Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Bagaimana Melakukan Konseling yang Baik?

Bayangkan saudara adalah orang yang memerlukan pelayanan konseling. Saudara minta nasihat karena saudara tak dapat mengenyahkan depresi yang sedang saudara rasakan.

SAUDARA : Saya menderita depresi akhir-akhir ini. Tak sanggup rasanya saya menolong diri sendiri. Saya tak tahu apa yang tak beres dalam diri saya.

KONSELOR: Mengapa Saudara mempunyai perasaan yang demikian buruk?

SAUDARA : Tak tahulah saya. Saya sendiri tak sanggup menjelaskannya.

KONSELOR: Adakah dosa dalam diri Saudara yang belum Saudara akui?

SAUDARA : Saya kira tak ada. Tetapi saya dengan senang bersedia mengakui dosa saya kalau ditunjukkan.

KONSELOR: Ada menaruh dendam?

SAUDARA : Saya kira tak ada, tetapi saya akan berdoa tentang hal itu kalau harus demikian.

KONSELOR: Kita perlu berdoa kesembuhan ingatan Saudara. (Pada waktu inilah konselor saudara mengajak saudara berdoa).

(Seusai berdoa) Sadarilah, Saudara, bahwa Saudara harus yakin bahwa Saudara adalah anak Tuhan. Saudara harus merasa malu karena memiliki perasaan-perasaan semacam itu. Tuhan Yesus mati untuk mengambil kesedihan dan kemurungan, dan Alkitab menyuruh kita untuk selalu bergembira dalam Tuhan.

SAUDARA : Ya, saya tahu Bapak benar. Perasaan saya mengenai depresi ini buruk sekali. Saya kurang bersukacita.

KONSELOR: Mungkin juga Saudara tidak selalu memuji Tuhan! Setiap harikah Saudara memuji Tuhan?

SAUDARA : Saya kira tidak setiap hari. Saya absen memuji Tuhan terutama kalau saya merasa depresif seperti ini.

KONSELOR: Kalau seorang Kristen benar-benar berjalan di dalam Roh, Alkitab berkata bahwa ia akan mengalami hidup yang bahagia dan damai! Perasaan depresif Saudara berasal dari daging, bukan dari roh. Karena Saudara tidak berjalan dalam Roh, maka Saudara tidak selalu memuji Tuhan.

SAUDARA : Saya yakin Bapak benar. Istri saya (suami saya/teman saya) juga mengatakan yang sama. Saya dinasihati supaya menjadi orang Kristen yang dapat mengatasi persoalan tetapi saya sungguh-sungguh merasa depresif.

KONSELOR: Perhatikanlah apa yang Saudara ucapkan. Apa yang Saudara ucapkan adalah apa yang Saudara akan dapatkan.

SAUDARA : Apa yang saya katakan adalah apa yang akan saya dapatkan?

KONSELOR: Benar, Saudara berkata bahwa Saudara sedang dalam keadaan depresi, karena itulah maka Saudara benar-benar mengalami depresi.

SAUDARA : Jadi saya harus mengatakan bahwa saya tidak mengalami depresi sama sekali?

KONSELOR: Firman Tuhan berkata bahwa kuasa kehidupan dan kematian ada di lidah. Mintalah, maka Saudara akan diberi.

SAUDARA : Baiklah. Saya tidak merasa depresi. Saya tidak merasakan depresi.

KONSELOR: Begitu lebih baik. Sekarang bergembiralah dalam Tuhan. Pujilah Tuhan maka Saudara akan segera mengatasi depresi itu.

Sebagai Si konsele, apakah yang akan Saudara rasakan setelah mendapatkan pelayanan konseling seperti di atas? Mungkin Saudara akan merasa sangat frustasi, dan mungkin lebih merasa bersalah dan depresif daripada sebelumnya. Mengapa nasehat Firman Tuhan seperti di atas kadang tidak dapat membebaskan konsele dari masalah depresi yang dialaminya?

