Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Menumbuhkan Pengharapan dalam Diri Konseli

Edisi C3I: e-Konsel 114 - Menumbuhkan Pengharapan Dalam Diri Konseli

Membedakan Pengharapan yang Sejati dengan yang Semu

Menumbuhkan pengharapan kepada konseli merupakan hal yang penting untuk dilakukan konselor. Namun pada kenyataannya, sering kali pengharapan yang diberikan oleh konselor adalah pengharapan semu yang dasarnya tidak alkitabiah (Amsal 10:28; 11:7). Untuk itu, amatlah penting bagi konselor untuk bisa membedakan pengharapan yang semu dan pengharapan sejati.

Ciri-Ciri Pengharapan Semu

1. Didasari oleh pemikiran manusia tentang apa yang menyenangkan dan yang sangat diinginkan.

Penghargaan

Tuhan tidak pernah mengatakan bahwa dengan mendapatkan segala yang kita ingini dan kehendaki, seseorang akan menjadi bahagia. Tuhan juga tidak pernah menjanjikan manusia akan terbebas dari penderitaan selama mereka ada di dunia (Yohanes 16:33; band. Yakobus 1:2-4).

2. Didasari oleh penyangkalan terhadap realitas.

Konselor seharusnya mengatakan keadaan yang sebenarnya kepada konseli. Menutupi keadaan yang sebenarnya dengan maksud menghibur konseli adalah tindakan yang tidak benar. Contohnya, seorang wanita datang kepada konselor dan menceritakan bahwa dia telah ditinggal pergi oleh suaminya. Teman-temannya mengatakan bahwa suaminya pasti akan kembali. Tindakan ini memang menghibur tetapi ini adalah penghiburan yang tidak benar dan seorang konselor seharusnya tidak melakukan hal seperti ini.

3. Didasari oleh suatu pemikiran yang gaib atau mistis.

Kegiatan-kegiatan rohani, misalnya ibadah pagi dan membaca Alkitab setiap hari, bukanlah suatu cara atau senjata untuk mengusir kesulitan. Sering kali orang Kristen menganggap kegiatan-kegiatan ini memiliki kekuatan mistik sehingga apabila terlewatkan akan mengakibatkan kecelakaan atau ketakutan sepanjang hari.

4. Didasari oleh pandangan yang tidak alkitabiah terhadap doa.

Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kita dapat mencapai keselamatan tanpa bekerja keras (1 Timotius 4:7b). Demikian pula dengan doa, jika hanya berdoa saja tanpa pernah melakukan apa pun, persoalan tidak akan pernah dapat diselesaikan. Untuk menyelesaikan masalah dibutuhkan kerja keras dan kekuatan dari Tuhan. Melalui doalah kita meminta kekuatan itu.

5. Didasari oleh penafsiran yang keliru tentang Alkitab.

Penafsiran yang keliru tentang Alkitab sering kali terjadi karena ketika seseorang membuka Alkitab, ia memasukkan pengertiannya sendiri ke dalam suatu bacaan, bukannya mencari arti yang dimaksudkan oleh penulis bacaan itu. Contohnya, ketika seseorang membuka Alkitab secara acak dan kemudian mengartikannya tanpa melihat konteksnya. Akibatnya terjadilah kesalahmengertian dan apabila janji-janji yang diperkirakan tidak terwujud, orang tersebut menjadi kecewa.

Seorang konselor perlu menantang pengharapan yang dimiliki konseli untuk mengetahui apakah pengharapan yang dimiliki oleh konseli itu merupakan pengharapan semu atau pengharapan sejati. Reaksi konseli mungkin tidak menyenangkan, namun ini perlu ditanyakan agar konselor mengetahuinya. Orang yang berpengharapan semu akan kesal jika orang mempertanyakan pengharapannya itu. Namun, pengharapan sejati justru akan melekat erat meskipun orang lain menentangnya. Nabi Mikha adalah contoh tokoh yang berpengharapan sejati. (2 Tawarikh 18).

Ciri-ciri Pengharapan yang Sejati

1. Pengharapan sejati dibuat berdasarkan pengharapan yang baik menurut Alkitab.

Pengharapan sejati adalah sebuah harapan yang didasari atas semua janji Tuhan dan kepercayaan. The New International Dictionary of New Testament Theology memberi makna yang alkitabiah pada kata "pengharapan" ini sebagai berikut.

