Seberapa Jauh

Salah satu seni dalam hidup yang harus kita kuasai adalah seni mengetahui dan menyeimbangkan seberapa jauh kita mengizinkan orang masuk ke dalam kehidupan kita dan seberapa jauh kita masuk ke dalam kehidupan orang lain. Mengizinkan orang masuk ke dalam kehidupan kita berarti mengizinkan orang untuk mengambil bagian dan mengendalikan kehidupan kita. Sebaliknya, masuk ke dalam kehidupan orang berarti mengambil bagian dan mengendalikan kehidupan orang itu.

Sebagai contoh, dalam relasi nikah seyogianyalah kita membuka dan mengundang masuk pasangan kita untuk berbagi dalam kehidupan kita. Keputusan yang tadinya kita tentukan atas dasar kepentingan pribadi, sekarang harus kita ambil bersama, atau setidaknya mengikutsertakan kepentingannya pula. Dalam hal inilah sesungguhnya kita mulai membagi kendali hidup dengan pasangan kita. Jadi semakin jauh kita mengizinkannya masuk ke dalam kehidupan kita, semakin besar ia berperan dalam kehidupan kita, dan semakin besar pula kendali yang ia miliki atas diri kita. Demikian pula sebaliknya. Semakin jauh ia mengizinkan kita masuk ke dalam kehidupannya, semakin besar pula peran yang kita ambil dan semakin besar kendali yang kita miliki atas kehidupannya.

Kekeliruan dalam menentukan "seberapa jauh" dan kegagalan menyeimbangkan kedua hal ini bisa merugikan kesehatan jiwa dan mengganggu relasi. Ada sebagian kita yang mengizinkan orang yang "keliru," masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan kita. Akibatnya jelas, kita menderita akibat dikendalikan oleh orang yang "keliru" ini. Misalkan, ia malah memanfaatkan dan memanipulasi kita untuk memenuhi kepentingannnya belaka. Ada juga sebagian di antara kita yang terlalu cepat mempersilakan orang untuk melanglang masuk ke dalam kehidupan kita dengan harapan ia menjadi bagian hidup kita. Celakanya, ia tidak berniat masuk untuk tinggal dan menjadi bagian hidup kita; ia hanya ingin berkenalan kemudian pergi. Akibatnya lumayan fatal, kita terluka sangat dalam.

Ada pula sebagian dari kita yang susah membuka pintu dan sulit mengundang orang masuk ke dalam kehidupan kita. Kita cenderung membatasi diri dan merasa lebih nyaman jika orang lain berdiri di luar pintu. Kita tidak ingin orang berbagian dalam, apalagi turut mengendalikan hidup kita. Kita risih atau tidak percaya pada siapa pun. Konsekuensinya jelas, kita tidak mempunyai teman dan hidup sendirian, kendati bisa saja kita berstatus nikah.

Kita pun dapat terjebak dalam situasi yang sebaliknya. Kita masuk terlalu jauh ke dalam kehidupan orang walaupun sebenarnya kita belum mendapat izin darinya. Kita merasa berhak mengambil bagian dalam hidupnya dan turut mengatur dirinya. Sudah tentu, ia tidak akan suka dan pada akhirnya mendesak kita keluar atau mencaci maki kita di dalam hatinya. Baginya, kita hanyalah tamu yang tak diundang.

Ada sebagian di antara kita yang ragu-ragu masuk ke dalam kehidupan orang meskipun sudah mendapat undangan untuk masuk. Kita lebih nyaman menjaga hubungan terbatas karena tidak suka terlibat dalam kehidupan orang. Sudah tentu ada pelbagai alasan untuk itu. Ada yang takut ditolak, jadi daripada masuk kemudian ditolak, lebih baik tidak masuk sama sekali. Atau, ada yang memiliki ketidakpedulian yang tinggi terhadap sesama sehingga tidak ingin direpotkan dengan urusan manusia lain. Kita mungkin saja menyebut sikap kita ini mandiri, dan berupaya mengagungkannya supaya tidak tampak dingin dan kurang peduli, namun pada pangkalnya memang kita kurang peduli dan tidak suka repot.

Hidup menuntut kita untuk berhikmat; tanpa hikmat kita terjerat, terjerumus, bahkan kadang terjungkal. Itu sebabnya, Firman Tuhan menasihati kita, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati...." (Yakobus 1:5) Mintalah hikmat kepada Allah, hikmat untuk mengetahui berapa jauh kita masuk ke dalam kehidupan orang dan berapa jauh kita mengizinkan orang masuk ke dalam kehidupan kita.

Salah satu cara untuk memahami hikmat adalah dengan menyamakannya dengan kemampuan untuk melihat. Hikmat adalah melihat dengan jernih dan tepat sehingga kita dapat merespon dengan jernih dan tepat pula. Untuk dapat merespon dengan jernih dan tepat, kita mesti mampu mengendalikan diri dengan tepat pula. Di sinilah Firman Tuhan memberi pedoman, "Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya." (Amsal 25:28) Dengan kata lain, tanpa kendali diri, kita bukan lagi majikan sebab orang akan bebas masuk keluar semaunya di dalam kehidupan kita.

Jika kita gabungkan keduanya, hikmat menjadi kemampuan untuk melihat dengan jernih dan mengendalikan diri dengan tepat. Melihat tanpa pengendalian diri tidak akan membuahkan tindakan apa pun; kita menjadi penonton yang baik saja. Sebaliknya, mengendalikan diri tanpa didasari atas penglihatan yang jernih, akan salah sasaran. Tindakan kita menjadi energi belaka, tanpa arah dan makna.

Kembali kepada topik semula, membiarkan orang masuk dan membawa diri masuk ke dalam kehidupan orang memerlukan kejelian. Lihatlah dengan jernih, apakah orang ini tepat, jika ya, izinkanlah ia masuk setahap demi setahap. Sudah tentu akan ada rasa takut namun biarlah rasa takut memandu kita agar tidak gegabah. Kendalikan diri agar kita tidak menutup pintu rapat-rapat atau membuka pintu lebar-lebar. Dua- duanya menunjukkan lemahnya hikmat dalam hidup kita.

Dengan orang lain, kita pun mesti memasuki hidupnya dengan hikmat pula. Jangan cepat-cepat menerima undangan masuk, lihatlah terlebih dahulu apakah memang inilah yang kita kehendaki. Jika bukan, meski undangan telah diberikan, jangan masuk. Sebaliknya, jangan sembarangan masuk, lihatlah apakah undangan telah diberikan. Juga lihatlah seberapa jauh ia mengizinkan kita masuk. Jangan sembarangan berbagian dalam kehidupan orang atau mengatur hidupnya sebab akibatnya serius.

Kita ini ibarat rumah dan mesti melihat orang lain bak rumah pula. Rumah terdiri atas bagian-bagiannya; ada pekarangan, beranda, ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dan gudang. Berbahagialah kita yang tahu di mana seharusnya menempatkan orang di dalam rumah kita dan berbahagialah kita yang tahu di mana menempatkan diri di rumah orang. Keduanya memerlukan hikmat dan Tuhan sumber hikmat, sudah berjanji akan memberikannya.

Sumber
Halaman: 
3-4
Judul Artikel: 
PARAKALEO No. 1 Edisi: Januari - Maret 2004