Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Anak Bermasalah dari Keluarga yang Cukup Baik

A child is the father of a man (anak sebenarnya adalah bapaknya manusia). Maksudnya, bagaimana jadinya manusia nanti tergantung dari kualitas kehidupan anak-anak sekarang. Di tengah proses pembentukan pribadi, apa yang dialami anak tak ubahnya sentuhan pahatan yang membentuk wujud manusia yang akan datang. Seorang psikiater Kristen, Dr. Frank Minirth pernah mengatakan,

"kalau kedua orang-tua sibuk dan tak pernah ada waktu, maka kebutuhan ketergantungan pada orang-tua tak terpenuhi. Anak- anak akan merasa tidak mempunyai pegangan hidup, cenderung depresi, tidak mampu mengatasi konflik-konflik batin, dan tidak siap memasuki kehidupan sosial dengan sesamanya. Kalau orang- tua tak pernah memperlakukan anak sebagai satu pribadi yang utuh, anak cenderung mengembangkan kepribadian dengan jiwa yang sakit (schizophrenia). Kalau orang-tua kasar dan kejam anak akan cenderung membawa rasa bersalah tanpa alasan, curiga, sulit mempercayai (paranoid), punya sikap negatif terhadap sesama, tak dapat menahan emosi dan tak dapat mengontrol tingkah-lakunya (compulsive). Kalau orang-tua memanjakan, anak akan cenderung mempunyai jiwa histeris. Kalau kedua orang-tua sering bertengkar, anak mempunyai jiwa yang terus cemas dan merasa tidak aman." ("Why Christian Crack-up," in Moody Monthly, Feb, 1982, p. 15).

Betapa krusialnya peran dan tanggung jawab orang-tua. Sayang sekali banyak orang bersedia menikah, membentuk keluarga, dan mempunyai anak tetapi tidak betul-betul menyadari akan beban dan tanggung jawab yang menyertainya. Umumnya mereka berasumsi bahwa pendidikan anak merupakan hal yang natural, sehingga tak perlu dipersiapkan dan dipelajari oleh orang-tua. Mereka berpikir bahwa pada masa prasekolah (balita) kebutuhan anak hanyalah makan, tidur dan bermain. Sehingga baby sitter dapat menggantikan peran orang-tua.

Mereka tidak sadar bahwa lima tahun pertama kehidupan anak justru masa yang sangat krusial karena 7-80% pembentukan kepribadian anak ada di sana. Bagaimana anak dapat menjadi manusia seutuhnya yang dapat mempercayai sesamanya, bekerja-sama dengan sesamanya, bahkan berani menciptakan jiwa saling ketergantungan dengan sesama, terbentuk pada dua tahun pertama dalam kehidupannya. Kemudian setelah itu masa tiga tahun adalah masa di mana anak mengembangkan jiwa yang dapat menghargai kemampuannya sendiri, berkreasi dan berinovasi. Barulah tahun-tahun setelah itu mereka membutuhkan konteks untuk mengaplikasikan bakat-bakat sosial dan kognisi (akali) yang sudah dipelajari sebelumnya. Yaitu untuk membangun intimasi, berkeluarga, mengembangkan peran-peran sosialnya di masyarakat. Apakah mereka akan berhasil, atau sebaliknya gagal, tergantung dari bekal-bekal mereka yang diperoleh sebelumnya.

Inilah krusialitas realita kehidupan manusia. Kelemahan dan ketidak-sempurnaan konteks kehidupan seringkali menjadi kondisi yang sangat tidak kondusif bagi mereka yang tidak mempunyai cukup bekal pada masa kecil mereka. Akibatnya mereka menjadi pribadi-pribadi yang bermasalah. Bahkan tragisnya, ketidak-sempurnaan konteks kehidupan tersebut seringkali tercipta tanpa sengaja, bahkan dalam keluarga-keluarga yang sebenarnya cukup sehat dengan kedua orang-tua yang cukup baik. Yang ... hanya dalam soal "pembekalan jiwa" kedua orang-tua tersebut tidak cukup persiapan sehingga tidak dapat berperan aktif membekali anak-anak mereka dengan komponen-komponen primer untuk kebutuhan pertumbuhan jiwanya.