"Pengharapan iman ... adalah pengharapan pribadi yang konkret. Meskipun perwujudan keselamatan "belum terlihat", pengharapan akan menanti dengan penuh keyakinan walaupun bukannya tanpa ketegangan. Namun demikian, Yahwe, kepada siapa pengharapan itu menanti, tidak seperti kita manusia. Sebab Ia mengetahui, menjanjikan, dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh masa depan bagi umat-Nya, maka di alam pernyataan, pengharapan mendapat kepastian yang tidak tertandingi. Meski saat ini segala sesuatu tidak sesuai dengan janji keselamatan, orang yang berharap tentu memercayai Tuhan yang demi kesetiaan-Nya tidak mengecewakan pengharapan yang telah ia bangkitkan melalui firman-Nya (Yesaya 8:17; Mikha 7:7; Mazmur 42:3).

Abraham adalah salah satu tokoh dalam Alkitab yang memegang pengharapan sejati (Roma 4:18).

2. Pengharapan sejati adalah buah keselamatan sejati.

Kristus adalah inti dari pengharapan yang sejati. Oleh karena itu, pengharapan yang sejati hanya dapat dimiliki oleh orang yang sudah mengenal Dia, mengasihi Dia, beriman kepada-Nya, dan tentu saja sudah lahir baru oleh Roh Kudus. Perhatikan 1 Petrus 1:3; Kolose 1:4-5; Kolose 1:25-27; dan 1 Timotius 1:1.

3. Pengharapan sejati mempunyai fokus yang holistis.

Yang dimaksud dengan holistis adalah pengharapan sejati yang tidak hanya berfokus pada bagian (suatu kehidupan) saja, namun juga seluruhnya (rencana Tuhan bagi dunia). Rasul Paulus adalah contoh tokoh dalam Perjanjian Baru yang fokus pengharapannya holistis (lihat Filipi 1:12-14; 1:19-20; 2:17; 2 Timotius 2:8-10). Paulus meletakkan pengharapannya pada Kerajaan Surga dan rencana Allah di dunia. Ia tidak menghiraukan apa yang menimpa dirinya karena baginya kemuliaan Tuhan lebih penting.

Dalam Perjanjian Lama, Yusuf dan Ayub adalah tokoh yang berpengharapan sejati dengan fokus yang holistis (Kejadian 50:20; Ayub 13:15; 19:25). Pengharapan sejati berfokus pada kemuliaan Tuhan sehingga tidak pernah goyah dalam keadaan apa pun juga.

4. Pengharapan sejati itu realistis.

Pengharapan sejati bisa datang dari berbagai cobaan, air mata, dan dukacita. Pengharapan sejati juga tidak menyangkal realitas dosa dan penderitaan. Pengharapan sejati yang realistis tidak didasari pada kemampuan diri sendiri, melainkan didasari oleh kemampuan Tuhan untuk melakukan apa pun yang tidak mungkin dikerjakan oleh manusia. Pengharapan sejati diciptakan dengan pertimbangan cermat yang dilandasi dengan pengharapan akan kuasa Allah. Contohnya adalah pengharapan yang dimiliki Abraham bahwa ia akan dikaruniai anak meskipun rahim Sara, istrinya, telah menutup.

5. Pengharapan sejati harus diperbaharui setiap hari.

Pengharapan sejati perlu diperbaharui setiap hari dengan memelihara hubungan yang konsisten dengan Tuhan seperti yang dilakukan oleh Paulus (2 Korintus 4:16). Pembaharuan setiap hari perlu dilakukan supaya pengharapan sejati tetap kita miliki.

6. Pengharapan sejati tidak terpisahkan dari suatu pendalaman akan firman Tuhan yang dilakukan dengan rajin dan cermat.

Mazmur 119:49 dan Mazmur 130:5 mengingatkan kita supaya kita memiliki pengharapan yang sejati kepada Allah. Alkitab merupakan sarana yang Allah pakai untuk memberikan pengharapan yang sejati kepada kita. Dengan tekun dan setia membaca Alkitab serta mendalaminya kita bisa memiliki pengharapan yang sejati.

7. Pengharapan sejati adalah soal kehendak.

Kita memiliki kebebasan untuk memiliki pengharapan atau tidak. Di dalam Alkitab disebutkan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk memiliki apa yang benar (1 Korintus 10:13; Filipi 2:12; 4:13). Oleh sebab itulah, meskipun kita sedang mengalami masa-masa yang sulit tetapi sudah seharusnya kita tetap memiliki pengharapan. Kita memilih meletakkan pengharapan kita ke dalam tangan-Nya; mengandalkan Dia dan memegang janji-janji-Nya.

