Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Isu-isu dalam Pastoral Konseling

Edisi C3I: e-Konsel 026 - Pastoral Konseling

APA ITU PASTORAL KONSELING?

Definisi:

Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik (interpersonal relationaship) antara hamba Tuhan (pendeta, penginjil, dsb.) sebagai konselor dengan konselenya (klien, orang yang minta bimbingan), dalam mana konselor mencoba membimbing konselenya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (condusive atmosphere) yang memungkinkan konsele itu betul-betul dapat mengenal dan mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri, persoalannya, kondisi hidupnya di mana ia berada, dsb; sehingga ia mampu melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencoba mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan kepadanya.

Berdasarkan definisi di atas kita bisa melihat paling tidak ada empat aspek penting yang harus dikenal oleh setiap konselor (hamba Tuhan), yaitu:

  1. Hubungan timbal balik (interpersonal relationship) antara konselor dengan konselenya.
  2. Hamba Tuhan sebagai konselor.
  3. Suasana percakapan konseling yang ideal (condusive atmosphere).
  4. Melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya pada Tuhan dan mencapai tujuan itu dengan takaran, kekuatan dan kemampuan seperti yang sudah diberikan Tuhan padanya.

[Red.: Kami akan menyajikan aspek pertama dari keempat aspek tersebut dalam artikel ini, dan bagian dari aspek kedua dalam kolom Tips.]

HUBUNGAN TIMBAL BALIK (INTERPERSONAL RELATIONSHIP) ANTARA PENDETA DAN KONSELENYA.

Pastoral Konseling adalah suatu interpersonal relationship, suatu dialog (dan bukan monolog) yang terjadi antara pendeta dan konselenya, yang bisa melibatkan, seluruh aspek kehidupan mereka masing-masing. Sebagai konselor, pendeta tidak hadir sebagai pengkotbah di atas mimbar yang memberikan firman Tuhan, nasihat, teguran, dan ajaran pada konselenya; karena ia sekarang berhadapan muka dengan konselenya sebagai dua pribadi yang utuh, yang masing- masing punya hak (dan kebebasan) untuk mengekspresikan dirinya.

"Kenapa" hubungan timbal balik ini harus merupakan suatu dialog.

Pertama, oleh karena role (peran) seorang konselor tidak sama dengan role seorang pengkhotbah. Sebagai pengkotbah, seorang hamba Tuhan membawa role yang lebih cenderung pada role Nabi yang memberitakan firman Tuhan. Secara praktis ia adalah seorang mediator (pada saat berada di atas mimbar antara Allah dan umat-Nya. Oleh sebab itu, kata-kata dan pidato yang ia sampaikan dari atas mimbar boleh (bahkan seharusnya) diterima sebagai firman Tuhan sendiri. Jemaat adalah penerima kotbahnya yang ia persiapkan dengan kepercayaan bahwa itulah yang dibutuhkan oleh mereka. Padahal sebagai konselor, seorang hamba Tuhan membawakan role yang lebih cenderung pada role Imam. Oleh sebab itu sama seperti Tuhan Yesus ia terpanggil untuk mengorbankan dan merendahkan dirinya sendiri menjadi sama (equal) dengan konselenya (Filipi 2:5-8).

Kedua, oleh karena sebagai konselor, hamba Tuhan menyadari bahwa satu-satunya kemungkinan untuk membawa percakapan konseling itu pada suasana percakapan yang ideal (condusive atmosphere) adalah jika konsele betul-betul merasa diperlakukan sebagai satu subyek, pribadi yang utuh yang persoalannya, perasaannya, cara berpikirnya bahkan segala sesuatu yang ada padanya mempunyai nilai untuk dihargai.

Hal-hal "apa" yang perlu diperhatikan konselor dalam hubungan timbal balik ini.

1. Sikap merugikan dari pihak konsele.

Dalam hubungan interpersonal relationship, konselor mesti menyadari adanya berbagai kemungkinan yang merugikan, ditimbulkan oleh sikap konsele terhadap konselornya.

  1. Dalam hubungan dengan "simbol Allah" (symbol of God) yang melekat pada hamba Tuhan.

    Hamba Tuhan, siapa pun mereka, adalah pembawa simbol Allah. Tipe pelayanannya (sering berdiri di atas mimbar dengan membawakan "firman Allah"), pakaian, dan alat-alat pelayanan yang dipakai, telah menyebabkan sebagian besar jemaat memandang hamba Tuhan tidak seperti manusia pada umumnya.

