Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Bagaimana Memperoleh Kepuasan dalam Kerja?

Seseorang berkata, "Saya suka pada pekerjaan. Saya betah duduk dan memperhatikan seseorang yang sedang bekerja sepanjang hari." Namun, banyak di antara kita tidak memiliki kesempatan menikmati kehidupan enak seperti itu. Kita tidak mampu melewati hari-hari hanya dengan bermalas-malasan di tepi kolam renang dan meneguk minuman sambil memperhatikan tukang kebun memotong semak belukar. Lagipula, saya tidak yakin bahwa banyak di antara kita akan merasa puas bila tidak mengerjakan apa pun sepanjang hari. Pepatah Cina mengatakan, "Seseorang malah akan menjadi lelah bila ia tidak melakukan apa-apa."

Perasaan untuk dihargai berhubungan erat dengan perasaan bila kita telah mengerjakan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Karena itu, antara bekerja dan kepuasan hidup merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sayangnya, bekerja tidak selalu memberi rasa puas seperti itu. Kepuasan pribadi yang seharusnya kita rasakan, lebih sering merupakan sesuatu yang menguras tenaga, mental, spiritual, maupun emosi kita.

Baik Anda sebagai pekerja pabrik, eksekutif, profesional, orang tua tunggal yang berperan ganda maupun pekerja di bidang lainnya, semua pergumulan Anda dalam bentuk apa pun merupakan sesuatu yang unik, sekalipun dalam beberapa hal serupa. Dua prinsip untuk menolong kita memperoleh kepuasan:
1. Tahu kepada siapa Anda bekerja.
2. Jadikan pekerjaan itu berguna untuk Anda.

Tahu kepada Siapa Anda Bekerja

Selama di SMA, saya bekerja paruh waktu pada pemilik tiga motel kecil di Treasure Island, Florida. Menyenangkan? Kenyataannya tidaklah demikian. Saya harus memotong rumput, memangkas semak-semak dan mencabut tanaman liar lebih banyak daripada yang dapat saya ingat. Dan, upah yang saya terima pun rendah.

Pada suatu hari saya merasa bahwa saya telah memiliki cukup pengalaman dalam menyiangi rumput-rumput liar di tempat parkir yang berkerikil dalam terik matahari. Sebagai ganti laporan kerja, saya malah menelepon pimpinan untuk mengatakan bahwa saya tidak akan masuk kerja lagi. Saya keluar.

Setelah menaruh gagang telpon, saya baru menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan. Ayah mengetahui perbuatan saya dan semakin memperkuat rasa bersalah saya. Saya kemudian menelepon pimpinan kembali dan meminta maaf padanya. Saya juga mengatakan bahwa saya dapat bekerja selama beberapa minggu lagi sampai ada yang menggantikan saya.

Bagaimana saya dapat sampai pada keputusan untuk berhenti kerja? Ketika kembali memikirkan hal itu, sejumlah alasan terbayang di benak saya. Pekerjaan tersebut hanya merupakan suatu rutinitas dengan tempat kerja yang panas di bawah terik matahari, dan pimpinan tidak menunjukkan sikap menghargai serta tidak banyak keuntungan yang diperoleh, baik dari segi materil maupun kepuasan batin. Selain itu, saya bekerja tidak untuk membantu keuangan keluarga, tetapi untuk mendapatkan tambahan uang saku.

Motivasi saya dalam bekerja berubah sejak saat itu, sekalipun alasan-alasan yang saya kemukakan tidak selalu yang terbaik dan keinginan untuk berhenti kerja tidak hanya terjadi sekali.

Bagaimana dengan Anda? Bagaimana sikap Anda ketika pekerjaan nampak tidak berarti, pimpinan nampak terlalu kritis, terjadi hubungan yang menegangkan dengan rekan sekerja, keluarga yang tidak menghargai jerih lelah Anda, tidak adanya kenaikan upah, dan pekerjaan yang makin lama makin menjemukan, berjalan rutin dan terlihat sia-sia? Bukankah sangat sukar untuk berkarya optimal bila kita tidak merasa mendapat banyak dari pekerjaan kita?

