Ayahmu dan Ibumu

Edisi C3I: e-Konsel 105 - Mengasihi Orang Tua

Tahukah Anda bahwa hukum kelima dari Dasa Titah mempunyai dua versi? Yang pertama termuat dalam Keluaran 20:12, bunyinya: "Hormatilah ayahmu dan ibumu". Yang kedua tertulis dalam Imamat 19:31, bunyinya: "Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya." Yang satu menyebut "ayah" terlebih dahulu, baru "ibu". Sementara yang lain, sebaliknya.

Besar kemungkinan tidak ada perbedaan substansial yang pantas dibicarakan mengenai perbedaan tersebut. Namun, para rabi Yahudi toh tak urung menangkap juga nuansa yang, menurut mereka, cukup bermakna.

Menurut mereka, perbedaan tersebut pasti bukan kebetulan semata. Tapi ada tujuannya, yaitu merupakan penegasan, bahwa hormat anak kepada "ayah" harus seimbang dan sama besar dengan hormat kepada "ibu".

Bagi kita, penafsiran seperti itu mungkin terasa mengada-ada. Tapi dalam konteks kehidupan masyarakat Timur Tengah yang patriarkhal pada waktu itu, bahkan juga masyarakat kita sampai kini, kesimpulan tersebut menjadi amat penting.

Salah seorang rabi yang terkemuka mengemukakan bahwa melalui perbedaan itu Tuhan ingin menyampaikan sesuatu. "Adalah wajar," begitu tulis sang rabi, "bila seorang anak merasa lebih akrab dengan ibunya. Sebab bukankah sang ibu itulah yang telah mengandung dan melahirkan, kemudian menimang dan mengasuhnya?" Namun justru karena kecenderungan alamiah inilah, Tuhan menitahkan agar orang menghormati ayah terlebih dahulu baru ibu.

Di pihak lain, juga lumrah bila seorang anak menghormati ayahnya lebih dari ibunya. Bukankah dia sang kepala keluarga, dan dari dia pula ia mulai belajar mengenal Allah serta hukum-hukum-Nya? Namun justru karena kecondongan naluriah inilah, Tuhan menitahkan agar orang menghormati ibu terlebih dahulu baru ayah". "Ayah" seimbang dengan "ibu". Betapa progresifnya!

Perintah untuk menghormati orang tua, bagi umat Israel, sungguh sentral dan vital. Begitu pentingnya, sehingga baik berkat yang dijanjikan Allah bagi mereka yang mematuhinya, maupun hukuman yang diancamkan Allah bagi para pelanggarnya, kedua-duanya sama dahsyatnya.

Berkat yang dijanjikan jelas termuat dalam titah itu sendiri, yakni "supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu" (Keluaran 20:12). Janji yang dahsyat, sebab tak ada berkat lain yang lebih didambakan orang, selain terwujudnya masa depan yang diimpikan.

Dan tak ada masa depan yang lebih diimpi-impikan, selain diperkenankan menikmati seluruh sisa usia yang panjang di "negeri idaman". Bukankah demikian?

Ya! Namun, jangan kita lupa memperhatikan ancaman kutuk-Nya! Tidak kalah dahsyat! Berbuat durhaka terhadap orang tua, dalam pranata hukum Israel, ternyata dianggap setara dengan tindak pidana kelas berat. Bahkan disejajarkan dengan dosa yang paling serius: dosa menghujat Allah. "(Orang) yang mengutuki ayahnya dan ibunya, pastilah ia dihukum mati." (Imamat 20:9; 24:15)

Bukan cuma itu. Menurut si Arif Bijaksana, "Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya akan padam pada waktu gelap" (Amsal 20:20). Artinya, berkat tak akan mau singgah dalam hidup seorang anak durhaka, baik dalam hidupnya di dunia ini, terlebih-lebih di akhirat nanti. Kemudian katanya pula, "Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali" (Amsal 30:17). Artinya, sekiranya pun dalam hidupnya si anak yang bersangkutan tidak mengalami kekurangan apa-apa, matinya akan amat hina. Tak ada orang mau merawat jasadnya. Bahkan tak ada tanah bersedia menerima jenasahnya. Mayatnya habis menjadi makanan gagak lembah dan anak rajawali.

Semangat yang sama kita jumpai pula dalam Perjanjian Baru. Tidak kurang dari Yesus sendiri, yang mengecam keras ajaran pemimpin- pemimpin agama Yahudi, bahwa seolah-olah oke-oke saja orang menelantarkan kewajiban terhadap orang tua, asalkan demi memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan (Matius 7:9-13).

"Sama sekali tidak oke!", kata Yesus. "Kewajiban terhadap Tuhan" dan "kewajiban terhadap orang tua" bukanlah pilihan "ini atau itu". Melainkan suatu kewajiban rangkap "baik ini maupun itu". Mustahil orang sanggup memenuhi kewajibannya kepada Tuhan, sementara ia menelantarkan orang tuanya.

Firman Tuhan amat jelas dan tegas. "Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya" (1Yohanes 4:20). Sebaliknya, mustahil pula orang mengasihi orang tuanya atau siapa saja tetapi tidak mengakui sang Sumber Kasih itu sendiri, yaitu Allah, yang adalah kasih itu sendiri (1Yohanes 4:8).