Memang dalam diri setiap anak, betapapun kecil umurnya, ada subjektivitas yang ikut meresponi stimulus dari luar dirinya. Jiwa seorang anak bukanlah semata-mata "tabularasa/sebuah lembaran kosong" yang siap mendapat goresan untuk diisi apa saja. Ada keunikan response yang berbeda-beda dari setiap anak, dan interaksi antara stimulus dan response itulah yang membentuk pribadi seorang anak. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan anak pada masa kecil bukanlah satu-satunya penentu pembentukan pribadinya. Tidak heran jikalau stimulus yang serupa dari orang-tua yang sama bisa menghasilkan pribadi yang berbeda-beda dalam kehidupan anak-anak mereka. Response dari setiap anak ternyata mempunyai keunikannya sendiri-sendiri. Untuk dapat menghasilkan response yang "tepat" dan yang menghasilkan pembentukan pribadi yang "baik" diperlukan begitu banyak variabel yang saling terkait secara integratif. Pendidik John Dewey pernah mengatakan,

"stimulation and response are exceedingly one-sided" (secara ekstrim hubungan antara stimulus dan respon selalu cenderung sepihak. Maksudnya, hasilnya mengarah ke satu arah yang terkuat). Oleh sebab itu meskipun ada variabel-variabel yang baik yang terlibat, belum tentu hasilnya selalu positif. Untuk dapat menghasilkan pribadi-pribadi dengan "kebaikan sejenis" diperlukan banyak komponen yang dikontribusikan secara merata dan sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing. "Otherwise, influences which educate some into masters, educate others into slaves" (atau...kondisi pendidikan yang yang bagi beberapa orang bisa menghasilkan pemimpin, bagi yang lain hanya menghasilkan jiwa- jiwa budak) ("Democracy and Education," Ny: Free Press, 1916, p. 84).

Banyak orang-tua yang mengeluh dan mengatakan: "kami tak pernah menbeda-bedakan anak-anak kami, tetapi si A selalu merasa sebagai anak yang paling tidak kami kasihi. "Apa yang menjadi keunikan pribadi A di kemudian hari adalah produk dari interaksi antara stimulus dan keunikan subjektivitas response-nya. A lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang "cukup baik" dengan kedua orang-tua yang "cukup mengasihi." Ketiga saudaranya berhasil, dan tumbuh dengan kepribadian yang sehat, tetapi A tumbuh menjadi satu pribadi yang bermasalah. Sebagai contoh, perhatikan kasus A di bawah ini:

A adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua orang-tua aktif baik dalam pekerjaan (wiraswasta) maupun dalam kegiatan-kegiatan gerejani. Sebagai orang-tua mereka tidak mempunyai kebiasaan buruk atau kelemahan pribadi yang ekstrim. Kelemahan pribadi wajar-wajar saja. Sang ayah agak pendiam dan ibu cenderung dominan, tetapi mereka bukan orang-tua yang abusive, sering bertengkar, atau berwatak jahat. Tidak heran jikalau tiga anak yang lain baik-baik dan sangat berhasil dalam hidup mereka. Aneh hanya A yang selalu memberontak. Berani mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang-tua hanya oleh karena kelalaian yang kecil-kecil (misalnya: warna T-shirt yang dibelikan untuknya tidak sesuai dengan keinginannya). A selalu merasa dianak- tirikan. Akibatnya, memang ada pengalaman-pengalaman yang "bagi A" menyakitkan oleh karena disiplin yang diterimanya (misal: tiga hari tidak boleh nonton TV karena A tidak belajar dan nonton TV di kamar sampai jam 24.00 malam).

Sekarang A sudah menjadi seorang pemudi yang cantik. Tetapi heran ia selalu berpenampilan seadanya, dan sampai umur 31 tahun ia masih belum pernah punya pacar. Memang ia cukup berhasil dalam studi dan pekerjaan. Tetapi setiap kali didekati pemuda, A selalu menghindar. Coba pun tidak mau. Apalagi meminta pimpinan Tuhan dan mendoakan pria yang tidak ia sukai, yang sedang mendekatinya. Ia mengatakan bahwa ia hanya mau pacaran dengan tipe idealnya, yaitu seorang pria super, kaya, cakep, menyenangkan dan saleh.

Mengapa A menjadi seorang idealis ekstrim? Dan apa yang diperlukan untuk menolong A, yang kemungkinan besar tidak merasa membutuhkan pertolongan?