Namun, ada nilai yang sangat penting dalam pekerjaan kita, melebihi apa yang dapat dilihat mata. Kita tidak sekadar bekerja bagi pemilik toko, kantor, pabrik, bagian konstruksi, atau bidang lainnya.

Kepada siapa sesungguhnya kita bekerja? Pada akhirnya, kita bekerja untuk Tuhan. Dia adalah Pimpinan di atas segala pimpinan, Pengawas di atas segala pengawas, Mandor di atas segala mandor, Manajer di atas segala manajer. Mungkin sukar untuk mengingat hal ini saat kita terjebak dalam kesibukan kerja setiap hari. Tetapi, bila kita menyimpannya dalam pikiran, sikap kita akan diubahkan.

Allah adalah majikan yang menjadi sumber perhatian di hati kita. Dia tidak akan pernah memberikan pekerjaan yang melampaui batas kepada kita dengan upah yang sangat rendah. Dia sangat memperhatikan Anda dan saya. Dia ingin menolong dalam setiap aspek pekerjaan kita. Alasan Dia memperhatikan pekerjaan kita -- bahkan sangat memperhatikan -- adalah karena segala tindakan kita dalam pekerjaan mencerminkan kepribadian kita yang terdalam dan tingkat pengabdian kita kepada-Nya.

Kita diciptakan untuk merefleksikan sifat Allah (Kejadian 1:26-27) dan diberi mandat untuk menggunakan segala kemampuan kita untuk kemuliaan nama-Nya. Seperti Dia, kita adalah pekerja. Dia bekerja untuk menciptakan dunia ini. Yesus berkata, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga." (Yohanes 5:17) Laki-laki dan perempuan diciptakan agar mereka menggunakan tangan dan akal untuk menguasai dan mengusahakan bumi ini (Kejadian 1:28; 2:15-20). Sama seperti dua pekerja yang mula-mula itu (Adam dan Hawa), kita juga mendapat mandat untuk bekerja dengan setia dalam memelihara apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita.

Bagaimana hal ini dapat mengubah sikap saya terhadap orang-orang yang bekerja bersama saya setiap hari? Jika kita berdoa agar kerajaan Allah datang dan kehendak-Nya jadi, baik di bumi maupun di surga (Matius 6:10), maka dengan sendirinya kita mengizinkan Dia memakai kita sebagai alat-Nya dalam menggenapi rencana-Nya. Daripada merenungi diri sebagai korban keadaan atau orang yang dikendalikan oleh majikan, Allah ingin kita menjadi manusia aktif yang memberi pengaruh positif bagi lingkungan, bukannya dikuasai oleh lingkungan.

Ketika Yesus meringkaskan perintah Allah, Dia berkata: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40)

Bagaimana perkataan Yesus tersebut dapat diterapkan dalam dunia kerja? Kasih berarti memberi diri. Kasih mencari hal-hal yang baik dari orang lain. Mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi termasuk memberikan segala yang kita miliki kepada-Nya. Mengasihi orang lain seperti diri sendiri berarti kita menginginkan segala yang baik terjadi pada orang lain sama seperti kita berharap untuk diri kita sendiri. Jika diterapkan dalam dunia kerja, itu berarti kita mengerjakan pekerjaan kita dengan tujuan utama untuk memuliakan nama-Nya, dan kemudian untuk kepentingan orang lain.

Siapa yang berhak menerima pelayanan seperti untuk Tuhan?

