Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Video Games dan Pendidikan

Berikut ini adalah sebuah artikel yang ditulis tahun 1994 dengan contoh kasus yang terjadi di Amerika Serikat. Jika Anda bandingkan keadaan saat itu dengan keadaan sekarang di Indonesia, maka kita lihat hal ini tidak jauh berbeda, karena jaman "Video Games" sudah betul-betul datang di Indonesia. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pengaruhnya terhadap pendidikan, silakan simak artikel ini lebih lanjut.

VIDEO GAMES DAN PENDIDIKAN

Kreativitas manusia dalam memanfaatkan teknologi komunikasi untuk kepentingan hiburan maupun komersial memang luar biasa. Mulai dari pengembangan teknologi di bidang pertelevisian sampai pada penciptaan video games, video watch, dll.

Di kota-kota besar Indonesia terutama di pusat-pusat perbelanjaan, sering kita jumpai video arcade (pergelaran video games) yang menawarkan perbagai macam jenis permainan, dan dipenuhi oleh anak- anak dan remaja. Dengan membayar harga yang relatif murah untuk ditukar dengan koin, mereka betah menghabiskan waktu berjam-jam terlibat dalam kesenangan bermain video games.

Di satu sisi, kehadiran video games memang dapat menumbuhkan apresiasi anak maupun remaja pada teknologi. Pada saat yang sama, permainan ini dapat pula merangsang kreativitas maupun daya reaksi (dengan catatan ia tidak memainkan game yang sama berulang-ulang, sehingga mengenal trick permainan).

Namun, di sisi lain permainan ini dapat menimbulkan ketergantungan, manakala penggemarnya terkena video games addict (kecanduan video games). Seseorang dapat menghabiskan waktu dan uangnya sekaligus untuk menikmati permainan ini. Dampak negatif dari permainan ini akan sangat terasa, manakala pemainnya tidak dapat mengendalikan diri. Pada saat seseorang mulai merasa, bahwa permainan ini bukan sekedar untuk dinikmati dalam waktu senggang sebagai aktivitas rekreasional, maka bencana mulai menghadang.

Di Amerika Serikat, keprihatinan terhadap popularitas permainan ini di kalangan anak-anak dan remaja, menyebabkan para pendidik mulai mendesak pemerintah agar mengambil langkah-langkah preventif. Bahkan bintang yang menjadi idola anak-anak, mendesak pemerintah agar memberikan ratings (penilaian) terhadap materi video games yang dijual secara bebas. Hal ini ditujukan pada materi video games yang mengekspose seks maupun kekerasan.

Di Amerika Serikat saat ini, cukup banyak materi video games yang justru mengagungkan kekerasan, dan mengajar anak-anak untuk menikmati kekerasan lewat keikutsertaan aktif sebagai pengendali permainan.

Dalam video games, nilai yang tinggi justru diperoleh lewat sikap yang agresif dan penggunaan kekerasan secara sistematis. Dengan cara ini, pemain merasa, bahwa kekerasan memperoleh ganjaran (reward) dan kekerasan yang lebih tinggi akan memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Melarang peredaran video games tersebut tampaknya cukup sulit, namun memberikan ratings pada labelnya akan membantu orangtua untuk ikut mengetahui apa yang dilakukan anak-anaknya dengan video games. Ketidakpedulian pendidik maupun orangtua akan materi video games yang penuh dengan sadisme, dikhawatirkan akan menghasilkan anak-anak atau remaja yang bersikap menikmati sadisme tanpa sadar.

Di Jakarta misalnya, di pelbagai tempat gelar video, permainan yang mengasyikkan karena sarat kekerasan sangat diminati anak-anak maupun remaja. Judul video games seperti Superman maupun Ninja dan sejenisnya sangat mengobral kekuatan fisik dan pelumpuhan lawan secara berlebihan.

Permainan semacam inilah yang menjadi favorit pengunjung. Sekalipun moral ceritanya tetap mengangkat kemenangan kekerasan atas kebathilan, namun perilaku sadistis yang diterapkan seolah-olah memberi legitimasi atas tindakan apa pun, sejauh demi menegakkan kebenaran. Padahal para pengusaha alat-alat elektronik sudah meramalkan, video games masa depan, akan lebih realistis penampilannya dengan berkembangnya apa yang disebut Virtual Reality Technology.

Di Barat selama ini telah berkembang Compact Disc Games (CDG) yang menampilkan citra aktual wanita yang dapat dikendalikan oleh pemainnya untuk melakukan adegan-adegan seks. Sekalipun CDG tersebut diperuntukkan bagi orang dewasa, siapa yang dapat menjamin, bahwa materi tersebut tidak mungkin jatuh ke tangan anak-anak atau remaja? Remaja dan anak-anak kita yang bermukim di kota-kota besar pada umumnya telah akrab dengan video games.

Kasus yang terjadi di Amerika Serikat dengan video games yang sarat kekerasan bukan mustahil dapat dijumpai di video arcade Indonesia. Sudah saatnya para pendidik dan orangtua mewaspadai materi video games yang dimainkan oleh putra-putri mereka.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
e-BinaAnak (Edisi 110)
Penerbit: 
--

Komentar