8. Pengharapan sejati didasari oleh adanya pengetahuan.

Paulus dan Yakobus mengatakan bahwa pengharapan sejati tidak didasarkan pada perasaan melainkan sesuatu yang kita ketahui. Semakin kita memahami kebenaran yang diajarkan firman Allah, semakin besar pula harapan kita di saat-saat yang buruk sekalipun (Roma 5:2-3 dan Yakobus 1:2-3). Harapan yang didasari pada perasaan justru akan mengakibatkan kehancuran.

Cara Membangkitkan Pengharapan

Jika sudah memahami perbedaan pengharapan semu dan pengharapan sejati, kini dukunglah konseli untuk bisa menumbuhkan pengharapan sejati dalam dirinya.

1. Bantulah sesama untuk bertumbuh dalam hubungan mereka dengan Kristus.

Yesus Kristus adalah pengharapan kita (1 Timotius 1:1) dan pengharapan sejati ada pada Dia. Oleh sebab itu, untuk memiliki pengharapan yang sejati diperlukan hubungan yang mesra dengan-Nya. Untuk itulah konselor perlu memastikan bahwa konseli juga memiliki hubungan yang mesra dengan Kristus.

2. Ajarlah orang untuk berpikir secara Alkitabiah.

  1. Berpikirlah secara alkitabiah tentang situasi tertentu. Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa Alkitab juga membicarakan masalah-masalah tertentu yang tidak kita duga. Misalnya saja Mazmur 3:1-6; 4:1-8; Amsal 3:13-16; 19:23 dan Pengkhotbah 5:12 adalah ayat-ayat yang menyangkut soal tidur. Mengetahui bahwa Tuhan memberikan perintah-perintah tertentu tentang keadaan kita masing-masing merupakan pengharapan yang luar biasa.
  2. Berpikirlah secara alkitabiah tentang sifat Tuhan. Konsep yang keliru tentang Tuhan sering kali menjadi penghalang untuk berpengharapan. Tumbuhkan pengharapan konseli dengan meluruskan konsep mereka yang keliru tentang Tuhan. Mungkin konseli memandang Tuhan sebagai penegak hukum yang disiplin sehingga tidak ada harapan jika kita masih berada dalam dosa. Atau bisa juga konseli memandang Tuhan sebagai pemaaf sehingga dosa merajalela dalam hidupnya dan akibatnya dia tidak lagi berpengharapan.
  3. Berpikirlah secara alkitabiah tentang berbagai kemungkinan akan munculnya sesuatu yang baik. Konselor harus dapat menolong konseli untuk melihat sisi positif dari permasalahan yang dihadapi. Konselor perlu meyakinkan konseli bahwa setiap permasalahan, penderitaan ataupun kesengsaraan yang dihadapi konseli akan membawa kebaikan baginya seperti yang dikatakan di Yakobus 1:2-4.
  4. Berpikirlah secara alkitabiah tentang pelbagai sumber daya ilahi. Menganggap diri sendiri tidak dapat menangani setiap permasalahan yang timbul merupakan salah satu penyebab seseorang tidak memiliki pengharapan. Anggapan ini perlu dihilangkan karena Allah telah mengaruniakan kepada kita keyakinan diri untuk menghadapi berbagai permasalahan (Roma 8:37; 2 Korintus 9:8 dan Filipi 4:13)
  5. Berpikirlah secara alkitabiah tentang sifat dan penyebab masalah. Banyak orang yang beranggapan bahwa masalah yang mereka hadapi adalah bersifat kejiwaan sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak alkitabiah, misalnya:
    • mereka melangkahi Kristus dan Alkitab dan memandang obat-obatan serta gagasan psikologi sekuler sebagai pemecahannya,
    • mereka menganggap Kristus datang untuk membereskan semua masalah kejiwaan mereka,
    • mereka putus asa dan kehilangan harapan, dan
    • mereka menjadi kecil hati karena menganggap jalan keluar dari permasalahan mereka adalah dengan menolong diri mereka sendiri atau melalui pertolongan orang lain.

Orang-orang yang demikian sudah pasti kehilangan pengharapan karena menganggap tidak akan terjadi perubahan. Orang Kristen seharusnya tidak memiliki sifat seperti ini karena justru di saat seperti ini seharusnya kita mulai menyadari bahwa pada dasarnya permasalahan mereka adalah masalah rohani. Di saat seperti inilah pengharapan kepada Kristus mulai mekar. Dengan hidup di dalam Kristus, Yesus memampukan kita menghadapi semua permasalahan yang muncul.

