Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kedaluwarsa

Tugas mengorangtuai (parenting) tidak berlaku seumur hidup. Ada waktunya kita berfungsi sebagai orangtua namun ada waktunya kita berhenti. Sudah tentu fakta biologis dan status kita sebagai orangtua dari anak-anak sendiri tidak akan pernah berubah. Sekali menjadi orangtua, selamanya orangtua. Namun demikian, tugas dan fungsi kita sebagai orangtua tidak (dan tidak seharusnya) berlangsung seumur hidup; pada saat tertentu, tugas dan fungsi sebagai orangtua sepatutnyalah berhenti. Dengan kata lain, menjadi orangtua ada masa berlakunya. Sekarang marilah kita lihat dengan lebih mendetail makna "masa berlaku" orangtua.

Di dalam ceramah kadang saya mendapat pertanyaan, "Sampai usia berapakah anak masih dapat dibentuk? Saya biasanya menjawab, sampai sekitar usia 15 tahun. Lewat dari masa remaja, hampir dapat dipastikan upaya kita membentuknya tidak lagi efektif. Pada akhirnya, saya, sampai pada kesimpulan bahwa pertobatan rohanilah yang sanggup menciptakan perubahan drastik pada diri seseorang yang telah akil balig. Sudah tentu anak masih dapat berubah pada usia remaja, namun menurut saya, perubahan itu tidak lagi struktural. Dengan kata lain, struktur kepribadian anak yang telah terbangun tidaklah mudah diurai kemudian dibangun ulang. Diperlukan suatu dobrakan rohani yang sangat kuat untuk dapat meruntuhkan struktur kepribadian seseorang; usaha manusia biasanya sia-sia.

Setelah anak akil balig, kita hanya dapat memoles bangunan kepribadian yang telah terwujud. Jadi, jika kita baru mulai peduli dengan anak sewaktu ia beranjak dewasa, bersiaplah untuk kecewa. Tidak banyak yang dapat kita lakukan lagi karena semen sudah mengering dan bangunan sudah berdiri. Dalam konteks inilah tugas sebagai orangtua terpaksa berhenti; kendati mau, kita tidak lagi dapat berfungsi sebagai orangtua. Kita tidak bisa membentuk atau mengubahnya.

Makna berikutnya dari pernyataan, menjadi orangtua ada masa berlakunya adalah kita tidak bisa terus-menerus menyelamatkan atau melindungi anak-anak kita. Ada waktunya kita berkata, cukup, dan membiarkan anak memikul tanggung jawabnya. Sudah tentu tidak mudah bagi kita melakukan hal ini terutama tatkala anak tengah mengalami masalah. Namun, kadang yang justru diperlukan adalah kekerasan hati untuk membiarkan anak mengatasi masalahnya sendiri. Di dalam konteks inilah kita berkata bahwa menjadi orangtua memiliki masa berlakunya.

Ada orangtua yang tidak dapat menerima batas kedaluwarsanya. Kendati anak berkali-kali memperdaya orangtua, ia tetap melindungi anak dari konsekuensi perbuatannya. Walau anak terus berbohong dan tidak menepati janjinya, orangtua tetap memberi kemudahan dan kemewahan kepadanya. Jika ada masalah yang muncul, orangtualah yang pertama datang dan menyelamatkan anak. Dalam pengertian ini sebetulnya bukan saja orangtua menolak untuk berhenti menjadi orangtua (yang tidak mendewasakan anak), anak pun sebenarnya menolak untuk berhenti menjadi anak (yang bergantung dan memanfaatkan orangtua).

Ternyata, menjadi anak juga ada masa berlakunya. Anak tidak bisa dan tidak seharusnya terus menjadi anak yang berlindung di balik kepak sayap orangtuanya. Suatu saat ia harus memberanikan diri untuk terbang lepas dari sayap dan sarang orangtua. Anak yang tidak menerima batas kedaluwarsanya, akan menjadi anak yang bergantung dan tidak bertanggung jawab. Ia mungkin pandai menjawab, namun ia tidak siap menanggung. Ia mengalihtugaskan kewajiban menanggung kepada orangtuanya.

Orang yang berhikmat adalah orang yang tahu kapan masa berlakunya habis. Di dalam dunia tidak ada yang kekal; semua akan punah, termasuk peran menjadi orangtua dan anak. Obat dan makanan yang kedaluwarsa akan kehilangan citarasanya sekaligus kegunaannya; bukan menyehatkan malah menimbulkan penyakit. Demikian pula orangtua dan anak yang kedaluwarsa; bukan menyehatkan, malah menimbulkan penyakit.

Tampaknya itulah yang terjadi dengan Raja Daud dan kedua putranya, Amnon dan Absalom. Sewaktu Amnon memperkosa adiknya Tamar, Daud diam dan tidak menghukumnya-perbuatan yang meninggalkan kesan kepada anaknya yang lain bahwa ia melindungi Amnon. Akhirnya, Absalom bertindak dan membunuh kakaknya Amnon. Kali ini Daud marah dan "mengusir" Absalom -- tindakan yang dapat dengan mudah ditafsir tidak konsisten dan pilih kasih. Tatkala Absalom memberontak dan berupaya mengambil tahta dengan paksa, Daud malah berpesan kepada panglimanya Yoab untuk tidak melukai Absalom -- tindakan yang tidak konsisten dan membingungkan. Di saat Daud harus bertindak, ia malah berdiam diri; di kala semestinya ia menghukum, Daud melindungi.

Kita tahu akhir drama kehidupan ini. Baik Amnon maupun Absalom, keduanya mati secara tragis. Amnon mati di tangan adiknya, Absalom, sedangkan Absalom mati di tangan kakak sepupunya, Panglima Yoab, dan Yoab sendiri mati di tangan adik sepupunya, Raja Solomo. Di sini kita dapat melihat bahwa peran orangtua yang kedaluwarsa bukan saja tidak menyehatkan, malah menimbulkan penyakit.

Sumber
Halaman: 
3-4
Judul Artikel: 
PARAKALEO No. 2 Edisi: April-Juni 2005

Komentar