    J. Piaget pernah menulis, bahwa pada fase remaja (adolescence), seorang anak yang normal seharusnya sudah dapat mengembangkan konsepsi tentang Allah yang abstrak. Tetapi kenyataannya ada banyak orang, yang oleh karena satu dan lain sebab, masih terus menerus hidup dengan konsepsi tentang Allah yang konkrit pada masa dewasanya, yang sebenarnya merupakan konsepsi Allah yang manusiawi (anthropomorphic concept of God), yang modelnya tidak lain daripada orang tuanya sendiri. ("The Moral Judgement of the Child", New York, Hartcourt, 1932.) Dan ini adalah alasan utama dari sikap yang tidak wajar pada banyak anggota jemaat terhadap pendetanya. Rupanya ada banyak sekali anggota jemaat yang tidak mampu melepaskan konsepsi tentang Allah yang anthropomorfistis itu dan mengembangkan konsepsi tentang Allah yang abstrak. Oleh sebab itu, setiap kali mereka bertemu dengan orang-orang yang mempunyai otoritas (authority figures), mereka secara otomatis cenderung untuk menhidupkan sikap penyerahan diri secara total (total dependency) pada orang itu.

    Selama konsele melihat hamba Tuhan (konsele) sebagai pembawa simbol Allah (yang setiap katanya diterima sebagai firman Allah yang mutlak benar), maka proses konseling itu menuju pada arah yang tidak sehat.

  2. b.
  3. Dalam hubungan dengan gejala "transference" (pemindahan perasaan) dalam setiap interpersonal relationship (hubungan timbal balik) antara dua pribadi.

    Transference adalah istilah psikologis untuk menunjuk pada gejala pemindahan perasaan dari yang seharusnya ditujukan pada obyek lain pada masa lampau kepada obyek yang baru pada masa kini. Transference adalah gejala yang tidak mungkin dihindari yang pasti akan terjadi dalam setiap interpersonal relationship antara dua pribadi. Oleh sebab itu transference pasti akan terjadi dalam proses konseling di antara konsele dan konselornya.

    Seperti yang dikatakan Sigmund Freud, "Transference is an inevitable phenomenon of emotional involvement in every interpersonal relationship. Transference arises spontaneously in all human relationships just as it does between the patient and physician" (Five Lectures on Psychoanalysis, New York, W.W. Norton & Co Inc., 1977, p. 51).

    Sebagai gejala dari alam ketidaksadaran (unconsciousness), transference terjadi mula-mula oleh karena adanya banyak kebutuhan pada masa lampau yang tidak atau belum terpenuhi, yang terpaksa ditekan untuk dilupakan (repressed). Kebutuhan-kebutuhan itu (yang sebagian besar timbul dalam hubungan dengan orang tua) bisa positif bisa negatif, bisa merupakan kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi maupun kebutuhan untuk melampiaskan kebencian, kemarahan, dsb.

    E.M. Rosenweig mengatakan,

    "As the representative of God, the minister is the object of the universal ambivalence toward father authority; on the one hand veneration and respect, on the other hand resentment, rebellion and hostility" ("The Minister and Congregation: A Study in Ambivalence", Psychoanalytic Review, 1941, pp. 218-228).

    Kebutuhan-kebutuhan itu (oleh karena belum terpenuhi dan terpuaskan) akan selalu mencari kesempatan (sebagai rangsangan insting) untuk dipenuhi. Dan transference adalah salah satu jalan yang secara natural dimiliki oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi. Dalam setiap interpersonal relationship dengan orang lain, pasti terjadi suatu gejala transference, gejala pemindahan perasaan(yang sebagian besar tidak disadari) yang arahnya adalah pemenuhan kebutuhan yang belum terpenuhi pada masa lampau. Begitu juga dalam hubungan antar konsele dan konselor, gejala transference ini pun pasti terjadi. Konselor harus menyadari bahwa dalam interpersonal relationship itu pasti ada hal-hal dari dirinya sendiri (entah wajahnya, pandangan matanya, suaranya, mode rambutnya, pakaiannya, cara berbicaranya, dsb.), yang menstimulir proses terjadinya gejala transference. Dan sikap dari konsele terhadap konselor sebagian besar terjadi oleh karena gejala transference itu. Kegagalan konselor untuk mengatasi atau mengontrol gejala tranference adalah permulaan kegagalan proses konseling itu sendiri.

2. Dorongan yang merugikan dari dalam diri konselor sendiri

Dalam interpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada terhadap dorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru dari dalam dirinya sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan pelayanan konselingnya.

PERTAMA, ialah kebutuhan untuk melakukan counter-transference.

Counter-transference adalah istilah psikologis yang artinya tidak lain daripada sikap menyambut dan menanggapi gejala tranference dari konsele yang ditujukan padanya. Dan sebab yang terutama ialah oleh karena sebagai manusia biasa hamba Tuhan (konselor) juga punya banyak persoalan dan banyak kebutuhan (positif maupun negatif) yang tidak atau belum terpenuhi.

