Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Sehingga Keduanya Menjadi Satu (Bag. I)

"Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu"
(Matius 19:5-6)

Saya yakin anak-anak Allah tidak asing lagi dengan ayat tersebut di atas karena ayat ini sering dicantumkan di lembar undangan pernikahan anak-anak Allah. Memang indah sekali firman Allah ini, lebih indah dari kata-kata mutiara yang pernah dimiliki oleh dunia ini. Bahwa suami dan isteri adalah satu hanyalah firman Allah yang mengatakannya, dunia tidak mengenal prinsip seperti itu. Dunia menceraikan, tapi Allah menyatukan.

Ide perkawinan adalah murni dari Allah bukan dari manusia. Jauh sebelum Allah menciptakan manusia, yaitu Adam dan Hawa, ide perkawinan telah muncul terlebih dahulu di dalam pikiran Allah. Maka diciptakanlah laki-laki dan perempuan, dan Allah menyatukan mereka di dalam perkawinan.

Apapun yang Allah kerjakan bukannya tanpa maksud. Semua yang Allah lakukan memiliki tujuan sekalipun kita seringkali tidak mengerti tujuan itu. Maksud atau tujuan itu sering tersembunyi begitu lama. Tapi satu hal yang pasti, Ia tidak pernah menyembunyikan maksud-Nya itu untuk selama-lamanya sehingga kita tidak pernah bisa mengertinya. Ketika waktunya tiba, maka Iapun akan menyatakan maksud-Nya itu.

Ketika Allah menetapkan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, Ia menetapkannya bukannya tanpa maksud. Ia memiliki rencana yang agung dan mulia di dalam perkawinan itu sendiri. Salah satu maksud itu tersirat di dalam Kejadian 1:28: "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: 'Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.'" Inilah salah satu maksud Allah menetapkan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan: supaya mereka beranakcucu, supaya bumi ini dipenuhi dengan orang-orang yang serupa dan segambar dengan Allah sebagaimana Dia menciptakan Adam.

Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menciptakannya serupa dan segambar dengan Dia sendiri. Artinya, di dalam diri Adam terdapat segala sifat atau karakter yang dimiliki oleh Allah. "Maka Allah menciptakan manusia itu (Adam) menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia" (Kejadian 1:27). Adam memiliki kemampuan untuk hidup sebagaimana Allah hidup karena ia diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Baru setelah itu, pada ayat berikutnya, Allah berfirman: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi."

Firman "beranakcuculah" diberikan kepada Adam ketika Adam belum jatuh ke dalam dosa. Perintah itu diberikan pada Kejadian 1 (satu) ketika Adam masih dalam rupa dan gambar Allah sehingga anak cucu Adampun akan mewarisi rupa dan gambar Allah! Tetapi pada Kejadian 3 (tiga) kita melihat Adam jatuh dalam dosa yang mengakibatkan rupa dan gambar Allah itu hilang dari dirinya. "Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Roma 3:23). Sebagai konsekwensinya, semua keturunan Adam lahir dalam keadaan tanpa kemuliaan Allah (akan menjadi pokok bahasan pada bagian-bagian selanjutnya).

Jadi salah satu maksud Allah dalam menetapkan perkawinan adalah agar supaya mereka beranakcucu (memiliki keturunan). Inilah maksud Allah yang dinyatakan secara eksplisit sehingga tidak ada seorangpun dapat membantahnya. Bagaimanapun kondisi pikiran kita, kita dapat memahami maksud ini. Tapi ada maksud implisit, maksud tersembunyi yang tidak semua orang dapat mengerti, di dalam perkawinan itu. Maksud ini telah tersembunyi begitu lama tapi yang pada zaman akhir ini mulai dinyatakan. Maksud implisit ini hanya dapat dimengerti oleh mereka yang pikirannya sudah diperbaharui oleh Roh Allah. Tanpa pembaharuan pikiran, maka maksud ini tetap tersimpan di dalam kekelaman.

Allah sering kali menggunakan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan untuk menyatakan kebenaran di alam-Nya sendiri, yaitu alam Roh. Itu karena Allah adalah Roh sedangkan manusia adalah daging. Roh dan daging tidak pernah sejalan. Roh dan daging selalu bertentangan (Gal. 5:17). Salah satu hukum di dalam Kerajaan Allah adalah bahwa daging tidak akan pernah bisa mengerti hal-hal yang berasal dari Roh. "Tetapi manusia duniawi (daging) tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani" (1 Korintus 2:14). Manusia, dengan pikiran dagingnya (pikiran karnal - carnal mind) tidak dapat memahami apa yang berasal dari Roh Allah. Perkataan yang dipakai di dalam firman Allah di sini adalah "tidak dapat" bukannya "tidak mau." Pikiran karnal TIDAK DAPAT memahami apa yang berasal dari Roh. Betapapun keras usaha yang dilakukan oleh pikiran karnal untuk memahami perkara-perkara ROHani ia tetap TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMAHAMINYA. Usaha keras itu selalu berakhir buntu. Itu sebabnya hal-hal yang rohani merupakan suatu kebodohan bagi pikiran karnal, karena ia memang tidak dapat memahaminya. Perkara-perkara rohani, yaitu perkara-perkara yang berasal dari Allah, hanya dapat dipahami dengan pikiran rohani (spiritual mind).