  1. Perlu menciptakan atau membangun hubungan yang baik (building a good rapport) dengan A. Kenal dan dapat bercakap-cakap tidak cukup. A harus menemukan bahwa anda adalah seorang yang menyenangkan untuk diajak berbicara, matang dalam berpikir, dan dapat dipercaya. Jadi, untuk menjadi konselor bagi A, kita perlu jujur terhadap diri sendiri, apakah kita orangnya.

    Melihat gejalanya, rupanya A sudah terbiasa hidup dengan hukumnya sendiri. Memang ia bukan seorang anti-sosial tetapi kepribadiannya cenderung eksistensialistik. Artinya, ia lebih percaya pada perasaan dan pikirannya sendiri. Mungkin ini terjadi oleh karena ia mempunyai kebutuhan "untuk merasa lebih dari saudara-saudaranya" di tengah situasi "kompetisi terselubung yang lebih menguntungkan saudara- saudaranya (yang memilih menjadi good children bagi kedua orang- tuanya)." Akibatnya A merasa "terabaikan" sehingga porsi cinta kasih orang-tua yang diberikan padanya dirasakan "tidak cukup." Lalu ia mulai merasa gelisah, dan untuk menutupi kegelisahan A melakukan "kesalahan-kesalahan" yaitu sikap atau tingkah laku "yang tidak appropriate" yang tidak biasanya ada dalam sistim interaksi dalam keluarga tersebut. Sehingga terjadi konflik, dan konflik-konflik kecil tersebut tak pernah terselesaikan dengan baik. Mulailah A terbiasa menekan perasaannya, dan lebih mempercayai pikiran dan perasaannya sendiri.

    Membangun "good rapport" dengan A adalah untuk dapat mendengar berita yang sesungguhnya di balik "cry for help/jeritan minta tolong" yang mungkin selama ini tak pernah dapat dikomunikasikan. Mungkin berita tersebut begitu simple dan mungkin juga, bagi anda sebagai konselor, kebutuhannya tak masuk akal. Tetapi ingat, A tidak membutuhkan penilaian anda tentang penting tidaknya kebutuhan tersebut. A tidak membutuhkan kuliah dan nasehat karena justru itulah yang selama ini diberikan kedua orang-tuanya atas keunikan kebutuhan pribadinya. Hal itu pulalah yang menjadi sumber masalahnya. Oleh sebab itu, listen/dengarkan saja. Jadilah teman bicara yang baik yang "non-judgemental/tidak menghakimi." Hargai kebutuhannya, walaupun mungkin kebutuhan tersebut terlalu bodoh dan tidak penting bagi anda. Misalnya, kebutuhannya untuk dibenarkan jikalau ia hanya mau berpacaran dan menikah dengan pria tipe idealnya atau lebih baik tidak menikah sama-sekali.

  2. Menolong A meninjau ulang pola pikirnya sendiri. Ini merupakan salah satu peran konselor yang terpenting dalam menolong A, yaitu menyadarkan dia akan keunikan pola pikirnya (pattern of thought) yang ternyata lebih banyak menghasilkan pengalaman hidup yang merugikan, bahkan sebagian fungsi kehidupan sosialnya terhambat.

    Memang tidak setiap pribadi dengan pola pikir seperti A kehidupannya bermasalah. Sehingga, konselor perlu menyadari bahwa keunikan pola pikir itu pada dirinya sendiri belum tentu menjadi sumber masalahnya. Oleh sebab itu mengubah pola pikir dengan memperkenalkan pola pikir yang "lebih baik" belum tentu menyelesaikan persoalan. Bahkan dalam pengalaman-pengalaman konseling, ternyata prinsip- prinsip kebenaran yang diakui kebaikannya pun tidak dengan sendirinya akan diterapkan oleh klien.

    Rupanya setiap pribadi mempunyai "encoding strategy (prinsip pribadi yang mengatur strategi)" dalam menyeleksi data-data yang diterimanya. Sehingga kebenaran yang diakui secara akali (cognitive) belum tentu menghasilkan dorongan (drive) untuk diterapkannya. Karena mungkin dalam encoding strategy tersebut ia selalu menganggap perlu adanya satu dua komponen pilihannya yang harus ada. Jadi kalau komponen-komponen tersebut tak ada dalam prinsip kebenaran yang ditawarkan kepadanya, ia tak akan mempraktekannya, meskipun ia mengakui kebenaran dari prinsip kebenaran tersebut.