E. Mansell Pattison, M.D. mengatakan, "Counter-transference distortions occur when a pastor attempts to solve his own problems through the problems of the parishioners which he feels he must deny in himself" ("Tranference and Counter- transference in Pastoral Care". The Journal of Pastoral Care, Vol. XIX, No. 4, 1965, p. 199).

Kegagalan proses konseling dialami oleh banyak hamba Tuhan oleh karena ia tidak menyadari akan gejala counter-transference dari dirinya sendiri. Sebagai konselor seharusnya hamba Tuhan bersikap betul-betul netral, mampu mengontrol emosinya dan tidak membiarkan sikapnya dipengaruhi oleh sikap (yang biasanya merupakan gejala transference) dari konselenya. Seperti yang dikatakan Karl Meninger, hendaknya ia selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan counter-transference, yang bisa mengambil salah satu bentuk dari duabelas sikap tidak sehat di bawah ini:

  1. Carelessness in appointment schedules. (Tidak menepati janji dan semaunya sendiri dalam memakai waktu yang tersedia).
  2. Repeated erotic or hostile feelings. (Munculnya perasaan berahi atau sebaliknya, yaitu benci kepada konsele).
  3. Boredom or inattention during counseling. (Munculnya perasaan bosan selama proses pembimbingan).
  4. Permitting or encouraging misbehavior. (Membiarkan sikap dan tingkah laku yang tidak seharusnya terjadi).
  5. Trying to impress the parishioner. (Selalu ada keinginan untuk menyenangkan konsele).
  6. Arguing. (Berdebat).
  7. Taking sides in a personal conflict. (Memihak dalam konflik yang dihadapi konsele).
  8. Premature reassurance to lessen anxiety. (Memberikan janji-janji dan jaminan-jaminan pada konsele yang terlalu dini untuk mensukseskan kelanjutan pemimbingan).
  9. Dreaming about parishioner. (Terbayang-bayang wajah konsele).
  10. Feeling that the parishioner's welfare or solution to a problem lies solely with you. (Merasa bahwa hidup dan penyelesaian persoalan seluruhnya tergantung pada kita).
  11. Behavior toward one parishioner in a group differently from other group members. (Sikap membedakan dari anggota yang satu dengan yang lain dalam gereja yang kita gembalakan).
  12. Making unusual appointments or behaving in a manner unusual for you. (Membuat janji-janji pertemuan yang tidak biasa dengan konsele dan bersikap tidak wajar). (Theory of Psychoanalitic Technique, Basic Books, New York, 1958, footnote 5).

Sama seperti transference itu sendiri ambivalence pada naturenya (bisa positif bisa negatif) begitu juga dengan counter-tranference. Hamba Tuhan harus selalu waspada terhadap kebutuhannya sendiri untuk melakukan counter-tranference, baik terhadap ibu yang kehausan kasih dari suami, yang mentranfer kebutuhan kasih itu padanya, atau terhadap seorang pemuda yang karena kebutuhan balas dendam pada orang tuanya telah mentranfer kebenciannya pada konselor, dsb.

Bagi hamba Tuhan (konselor) kebutuhan untuk melakukan counter- transference adalah kebutuhan yang sangat berbahaya yang akan menggagalkan pelayanan konselingnya. Hamba Tuhan harus menyadari bahwa dia bukan psikiater (dokter jiwa) ataupun psychoanalyst (yang memang terlatih untuk memakai gejala transference dan counter- transference untuk tujuan terapi), oleh sebab itu dia tidak boleh mencoba dengan sengaja melakukan counter-transference dan menstimulir gejala transference dari konsele untuk tujuan apa pun juga.

Douglas G. Burgoyne mengingatkan dalam suatu artikel, "Since the transference relationship ..... is generally conceded to be one of the most difficult parts of the therapist's work to handle and requires therefore considerable psychiatric training for its successful handling, it is strictly "hands off" for the clergyman in his counseling unless he is also a trained psychiatrist" (Some Basic Concern for the Clergyman as Counselor", Journal of Pastoral Care, 1961, 15, pp 72-85).

Karena tanggung jawab utama dari hamba Tuhan dalam menghadapi gejala transference ialah:

i. Mengenal secara benar gejala itu, dan tahu memakai role-nya yang penuh otoritas sebagai hamba Tuhan, untuk menolong konsele. (Howard J. Clinebell, "Mental Health Through Christian Community", New York, Abingdon Press 1965, p. 180).

ii. Menyadarkan konsele akan apa yang sedang terjadi pada dirinya, dan menyadari unsur-unsur yang tidak realistis yang mempengaruhi perasaan dan tingkah lakunya pada saat itu. (Kathleen Heasman, An Introductioin to Pastoral Counseling, London Constable 1959, pp. 59-60).

iii. Menolong konsele untuk menemukan identitasnya sebagai orang percaya dalam tanggung jawabnya pada Tuhan dan mendorong dia untuk mengambil keputusan etis yang rasional (James E. Davison "On Transference", Journal of Pastoral Psychology, April 1971, p. 26)

KEDUA, ialah kebutuhan untuk menikmati simbol Allah yang ada padanya.