Berpikirlah secara alkitabiah mengenai apa yang dikatakan konseli. Pemilihan kata adalah salah satu unsur penting dalam konseling. Oleh sebab itu, sewaktu melakukan konseling alkitabiah, penting bagi konselor untuk memilih kata-kata yang dapat membantu konseli untuk berpikiran jernih dan alkitabiah saat mengutarakan permasalahannya. Kata "dosa, takut, maut, dusta, cemas, kepahitan atau kepedihan, dan menginginkan" adalah kata-kata yang sering digunakan dalam Alkitab dan kata-kata seperti ini dapat membantu konseli untuk memusatkan pikirannya pada Alkitab.

Konseli mungkin menggunakan kata-kata yang tidak alkitabiah untuk menggambarkan permasalahannya. Kata-kata yang dapat memadamkan pengharapan konseli ini misalnya:

  1. "Saya tidak dapat." Kata-kata ini bisa berarti "saya tidak mau", "saya tidak memahami sumber daya-sumber daya yang saya miliki dalam Kristus", atau "saya tidak tahu cara mengerjakan semua yang diperintahkan Alkitab kepada saya". Jika kata-kata "saya tidak dapat" ini diucapkan berulang kali, konselor perlu benar-benar memahami apa maksud dari ungkapan tersebut. Misalnya, jika kata-kata itu memang menunjukkan bahwa konseli merasa tidak mampu atau merasa tidak memiliki kecakapan praktis atau keterampilan untuk mempraktikkan ajaran Alkitab, konselor perlu membantunya untuk mendapatkan keterampilan dalam menerapkan ajaran Alkitab tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
  2. "Istri saya membuat saya marah." Menurut Alkitab, pernyataan ini bersifat semu karena sebenarnya justru si suamilah yang tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk tidak marah dan memberikan respons positif terhadap istrinya. Jika si suami tersebut adalah seorang Kristen, ia perlu belajar untuk memberi tanggapan yang benar meskipun istrinya memancing dia untuk marah.
  3. "Saya telah mencoba semua cara, namun tidak berhasil." Kata-kata ini bisa saja menunjukkan bahwa konseli telah putus asa karena usaha-usahanya dalam berbagai cara tidak berhasil. Untuk itu, amatlah penting bagi konselor untuk menanyakan apakah konseli sudah benar-benar mengusahakan semua cara termasuk yang belum pernah dicobanya. Bisa jadi kegagalan ini disebabkan oleh karena konseli hanya mengusahakan cara-cara yang menyenangkan dirinya saja, tidak alkitabiah, dan pemilihan waktu yang tidak realistis. Kegagalan ini bisa juga terjadi karena alasan-alasan yang keliru meskipun tindakan mereka adalah tepat.

Apabila pernyataan-pernyataan ini sering dilontarkan oleh konseli, konselor perlu menolong konseli untuk menjernihkan semua alasan dalam bahasanya yang tidak alkitabiah ini dan memberikan pengharapan dengan memperbaiki kesalahpahaman mereka.

Pengharapan iman adalah pengharapan pribadi yang konkret.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

3. Berikan contoh-contoh dari Tuhan kepada konseli. - Contoh pengharapan dari diri kita sendiri. Konselor perlu meyakinkan konseli bahwa dalam situasi sesulit apa pun juga kita harus tetap percaya bahwa Tuhan mampu berbuat jauh lebih banyak dan melebihi apa yang kita pikirkan, serta tidak ada yang mustahil bagi-Nya (Efesus 3:20; Matius 19:26). Sikap konselor yang menaruh pengharapan dengan berdasarkan Alkitab akan mengilhami konseli untuk juga berpengharapan penuh. Berikan pujian kepada konseli untuk mau mencari nasihat, bisa dengan menggunakan kata-kata Paulus di Filipi 1:6.

Berilah contoh pengharapan yang dimiliki orang lain. Konselor bisa menunjukkan kepada konseli bahwa apa yang dialami bisa juga terjadi pada orang lain (1 Korintus 10:23). Konselor bisa menggunakan contoh-contoh dalam Alkitab, misalnya saja para jemaat yang disurati Paulus.

Sumber diringkas dari:
Judul buku : Pengantar Konseling Alkitabiah
Penulis : John F. MacArthur, Jr dan Wayne A. Mack
Penerbit : Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 2002
Halaman : 215 - 232
Sumber
Halaman: 
215 - 232
Judul Artikel: 
Pengantar Konseling Alkitabiah
Penerbit: 
Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 2002

Published in e-Konsel, 15 June 2006, Volume 2006, No. 114


Komentar