Alkitab menyebutkan beberapa macam orang yang berhak menerima pelayanan terbaik dari kita,karena kita ingin menyenangkan Tuhan. Mereka termasuk majikan kita, keluarga kita, fakir miskin, dan masyarakat.

a. Majikan Kita.
Sebagaimana Anda ketahui, hal ini sangatlah sukar untuk dilakukan. Ada satu kisah dalam Executives' Digest yang menceritakan tentang instruktur di sebuah perusahaan yang membiayai kursus pertolongan pertama pada kecelakaan sedang memberikan pertanyaan pada salah satu pekerja. "Apa hal pertama yang akan Anda lakukan bila Anda terserang penyakit rabies?" Pekerja itu segera menjawab, "Saya akan menggigit pengawas saya." Jawaban yang penuh humor ini menggambarkan kenyataan yang mengganjal bahwa orang sering memandang pimpinan mereka sebagai musuh. Membangun sikap yang positif tidaklah selalu mudah.

Dalam Efesus 6:5-8, Paulus mengatakan agar para hamba menghormati majikan mereka. Paulus tidak menyetujui perbudakan, tetapi mereka yang berada dalam situasi seperti itu harus melayani majikan mereka, sama seperti melayani Kristus sendiri. Ingatlah, Paulus mengalamatkan surat ini kepada para hamba, bukan kepada para pekerja yang bekerja di suatu tempat karena pilihan pribadi. Sekalipun demikian, Paulus mengatakan kepada mereka agar melayani dengan "takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus" (Efesus 6:5).

Paulus juga menambahkan beberapa motivasi yang melatarbelakangi mereka untuk berbuat demikian, yakni "Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan" (Efesus 6:8). Upah yang terakhir akan datang dari Tuhan (lihat juga Kolose 3:22-24.)

b. Keluarga Kita.
Alkitab juga berbicara dengan tegas dan langsung kepada kita yang memiliki keluarga yang bergantung pada kita baik dari segi makanan, pakaian, rumah, dan masih banyak lainnya. Dalam I Timotius 5:8 tertulis, "Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman." Firman ini sangat tajam. Kita memiliki tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan keluarga termasuk suami-istri, anak-anak, orang tua yang sudah jompo, serta mereka yang bergantung dan memerlukan perhatian khusus kita. Jika kita lalai atau sengaja tidak merawat mereka dengan baik, hal itu berarti kita menyangkal iman kita kepada Kristus.

c. Fakir Miskin.
Rasul Paulus memberikan perintah: "Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan." (Efesus 4:28) Amsal 19:17 juga menegaskan, "Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu." Sama seperti kedua hal yang telah kita bahas di atas, kita disebut telah memberikan pelayanan kepada Tuhan bila kita melayani fakir miskin.

Bagian lain dalam Amsal memberitahu kita, "Si pemalas dibunuh oleh keinginannya, karena tangannya enggan bekerja. Keinginan bernafsu sepanjang hari, tetapi orang benar memberi tanpa batas." (Amsal 21:25-26) Lagi-lagi kita melihat suatu kontradiksi yang tajam. Orang yang malas selalu ingin lebih dan lebih lagi untuk dirinya sendiri, tetapi orang saleh bekerja keras untuk membantu mereka yang miskin (lihat juga Mazmur 37:25-26; Kisah Para Rasul 20:35; Galatia 2:10; dan I Yohanes 3:17-18).

d. Masyarakat.
Hal lain yang tak kalah pentingnya dengan mencukupi kebutuhan materil keluarga dan fakir miskin adalah membangun hubungan rohani yang baik dengan pimpinan maupun rekan kerja kita.

I Tesalonika 4:11-12 mengatakan, "Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka." Tujuannya adalah memberi kesan yang baik bagi orang-orang non-Kristen. Mereka perlu melihat bahwa iman dalam Kristuslah yang melahirkan perbedaan positif dalam Anda menjalani setiap aspek kehidupan Anda.

Ketika Paulus menulis surat kepada Titus, ia mengatakan bahwa sebagian motivasi yang harus dimiliki pekerja adalah "memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita." (Titus 2:10) Hari-hari kerja yang penuh dengan kejujuran akan memperlihatkan iman kita melalui profesi kita dan kebenaran Injil itu sendiri.

Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama menceritakan seorang pekerja yang suka bekerja keras dan memiliki integritas tinggi, yakni Yusuf (Kejadian 39-50). Pada waktu muda, ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya dan berakhir sebagai abdi Firaun di Mesir. Sangat sukar untuk dibayangkan bagaimana ia memiliki segala sesuatu tetapi mengalami kehinaan sebagai tawanan. Namun, Yusuf tetap melayani dengan setia dan tidak pernah kompromi dalam imannya kepada Allah. Firaun memperhatikan hal ini.

Daniel adalah contoh lain dalam Perjanjian Lama yang memberikan teladan yang baik dalam merefleksikan imannya kepada Tuhan melalui pekerjaannya. Ketika Israel dikepung orang-orang Babel dan dibawa sebagai orang buangan, Daniel dipaksa untuk melayani Raja Nebukadnezar. Melalui kesetiaan dalam pekerjaannya, Daniel memberi kesaksian hidup yang indah bagi kemuliaan Tuhan di kerajaan kafir tersebut.

Apa lagi yang dapat kita lakukan? Kesadaran bahwa sesungguhnya kita bekerja bagi Tuhan merupakan langkah awal yang terpenting untuk menemukan kepuasan dalam bekerja. Namun selain itu, ada hal lain yang Allah ingin kita lakukan. Pada pembahasan selanjutnya akan diuraikan apa yang dapat kita lakukan untuk menjadikan pekerjaan kita lebih sesuai dengan uraian tugas yang telah Allah tetapkan bagi hidup kita. Jika kita melakukannya, hidup kita akan menjadi lebih terarah, lebih berarti, dan lebih memuaskan.

Pikirkan lebih lanjut. Mengapa Allah ingin Anda bekerja? Apa yang Anda berikan kepada Allah dan sesama tatkala Anda bekerja? Mengapa memberi kepada sesama lebih memuaskan daripada hanya melayani diri sendiri? Bagaimana Anda menggunakan uang Anda untuk menolong fakir miskin? Apakah Anda memenuhi kebutuhan keluarga Anda? Apakah rekan sekerja tahu bahwa Anda seorang Kristen dan apakah mereka tertarik kepada Kristus karena kehidupan dan teladan Anda?

Jadikan Pekerjaan Itu Berguna bagi Anda

Apakah dampak dari pekerjaan yang Anda kerjakan belakangan ini? Anda telah mencurahkan banyak waktu dan tenaga untuk pekerjaan itu, tetapi apa yang Anda dapatkan sebagai imbalannya? Apakah frustrasi, tanggung jawab, dan tekanan telah menimbulkan kepahitan dan keputusasaan dalam diri Anda? Atau sebaliknya, Anda memanfaatkannya sebagai alat yang memacu Anda untuk menjadi pekerja yang lebih baik lagi dan semakin serupa dengan Kristus?

Jika Anda mengingat kembali masa-masa yang telah Anda lalui dalam mengikut Kristus, Anda akan melihat bukti pertumbuhan dan buah-buah yang telah dihasilkan. Bagaimana pekerjaan dapat mendorong atau menghalangi terjadinya proses ini? Apakah Anda melihat adanya kemajuan dalam pekerjaan sehubungan dengan sikap dan tindakan Anda?

Banyak di antara kita telah mengotak-ngotakkan setiap segi kehidupan sampai hal yang sekecil-kecilnya, sehingga kita tidak mampu lagi melihat bagaimana iman dalam Kristus itu berkaitan dengan pekerjaan kita. Dan, memang seharusnya tidak demikian. Allah tidak hanya peduli dengan pelayanan kita di gereja, di rumah, atau terhadap sesama kita, tetapi Dia juga ingin terlibat dalam setiap aspek pekerjaan kita. Dia memedulikan cara kita melakukan penjualan, melayani pelanggan, menanggapi pimpinan, bekerja dengan orang lain, menangani harta milik perusahaan, dan mengatasi masalah-masalah sepele maupun besar yang kita hadapi setiap hari. Dia memedulikan pilihan karier dan seberapa baiknya kita menyaksikan Dia melalui pekerjaan kita. Allah demikian peduli, sehingga ingin menolong kita untuk menjadi pekerja yang baik dalam setiap keadaan.