    Sebagai contoh, kasus A di atas. Mungkin A akan mengakui bahwa pola pikirnya tidak efektif, dan (setelah dijelaskan) mungkin A juga mengakui bahwa hal mencari pimpinan Tuhan harus ditandai dengan keberanian untuk menggumulkan dalam doa pribadi-pribadi yang "kurang ideal" yang diijinkan Allah mendekati dirinya. Tetapi dalam prakteknya, A tidak akan sungguh-sungguh membawa pribadi-pribadi tersebut dalam doa jikalau komponen-komponen pilihannya (sesuai dengan encoding strategy-nya) tak ada dalam persoalan ini. Misalnya, "perasaan dipercaya dan diberi kebebasan secara penuh dari kedua orang-tuanya."

    Mungkin, setelah melihat umur A yang sudah tidak muda lagi, dan setelah menunggu dengan capai selama bertahun-tahun, kedua orang-tua A akhirnya mengatakan kata-kata bijaksana, seperti misalnya: "kami percaya penuh bahwa kamu cukup dewasa untuk menentukan pilihanmua sendiri." Apakah ini cukup, dan sudah memenuhi persyaratan dalam strategy encoding-nya? Belum tentu, karena bagi A statement yang bijaksana tersebut belum tentu merupakan bukti yang dapat dipercaya bahwa mereka sudah menganggap A dewasa dan sudah mempercayai bahkan memberi kebebasan sepenuhnya pada dirinya. Belum tentu, jikalau...selama ini apa yang dialami A lain dari pada itu. Sehingga dalam strategy encodingnya, A juga membutuhkan komponen khusus (apa itu, perlu ditemukan) untuk bisa mempercayai kata-kata orang-tuanya. Nah, untuk masalah pribadi yang rumit ini tidak tertutup kemungkinan diperlukan suatu "family therapy" di mana secara berkesinambungan seluruh keluarga bertemu dengan konselor yang professional. Dan itu bukan tugas anda lagi.

Memang kehidupan menusia begitu kompleks. Tetapi patut kita bersyukur kepada Tuhan jikalau dalam hati kita ada beban yang Tuhan sudah taruh untuk ikut memikirkan dan "mencoba" berperan menjadi alat Tuhan dalam pelayanan konseling ini. Tuhan kiranya memberkati dan memperlengkapi anda.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Palem Raja

Oleh: Dr.Paul Gunadi

Tinggal di Malang memberi saya banyak kesempatan untuk berjalan pagi dan menikmati pohon-pohon yang berbaris di sepanjang jalan. Salah satu pohon yang menarik perhatian saya adalah pohon palem raja yang, saya duga, masih serumpun dengan pohon kelapa. Selain dari bentuknya yang indah, pohon ini ternyata memiliki akar yang sangat kecil dibanding dengan tingginya. Akarnya, yang lebih mirip serabut kecil dan sangat banyak itu, ternyata mampu menopang dan membuat pohon yang tingginya lebih dari 10 meter itu berdiri tegak. Sekali lagi kita dapat menyaksikan karya Tuhan yang ajaib.

Akar palem raja mengingatkan saya akan hubungan-hubungan dalam keluarga, baik itu antara suami-istri ataupun orang-tua-anak. Anak membutuhkan interaksi dengan orang-tua dalam jumlah yang banyak, bak akar pohon palem raja dan di atas berlaksa interaksi itulah baru dapat dibangun sebuah pribadi manusia yang kokoh. Demikian juga dengan hubungan antara suami-istri. Tanpa interaksi kita tidak mungkin membangun relasi pernikahan yang kuat. Namun dalam kenyataannya anak tidak selalu memperoleh waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan orang-tua dan istri (biasanya) juga haus waktu gaul dengan suami. Waktu telah menjadi komoditas yang langka di dalam rumah kita sekarang ini. Untuk mendapatkan waktu, anak dan kebanyakan istri terpaksa bersaing dengan surat kabar, pekerjaan, televisi, telepon, atau karaoke--yang pada akhirnya lebih sering berakhir dengan kekalahan.