Orang yang mengklaim bahwa ia mengasihi Allah tapi menutup hati terhadap sesamanya, atau sebaliknya berkata mengasihi sesama tapi tidak mengasihi Allah adalah penipu. Paling sedikit, ia munafik. Kasihnya pura-pura sebab bersyarat dan berpamrih. Yang dikasihinya tak lain hanyalah dirinya sendiri.

Melalui kehidupan pribadi-Nya, Yesus memberi contoh konkret mengenai apa artinya "menghormati orang tua". Dari rentang usianya yang pendek, 33 tahun, tak kurang dari 30 tahun Ia melewatkan waktu di Nazaret. Di desa-Nya, di rumah keluarga-Nya bersama orang tua dan adik-adik-Nya.

Sepuluh per sebelas dari seluruh hidup-Nya, Ia manfaatkan untuk "urusan keluarga". "Hanya" satu per sebelas Ia pakai untuk "urusan pelayanan". Tapi Ia membuktikan, betapa pelayanan-Nya tak sedikit pun berkurang nilai, makna dan dampaknya hanya karena "kuantitas" waktu yang tersedia relatif singkat. Yang menentukan adalah "kualitas"-nya.

Mengenai apa saja yang terjadi selama 30 tahun itu, Alkitab bungkam seribu bahasa. Namun demikian, toh ada yang dengan bertanggung jawab dapat kita katakan berhubung dengan 30 tahun yang "misterius" itu.

Para penafsir pada umumnya sepakat, bahwa Yesus mempergunakan kurun waktu yang lumayan panjang itu untuk memenuhi "tanggung jawab keluarga". Sebab Yusuf, sang ayah dan kepala keluarga, besar kemungkinan telah meninggal dalam usia muda. Mengenai "dugaan" ini, beberapa alasan dapat dikemukakan.

Misalnya yang mencolok adalah bahwa Alkitab cukup banyak berbicara mengenai Maria, sang ibu. Tapi tak sepatah kata pun tentang Yusuf. Mengapa ini? Dalam kisah perjamuan kawin di kota Kana (Yohanes 2:1- 11), misalnya, Yohanes menyebutkan kehadiran Maria. Padahal sekiranya Yusuf masih hidup, ia yang lebih pantas hadir di pesta, dan namanyalah yang patut disebut.

Bila ayah telah tiada, maka anak lelaki tertualah yang mengambil alih tanggung jawab. Dan itulah yang Yesus lakukan! Selama 30 tahun itu, Yesus bukan hanya seorang "anak tukang kayu". Tapi Ia sendirilah "si tukang kayu" itu, dengan itu Ia menghidupi keluarga- Nya. Dengan berlatar belakang "profesi"-Nya itulah, Ia dapat berkata, "Kuk yang Ku-pasang itu enak" (Matius 11:30). Agaknya spesialisasi Yesus adalah membuat "kuk". Dan hasil pekerjaan-Nya prima, "enak" dipakai.

Tidak kurang dari 30 tahun, menunggu sampai adik-adik-Nya mampu mandiri, Yesus mewujudkan darma bakti-Nya kepada orang tua dan keluarga. Darma bakti yang terus diperlihatkan-Nya sampai ketika Ia sudah berada di batas ajal! (Yohanes 19:26-27).

Menghormati orang tua bukan hanya kebajikan yang eksklusif untuk bangsa Israel. Kebajikan ini bersifat universal. Legenda-legenda yang kita warisi, seperti si Malin Kundang misalnya, membuktikannya. Konfusianisme apa lagi. Menurut ajaran ini, tidak ada yang lebih keji selain perbuatan seorang anak "put hao" alias anak durhaka yang tidak berbakti kepada orang tua.

Sebab itu salah besarlah orang yang beranggapan bahwa karena Taurat tidak mengikat lagi maka orang Kristen bebas menjadi orang-orang "put hao". Tidak! Kata-kata Paulus begitu tegas dan jelas. "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah perintah yang penting." (Efesus 6:1-3)

Mengapa penting? Tidak lain karena ini merupakan urat nadi utama peradaban manusia. Ketika orang kehilangan rasa hormat kepada apa pun dan kepada siapa pun, maka hancur lebur pulalah peradaban. Pasti!

Perintah menghormati orang tua menegaskan bahwa ada yang mesti kita hormati di bumi ini. Ada yang mesti kita hormati, bukan karena lolos kualifikasi.

Bukan pula karena dengan melakukannya, kita akan menarik manfaat. Tapi kita harus menghormati, semata-mata karena "ia" adalah "ia". Orang tua kita hormati karena mereka adalah ayah dan ibu kita. Ya, betapa pun buruk penampilan mereka! Betapa pun tak membanggakannya prestasi mereka bagi prestise kita!

Bukankah ini adalah bayangan mini dari hormat kita kepada Tuhan? Kristus wajib kita hormati semata-mata karena Ia adalah Tuhan. Titik! Bukan karena Ia begini atau begitu. Bukan pula karena ini akan mengakibatkan ini atau itu.

Ini adalah sikap yang lahir dari cinta yang murni. Cinta yang mengatakan, "Ich liebe dich weil du da bist"? Bukan "Ich liebe dich weil du so bist". "Aku mencintaimu karena engkau adalah engkau!" Bukan "aku mencintaimu karena engkau begini atau begitu."

Sumber diambil dan diedit dari:

Judul Artikel : Ayahmu dan Ibumu
Penulis : Pdt. Eka Darmaputera
Situs : Glorianet

==> http://www.glorianet.org/ekadarmaputera/ekadayah.html