Dalam II Timotius 2:15, Rasul Paulus menulis pada pengikut Kristus yang masih muda, "Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu." Sekalipun ayat ini terutama ditujukan untuk Timotius yang mengajarkan kebenaran firman Tuhan kepada mereka yang mudah diombang-ambingkan oleh ajaran sesat, namun prinsip ayat ini dapat diterapkan untuk segala jenis pekerjaan. Kita perlu berjuang untuk memberikan yang terbaik, tak peduli apa pun pekerjaan kita.

Mengapa kita tidak mengerjakan pekerjaan yang berguna bagi kita? Satu alasan untuk menjawab hal ini adalah bahwa apa yang kita lakukan tidak selalu nampak penting. Pekerjaan dapat menjadi sesuatu yang menyebabkan kita sangat menderita. Kita membutuhkan beberapa jalan keluar untuk meringankannya. Kita tidak mengharapkan datangnya hari pertama dalam setiap pekan. Kita sering melihat pekerjaan sebagai suatu kejahatan yang harus kita tanggung sampai kita mampu mengalahkannya dan melakukan apa yang sesungguhnya ingin kita lakukan.

Selama beberapa tahun, saya bekerja membersihkan gedung kantor setiap sore. Pekerjaan ini meliputi membuang kertas-kertas dari keranjang sampah, membersihkan dan mengepel lantai, wastafel serta toilet. Saya harus mengakui bahwa sering kali saya gagal melihat nilai kekal dari apa yang saya kerjakan tersebut. Bagi saya, itu hanya merupakan suatu pekerjaan dan bukan sesuatu yang menyenangkan. Namun, saya masih dapat mengingat ketika saya sungguh-sungguh merasakan kepuasan dalam membersihkan kantor maupun toilet. Dan, dalam kenyataannya, saya sering kali berharap dapat melakukan pekerjaan itu kembali saat ini! Apa yang membuat adanya perbedaan di antara keduanya? Jawabannya adalah sikap saya terhadap pekerjaan itu sendiri.

Apa tanda-tanda dari cara pandang yang salah terhadap pekerjaan? Berikut ini beberapa tanda-tandanya:
a. Bersikap malas (bekerja sesedikit mungkin atau memboroskan waktu).
b. Bersikap pasif (tidak memiliki keyakinan dan keberanian mempertahankan yang benar).
c. Mencuri (memanfaatkan setiap kesempatan untuk kepentingan pribadi).
d. Bersungut-sungut (ketidakpuasan).

Bagaimana kita dapat bekerja lebih baik? Pertama, kita harus melihat tekanan kerja sebagai suatu kesempatan bagi kita untuk bekerja dengan lebih baik lagi. Kata ujian yang dikemukakan Yakobus dalam suratnya yang singkat di Perjanjian Baru juga berhubungan dengan apa yang kita alami dalam pekerjaan. Ia berkata, "Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun." (Yakobus 1:3-4) Jika kita diperhadapkan pada situasi yang tidak dapat diatasi, kita harus mengingat kembali perkataan Yakobus, "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah maka hal itu akan diberikan kepadanya." (Yakobus 1:5)

Rasul Paulus banyak berbicara tentang hal ini, yakni nilai dari adanya situasi yang menekan. Dalam suratnya kepada orang-orang percaya di Roma, ia menyebutkan bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, tahan uji, dan pengharapan (Roma 5:3-4). Masalah yang kita temui dalam pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk melakukan apa yang benar dan menjadikan kita lebih saleh.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa sekalipun kita tidak menerima penghargaan dan imbalan sebagaimana layaknya, Allah akan memberikan upah pada setiap pekerjaan yang dilakukan dengan setia bagi kemuliaan nama-Nya (Efesus 6:5-8; Kolose 3:23-24).

