan sesuatu yang harus kita hormati. Sudah tentu di sini saya tidak sedang membicarakan tentang kebiasaan buruk yang bersifat moral- rohani.

    Contoh yang lain. Istri saya mempunyai cadangan energi yang jauh lebih banyak daripada saya dan ia pun jauh lebih jarang sakit dibanding saya. Masalahnya adalah, energi yang banyak ini membuatnya lebih sulit tidur untuk waktu yang lama. Jadi, setiap malam ia terbangun sekali atau dua kali...yang membuat saya turut terbangun pula.

    Saya adalah tipe orang yang memerlukan tidur malam tanpa gangguan; tidur yang tidak nyenyak merupakan jaminan besoknya saya menderita pusing kepala. Itulah sebabnya saya memberitahukannya akan "penderitaan" saya ini. Sudah tentu ia pun tidak ingin terbangun- bangun dari tidurnya, namun itulah keadaan dirinya yang harus diterimanya. Alhasil, istri saya yang baik ini kadang tidur dengan anak kami dan kadang tidur dengan saya. Apabila tidur dengan saya, ia pun mencoba sedapatnya untuk tidak banyak membuat gerakan.

    Menoleransi berarti mencarikan solusi yang tepat agar apa pun itu yang mengganggu, tidak lagi sedemikian mengganggu. Saya tidak bisa memaksa istri saya untuk tidak "terbangun" sebab itu merupakan permintaan yang musykil; sebaliknya, ia pun tidak dapat memaksa saya untuk "tidak terbangun" sewaktu ia terbangun (permintaan yang sama- sama mustahilnya). Menoleransi berarti berusaha mencarikan jalan keluar untuk meminimalkan dampak gangguan sehingga kita tetap dapat hidup bersama.

    Saya setuju dengan komentar Dr. Dobson; mempersoalkan segala sesuatu memang tidak akan ada akhirnya. Saya kira orang yang mempersoalkan segala sesuatu masuk dalam salah satu kategori orang yang paling tidak bahagia di bumi ini. Ada waktunya untuk mempersoalkan sesuatu; ada waktunya untuk tidak menghiraukan.

    Oleh: Paul Gunadi, Ph.D.

    Sumber
    Halaman: 
    --
    Judul Artikel: 
    Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 2000)
    Penerbit: 
    Departemen Konseling STTRI

Komentar