Marilah kita memeriksa dialog di atas untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran si konselor. Barangkali konselor di atas berpendapat:

  1. Setelah kita menjadi seorang Kristen, maka konseling menjadi suatu hal yang sederhana. Kita cukup menguasai beberapa ayat Alkitab dan sejumlah pengajaran yang sedang populer di masa kini.

  2. Tak ada perlunya mendengarkan orang sebab perasaan itu buruk dan adanya problema yang tidak dapat dipecahkan adalah akibat dosa dan kegagalan dalam menerapkan Firman Tuhan.

  3. Agar dapat menjadi konselor hanya diperlukan penguasaan sejumlah ayat Alkitab. Kalau seorang konsele tidak mau mendengarkan kebenaran, biarlah ia menanggung kesalahannya sendiri.

Tidak semua pendapat konselor di atas salah. Tidak salah jika ia mengatakan bahwa Firman Tuhan itu menyucikan dan menyembuhkan "Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu" -- (Yohanes 15:3). Benar juga pendapatnya bahwa sebagian problema adalah akibat dosa dan akibat tidak mau menerapkan Firman Tuhan dalam kehidupan. Kalau demikian, mengapa kata-kata konselor itu masih belum tepat untuk membereskan masalah yang dialami konsele?

Kasus lain adalah seorang wanita yang setelah konseling disuruh pulang dengan saran agar menghentikan kebingungannya, karena perasaan bingung itu dianggap sebagai suatu dosa dan suatu keadaan mementingkan diri sendiri. Untuk itu kepadanya dinasihatkan untuk bertobat, supaya Tuhan menyucikannya dan ia dapat sembuh. Kepadanya tidak diberikan pengertian tentang bagaimana hal-hal yang dirisaukannya itu bisa memainkan peran dalam hidupnya, juga tentang prosedur-prosedur untuk mengubah keadaannya. Ia hanya mendengar tuntutan-tuntutan yang keras untuk melaksanakan apa yang tidak sanggup dilakukannya.

Ia diminta untuk menghentikan perasaannya yang buruk dan mulai mengasihi Tuhan sebagaimana mestinya. Bukankah Tuhan telah banyak menolongnya? Mengapa ia kurang berterima kasih? Makin banyak ia mendengar kata-kata ini, makin susah hatinya karena merasa gagal dan bersalah. Ia mulai beranggapan bahwa ia tak berharga dan tak memadai, dan bahkan mungkin ia bukan seorang Kristen.

Kadang-kadang orang yang menderita seperti wanita itu dituduh kena serangan Iblis. Ada seorang wanita yang dituduh kena serangan Iblis kesombongan karena kebangsaan. Ia wanita asing dan keterikatannya dengan negerinya jelas tidak menyenangkan orang-orang yang bersangkutan. Ada juga seorang wanita yang dituduh kemasukan setan. "Ada yang mengatakan kepada saya bahwa rumah saya telah kemasukan setan seni. Saya sangat terkejut mendengar bahwa ada setan seni tinggal di rumah saya! Saya lalu membakar semua lukisan saya dan membuang koleksi buku saya mengenai barang-barang antik. Saya tidak mau melawan kehendak Tuhan, jadi saya membersihkan rumah saya dari segala macam karya seni. Saya kehilangan jutaan rupiah karenanya."

Ada pertolongan yang tidak sanggup menolong dan ada kebenaran yang tak sanggup membebaskan. Ini dapat disebabkan oleh karena:

  1. Konselor-konselor yang tidak memiliki kasih yang murni terhadap orang menderita yang dilayaninya.

  2. Kegagalan menyimak apa yang sebenarnya dikatakan oleh konsele. Daripada sabar mendengar supaya dapat mendalami problema yang sedang dihadapi konsele, mereka memotong pembicaraan.