Itulah sebabnya Allah menggunakan bahasa manusia untuk menyatakan kebenaran di alam rohani. Ia membungkus rahasia-rahasia rohani itu di dalam simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan, agar supaya bila pikiran kita telah diperbaharui oleh Roh-Nya, kita dapat melihat kebenaran yang sesungguhnya yang terkandung di dalam simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan tersebut. Bagi pikiran karnal, simbol adalah tetap simbol, dan ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat jauh di balik permukaan simbol itu.

Yesus sendiri ketika Ia masih berjalan di atas muka bumi ini selalu berbicara dalam perumpamaan untuk menggambarkan realita rohani di dalam Kerajaan Allah. "Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Ia tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri" (Markus 4:33-34). Firman itu diberitakan dalam perumpamaan sesuai dengan pengertian mereka. Itu karena mereka belum bisa memahami realita rohani yang dikandung dalam firman itu karena mereka masih duniawi (karnal). Mereka belum mengalami pembaharuan di dalam pikiran mereka sehingga mereka tidak akan bisa mengerti jika Yesus berbicara secara langsung mengenai realita rohani. Pikiran karnal/daging tidak akan pernah bisa memahami apa yang berasal dari Roh Allah karena nature atau watak atau sifat atau tabiat dari keduanya bertentangan. Hal-hal yang rohani harus dipahami dengan pikiran rohani, barulah perumpamaan-perumpamaan itu menjadi seperti mutiara yang bercahaya di dasar laut. Pada saat itulah pikiran kita akan terbuka dan mengerti arti dari perumpamaan-perumpamaan itu.

Pernah mendengar tentang cerita Si Kancil yang suka mencuri timun, bukan? Mengapa seorang ibu menggunakan cerita Si Kancil, yang notabene cerita fiktif, untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak kecil? Mengapa sang Ibu tidak cerita dengan langsung menggunakan bahasanya sendiri? Itu karena pikiran sang anak belum berkembang. Sang Ibu harus menurunkan gaya bahasanya serendah mungkin agar pesan moral yang ingin disampaikan kepada sang anak dapat dipahami oleh anak itu. Maka digunakanlah cerita Si Kancil. Bayangkan jika sang Ibu menggunakan bahasanya sendiri, bahasa orang dewasa, untuk mengajarkan nilai-nilai moral itu kepada sang anak. Dapat dipastikan sang anak hanya terbengong saja.

Demikian juga dengan apa yang Allah lakukan kepada kita. Ia membungkus kebenaran-kebenaran-Nya di dalam simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan yang dapat dimengerti oleh pikiran karnal pada kulitnya saja. Tetapi pengertiannya yang lebih dalam tetap tersembunyi sampai pikiran rohani kita berkembang sehingga kita dapat mengerti arti sesungguhnya dari simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan itu. Sama seperti si anak kecil tadi, ketika ia tumbuh dewasa, ia baru dapat melihat arti yang sesungguhnya dari cerita Si Kancil itu.

Ketika sang Ibu cerita tentang Si Kancil yang suka mencuri ketimun itu, bagaimanakah reaksi si anak? Ia PERCAYA begitu saja cerita sang Ibu sekalipun itu cerita fiktif. Sang anak percaya bahwa cerita itu betul-betul nyata. Sang anak, dengan pikirannya yang belum berkembang, menelan begitu saja cerita dari sang Ibu. Ia belum mengerti bahwa cerita itu cuma "simbol" atau "perumpamaan" saja untuk menanamkan nilai-nilai moral kepadanya. Setelah anak itu beranjak dewasa, masihkah ia percaya bahwa cerita Si Kancil betul-betul kisah nyata? Tentu saja tidak. Ia telah bisa melihat arti yang sesungguhnya dari "simbol" atau "perumpamaan" tadi.