Ketiga, kita perlu mengingat bahwa untuk menyenangkan hati Allah, kita harus tunduk, terlepas dari baik atau jahatnya majikan kita. I Petrus 2:18-19 menyebutkan, "Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis. Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung." Petrus juga mengingatkan teladan agung yang diberikan Yesus Kristus yang telah mengalami penderitaan hebat, tetapi mau menanggungnya dengan sabar (I Petrus 2:21).

Keempat, kita harus mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Roma 12 mencakup semua perintah ini: "Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan... Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! ... Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:17-18, 21).

Namun, bagaimana bila saya membenci pekerjaan saya? Saya turut simpati kepada mereka yang merasa tersiksa setiap kali harus memasuki ruangan untuk melaporkan pekerjaannya. Beberapa hal disebabkan karena pekerjaan. Namun, yang sering terjadi adalah karena tipe dari orang-orang yang bekerja sama dengan mereka.

Jika Anda mendapati diri Anda berada dalam situasi yang tidak menyenangkan, ada dua pilihan yang dapat Anda ambil: (1) Jika "terpaksa" harus bertahan dalam situasi tersebut. Anda harus melakukan yang terbaik untuk mengatasinya, atau (2) j1ka Anda sanggup mendapat yang lebih baik, maka sebaiknya Anda mencari pekerjaan lain.

Paulus juga mengungkapkan hal serupa dalam I Korintus 7. Surat ini ditujukan kepada mereka yang hidup dalam masa perbudakan pada abad pertama. Paulus berkata: Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu. Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia (I Korintus 7:21-23).

Paulus tidak menyetujui adanya perbudakan. Dan, fakta membuktikan hal ini. Ia mengatakan agar para budak mengusahakan kebebasannya secara legal. Namun baginya bukanlah masalah perbudakan atau kebebasan. Yang menjadi masalah baginya adalah hubungan seseorang dengan Yesus Kristus. Sebagaimana kita lihat sejak awal, Alkitab memperhadapkan kita pada pimpinan yang lebih tinggi daripada pengawas atau dewan komisaris kita. Pada akhirnya, kita melayani Tuhan, dan tak peduli betapa baik atau buruknya situasi pekerjaan kita, kita harus menyenangkan hati Tuhan melalui segala tindakan kita dalam mengatasi ketidakadilan, tekanan, dan konflik-konflik pribadi.

Ada pilihan tambahan yang dapat Anda ambil, yaitu melihat adanya kemungkinan pindah kerja. Bisa jadi, berhenti dari tempat kerja lama dan pindah ke tempat kerja baru hanya merupakan penyelesaian masalah untuk sementara waktu. Kita dapat terlepas sepenuhnya dari masalah itu, atau sebaliknya kita cuma lari dari satu jenis masalah untuk menghadapi masalah lain. Bagaimanapun juga, tidak ada satu perusahaan pun yang tidak memiliki kelemahan. Karena itu, sebelum memutuskan untuk berhenti bekerja, pertimbangkan kembali semua alasan yang menyebabkan Anda ingin keluar. Pertimbangkan dampaknya bagi keluarga, gereja, masyarakat, integritas, dan hubungan Anda dengan Tuhan.

Pikirkan lebih lanjut. Hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki dari sikap dan perilaku Anda? Masalah-masalah apa yang dapat Anda selesaikan dengan kasih dalam menghadapi rekan kerja atau manajer? Masalah-masalah apa yang berada di luar kendali Anda? Mengapa doa sangat penting dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut?

Diambil diedit seperlunya dari:

Judul asli buku : How Can I Find Satisfaction in My Work?
Judul buku terjemahan : Bagaimana Memperoleh Kepuasan dalam Kerja?
Penulis : Martin R. De Haan II
Penerjemah : Dra. Gunawati Widjaja
Penerbit : Yayasan Gloria, Yogyakarta 1996
Halaman : 7 -- 19

Komentar