Saya dapat memikirkan sekurang-kurangnya dua mitos yang merintangi pemberian waktu ini. Pertama, kita masih mempercayai mitos bahwa yang terpenting bukanlah kuantitas waktu, melainkan kualitasnya. Saya mengamati bahwa beberapa di antara kita akhirnya memilih menjadi "orang-tua atau suami/istri akhir pekan" dan "orang-tua atau suami/istri jalan-jalan." Kita hanya menyediakan waktu untuk keluarga pada hari Minggu dan sarana menghabiskan waktunya adalah jalan-jalan. Itulah yang kita sebut--dan kita percayai sebagai-- waktu yang berkualitas.

Mitos kedua adalah suatu anggapan bahwa waktu berinteraksi tidaklah terlalu penting dan bukan merupakan kebutuhan pokok. Bukanlah pasangan dan anak kita selama ini baik-baik saja meski mereka tidak menikmati waktu bersama dengan kita? Harry Stack Sullivan menegaskan bahwa salah satu unsur terpenting untuk keberadaan dan pertumbuhan jiwa manusia adalah hubungan pribadi (relationship). Hubungan pribadi dengan sesama merupakan kebutuhan mutlak yang perlu dipenuhi dan kita tahu bahwa kebutuhan pokok yang tak terpenuhi niscaya menimbulkan gangguan atau penyakit.

Baik mitos pertama maupun mitos kedua sebetulnya merupakan delusi. Kita pun menyadari bahwa mitos-mitos ini tidak benar dan fakta hidup justru mengatakan kebalikannya. Masalahnya adalah kita lebih menyenangi hidup dalam delusi namun sekaligus mengharapkan bahwa keluarga kita akan menjadi keluarga yang sehat dan bahagia. Benar sekali pengamatan John Naisbitt tentang mentalitas manusia modern pada zaman ini. Kita berharap bahwa teknologi dapat memecahkan semua persoalan hidup dan dengan begitu kita bisa mengelak dari tanggung jawab pribadi.

Naisbitt menyajikan beberapa ilustrasi: Kita terus menantikan munculnya pil ajaib agar kita boleh melahap semua makanan berkadar lemak tinggi tanpa harus menaikkan berat badan; membakar bensin kendaraan sepuasnya namun tidak mempolusi udara; hidup semaunya dan tidak mengidap kanker atau sakit jantung. Dengan jeli Naisbitt akhirnya menyimpulkan, "Dalam benak kita, teknologi setidak-tidaknya hampir berhasil memerdekakan kita dari disiplin diri dan tanggung jawab pribadi. Masalahnya adalah, ia belum pernah dan tak akan pernah berhasil melakukannya. Makin canggih teknologi, makin besar pula kebutuhan akan sentuhan manusia."

Itulah delusi kita. Kita bergantung pada mainan, uang, rumah, mobil, busana, pekerjaan, status sosial, dan rekreasi seolah-olah mereka semua dapat mengisi rongga kebutuhan sentuhan manusia. Kita bermimpi bahwa benda-benda ini akan dapat menciptakan istri, suami, anak, dan keluarga yang sehat. Kita mengharapkan bahwa istri kita akan terus "tergila-gila" dengan kita tanpa kita harus menyediakan waktu bercengkerama dengannya. Kita ingin mempunyai anak yang sopan tetapi kita tidak mempunyai waktu mengajarkannya sopan santun. Kita mau agar anak kita bertumbuh menjadi anak yang percaya diri namun kita tidak pernah mengkonfirmasikan kepadanya kekuatan dan kekurangannya. Kita meminta anak terbuka kepada kita tetapi kita jarang meluangkan waktu berbicara dengannya. Kita menuntut suami mencintai kita namun kita lebih sering memikirkan pekerjaan kita daripada memikirkannya. Tanpa sentuhan kita--percakapan, canda, main, perselisihan dan perdamaian--rongga jiwa mereka kosong melompong.

Pohon palem raja lumayan tinggi; bak tiang listrik ia menjulang sendirian ke atas dengan pongahnya. Ia tak takut badai karena ia tertancap kokoh di tanah, bukan oleh satu atau dua helai cengkeraman akar yang berdiameter besar. Ratusan, mungkin ribuan akar kecil seperti cacinglah yang membangunnya dengan perkasa. Terlalu sering saya bertemu dengan mereka yang berongga hampa, mereka yang dibangun hanya oleh satu atau dua helai akar...yang berdiameter kecil.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Okt. - Des 1998)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI

Komentar