Banyak kali kita temukan simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan di dalam Alkitab. Di dalamnya kita temukan istilah-istilah seperti sorga, neraka, lautan api, pohon kehidupan, ular naga, dsb. Semua ini adalah simbol, artinya nama-nama itu bukan untuk diterjemahkan atau diinterpretasikan atau diartikan secara HARFIAH. Pikiran daging/karnal akan menerjemahkannya secara HARFIAH, menganggap semua itu NYATA sama seperti anak kecil menganggap cerita Si Kancil NYATA. Ketika Allah ingin menggambarkan sebuah kehidupan yang terpisah dari diri-Nya sendiri, tercerai dari hadirat-Nya, terlempar dari Kerajaan-Nya, maka Ia menggambarkannya dengan orang yang dibakar dengan api di mana ulat-ulatpun tidak mati. Lalu Allah menamai tempat ini sebagai "neraka." Jika ulat-ulatpun tidak mati di tempat ini, yang notabene ulat adalah binatang yang sangat lemah, engkau dapat membayangkan betapa hebatnya penderitaan yang harus mereka (ulat-ulat itu) alami. Akan lebih baik jika ulat-ulat ini mati dari pada menanggung penderitaan yang dahsyat. Itulah kondisi hidup dari orang-orang yang hidup tanpa Allah, tanpa hadirat-Nya, akan selalu berada di bawah siksaan daging yang senantiasa mambakarnya. Dan pikiran karnal/daging menerjemahkan tempat ini secara HARFIAH sebagaimana yang selama ini diajarkan denominasi-denominasi gereja. Sebaliknya, ketika Allah ingin menggambarkan sebuah kehidupan di dalam Dia sendiri, di dalam hadirat-Nya, di dalam Kerajaan-Nya, sebuah kehidupan yang penuh kedamaian, Ia menggambarkannya dengan seorang pemain kecapi yang sedang memainkan kecapinya. Siapakah dari kita yang tidak suka musik? Saya yakin tidak seorangpun dari kita yang tidak menyukai musik. Mengapa kita menyukai musik? Karena memberikan ketenangan dan kedamaian dan sukacita. Kita akan merasakan damai ketika kita sedang mendengarkan musik. Lalu Allah memberi nama pada tempat yang penuh dengan nyanyian dan damai ini "sorga." Itulah sebuah kehidupan di dalam Allah, di dalam hadirat-Nya, di dalam Kerajaan-Nya, penuh dengan kedamaian, penuh dengan ketenangan, tidak ada pergumulan, tidak ada "gelepar-gelepar" seperti yang dialami oleh ulat-ulat tadi. Dua jenis kehidupan yang kontras sekali telah Allah gambarkan dan simbolkan di dalam "neraka" dan "sorga." Akan tetapi pikiran karnal/daging menerjemahkan tempat-tempat ini secara harfiah!

Bagi pikiran yang sudah berkembang, yaitu pikiran rohani, akan dapat melihat arti sesungguhnya yang dikandung oleh simbol-simbol tadi. Pikiran rohani akan mampu untuk melihat jauh di belakang permukaan yang tidak pernah bisa dijangkau oleh pikiran karnal. Pikiran rohani akan melihat bahwa sorga dan neraka sudah dialami oleh kita semua selagi kita masih di bumi ini bukan sesudah kita mati. Pengajaran-pengajaran karnal yang selama ini diajarkan oleh denominasi-denominasi gereja telah menjadikan anak-anak Allah menjadi orang-orang yang kerdil rohaninya, tidak bertumbuh, tetap dalam kondisi bayi (karnal) sekalipun mereka telah menjadi Kristen selama puluhan tahun. Pengajaran karnal akan menghasilkan orang-orang yang karnal dan pengajaran rohani akan menghasilkan orang-orang yang rohani. Saya tidak akan bosan-bosan untuk mengatakan bahwa pertumbuhan rohanimu bukan diukur dari seberapa rajinnya engkau menghadiri setiap kebaktian pada hari Minggu pagi dan sore, atau seberapa banyak aktifitas kerohanian yang engkau lakukan, tetapi seberapa banyak engkau telah DIUBAH dari karnal menjadi rohani.

"Tetapi kepada murid-murid-Nya ia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri." Jika kepada orang-orang lain Yesus berbicara dalam perumpamaan, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan arti dari perumpamaan itu. Murid-murid-Nya adalah orang-orang yang selalu dekat dengan-Nya, yang selalu mengikuti ke mana saja Ia pergi. Murid-murid-Nya merupakan simbol dari anak-anak Allah yang sudah mulai menerima pembaharuan pikiran. Kepada orang-orang yang seperti ini, Ia tidak menyembunyikan diri-Nya. Ia selalu hadir di sana, menyatakan rahasia-rahasia-Nya, memimpin, membimbing dan mengajar kebenaran-kebenaran Kerajaan-Nya. Allah selalu menyatakan diri-Nya kepada orang-orang yang selalu mencari Dia, yang dengan tulus ingin mengetahui hal-hal yang tersembunyi di dalam diri-Nya. Kepada mereka Allah tidak bisa menahan diri, Ia akan membuka diri-Nya sehingga mereka akan mengenal Dia sebagaimana Dia adanya. Kepada mereka Allah mengungkapkan arti yang sesungguhnya dari simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan tersebut.

Perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah simbol lain yang Allah telah tetapkan. Ketika Ia menetapkan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, Ia sedang membungkus perkara-perkara rohani yang menakjubkan di dalam perkawinan itu. Selama berabad-abad rahasia yang tersembunyi di dalam perkawinan ini tidak tersingkap, tapi saat ini Allah telah mulai menyingkapkan arti yang sesungguhnya dari perkawinan. Pengertian yang dikandung di dalam perkawinan itu bukanlah sekedar bersatunya antara pria dan wanita di dalam bahtera rumah tangga, tapi Ia sedang berbicara realita rohani yang amat dalam di dalam Kerajaan-Nya. Oleh anugerah Allah kita akan mulai melihat rahasia perkawinan ini pada artikel-artikel yang akan datang. (Bersambung)

From: Philipus Budiarjo (philipus@cpci.co.id)
 
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Milis Ayah Bunda
Penerbit: 
--

Komentar