Ada banyak hamba Tuhan yang tanpa sadar telah menyalahgunakan simbol Allah yang ada padanya untuk kepentingannya sendiri. Gejala ini disebut oleh Ernest Jones sebagai "The God Complex", di mana ia mengatakan: "In which we may learn that identification with God results in feeling of omnipotence, omniscience and belief in the magical power of one's word to change things just saying so "Thus saith the Lord". Further, the pastor maybe tempted into beliving that he knows all the answers to each personal problem or that people will change because of his authority. So it is always expected to produce a feeling of admiration and dependency on the part of the client" ("The God Complex", Essays in Applied Psycho- analysis, Vol II, Hogard Press, London, 1951).

Yang patut mendapat perhatian ialah, ternyata kebutuhan yang merugikan ini sering kali bukan hanya sekedar ekspresi dari kebutuhan manusiawi pada umumnya (kebutuhan akan pujian dan penghargaan), tetapi kebutuhan tidak sehat dari kepribadian yang sakit yang sering kali disebut dengan istilah 'narcissism'.

Menurut psyshoanalyst yang kenamaan Otto Kernberg, 'narcissism' sebenarnya bukan 'self-love' (mengasihi diri sendiri) melainkan 'self-hatred' (membenci diri sendiri), yaitu ekspresi yang unik dari sikap membenci diri sendiri. Oleh karena itu seorang yang menderita 'pathological narcissism' selalu merasa tidak mampu hidup tanpa pujian dan kekaguman dari orang-orang lain. ("Why Some People Can't Love", Otto Kernberg, interiewed by L. Wolfe, Psychology Today, June 1978, p. 55)

Seorang 'pathological narcissism' sangat peka terhadap kekurangan dan cacat cela yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi sayang sekali kepekaan itu tidak mendorong dia untuk menghadapi realitas yang ada dan mencoba memperbaikinya, melainkan justru mendorong dia untuk melupakan kelemahan dan cacat cela yang ada pada dirinya sendiri.

Dan celakanya, Andre Bustanoby dalam risetnya menemukan bahwa banyak sekali orang Kristen yang memilih profesi hamba Tuhan atau pendeta justru oleh karena kecenderungan pada pathological narcissism yang tidak disadari dalam dirinya sendiri. Di mana mereka melihat bahwa melalui profesi ini, mereka bisa melampiaskan kebutuhan narcissism itu secara tersembunyi. Ia mengatakan,

"The narcissism-competitive personality is the most common personality among ministers .... the ministry is an especially suitable profession for this sort of person" ("The Pastor and the Other Woman", Christianity Today, August 30, 1974, pp.7-10).

Sebagai konselor hamba Tuhan harus menyadari apakah dalam pelayanan konseling itu ia punya kebutuhan untuk justrus menikmati simbol Allah yang ada padanya. Apakah kecenderungannya untuk selalu menyatakan firman Allah ("Thus saith the Lord") dengan mengutip ayat-ayat Alkitab dan memaksakan nasihat-nasehat dan resep-resepnya yang manjur justru ada padanya oleh karena kepribadian narcissistic- nya. Apakah pelayanan konselingnya (yang biasanya penuh kasih itu) betul-betul lahir dari suatu kepribadian yang sudah diperbaharui oleh Roh Kudus atau oleh karena ketakutannya kalau dianggap sebagai konselor yang tidak becus dan terbatas kemampuannya. Seperti yang dikatakan oleh Shirley Sugerman, "In order to avoid falling ill, he must begin to show love to others" ("Sin and Madness, Studies in Narcissism", Philadelpia Westminster Press, 1976, p.130).

Otto Kernberg dengan tajam sekali menyingkapkan fakta yang sering dialami oleh seorang 'narcissistic pastoral couselor', yang pelayanannya sebenarnya dilakukan tanpa kasih. ".... then this relationship to them is exploitative and parasitic, although this maybe masked behind a surface which is very often engaging and attractive, he can very easily become restless and bored" ("Why Some People Can't Love", Psychology Today, June 1978, p.56).

Sumber
Halaman: 
4 - 11
Judul Artikel: 
Pastoral Konseling Jilid 1
Penerbit: 
Yayasan Gandum Mas

Komentar