  3. Ketidaksediaan konselor untuk mempelajari kehidupan dan keadaan konselenya.

  4. Penggunaan Firman Tuhan sebagai tongkat untuk memukul orang-orang yang dilayani dengan kebenaran.

  5. Merasa mengetahui segala jawaban dan siap di segala waktu untuk memberikan penyelesaian-penyelesaian.

  6. Salah anggapan bahwa konselor lebih baik dan lebih berharga dari konsele yang bingung.

Memang bagi Tuhan Yesus tidak sulit menyelesaikan persoalan apa saja yang dihadapi oleh manusia, namun bagi manusia yang berprofesi atau berfungsi sebagai konselor tidak semudah itu. Seorang konselor perlu memiliki kebijaksanan dan pengertian yang dalam dari Tuhan. Konselor harus berdoa kepada Tuhan supaya dianugerahi karunia pengetahuan dan pengertian serta kebijaksanaan untuk memakai karunia-karunia itu secara efektif, supaya ia tahu kehendak Tuhan untuk orang-orang yang dilayaninya. Memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menderita secara psikologis tidaklah sama dengan memberikan resep obat seperti yang dipraktekkan oleh dokter badan, misalnya dengan memberikan resep yang sama untuk setiap penyakit pilek dan tenggorokan. Tidak semua orang menderita anxietas atau depresi dari jenis yang sama atau dengan penyebab yang sama pula. Tidak ada jawaban-jawaban yang siap pakai untuk penderitaan emosional.

Ada banyak teori tentang penyebab kesulitan, masing-masing dianggap benar oleh penganutnya. Penyebab kesulitan, menurut beberapa teori psikopatologi, adalah konflik yang tidak disadari yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang dialami pada waktu masih anak-anak. Yang dekat dengan teori ini adalah pendapat bahwa ingatan merupakan penyebab kesulitan yang dihadapi di masa kini dan apabila ingatan itu disembuhkan, maka semua kesulitan akan teratasi.

Masih ada teori-teori yang mengatakan bahwa penyebab perilaku terletak pada gen-gen. Akibat logis yang pantas diragukan dari teori ini adalah bahwa keburukan tertentu dapat dihilangkan dari anak cucu kita asal saja kita mau dijodohkan menurut gagasan para cendekiawan gen, atau asalkan bahan-bahan gen kita ubah.

Para ahli lain keras berpegang pada pendapatnya bahwa semua emosi yang tak diinginkan itu timbul dari tidak adanya keseimbangan kimia. Mereka menganjurkan agar para ahli psikofarmakologi mengembangkan obat-obatan yang akan dapat menyembuhkan depresi dan gangguan psikologis lainnya sehingga dunia akan bebas dari depresi.

Ada juga orang-orang di kalangan rohani yang berkeras mengatakan bahwa persoalan-persoalan emosional selalu disebabkan oleh dosa yang belum diakui dan ketiadaan iman. Yang lain mengatakan bahwa penyebabnya terletak pada roh, dan beranggapan bahwa pasti roh jahat yang mengganggu. Ini terutama dikenakan pada persoalan-persoalan psikologis yang tak dapat mereka pahami seperti sindrom dislogika dan skizofrenia. Dalam kenyataannya, semua teori ini ada kebenarannya, tetapi tidak satu pun dapat memberikan keterangan yang memadai dan dapat menyembuhkan perilaku-perilaku yang kacau.

Kenyataan akan adanya kemajuan dalam diri si penderita setelah dilayani melalui teori-teori di atas tidak berarti bahwa masing-masing teori itu sendiri adalah jawaban satu-satunya dari persoalan.

Tuhan menghendaki penyembuhan melalui pelbagai cara seperti doa, penumpangan tangan, perminyakan, pembebasan dari roh jahat, konseling, diet, pengobatan, pekerjaan, rekreasi, udara segar, olah raga, teman-teman, kasih dan mungkin juga pelayanan seorang psikolog. Apabila Tuhan telah memilih untuk memakai seorang psikolog untuk menolong seseorang yang menderita gangguan emosi, hal ini tidak berarti bahwa penyembuhan itu bukan hasil pekerjaan Tuhan; seorang ahli jiwa dapat menjadi sarana yang dikehendaki Tuhan.

Sumber:

Judul Buku : Mengapa Aku Merasa Begini?
Penulis : William Backus, M.Th., Ph.D. dan Marie Chapian
Penerbit : Buku Betania, Semarang, 1999
Halaman : 179 - 184

Komentar