Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Bagian C: Perceraian: Mempertimbangkan Perceraian

Perceraian: Mempertimbangkan Perceraian
Latar Belakang

Perceraian, yaitu pemutusan ikatan nikah secara hukum, merupakan penyimpangan dari maksud Allah, tidak disokong Alkitab kecuali dalam batas-batas kondisi tertentu. Perceraian adalah akibat dosa pada salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami-istri itu. Kerap kali, kedua pihak sama bersalah. Kesombongan dan pementingan diri sendiri, sering menambah andil pada keadaan yang mendorong terjadinya perceraian.

Perceraian sering dihasilkan oleh kehendak yang kaku. "Kata Yesus kepada mereka: 'Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.'" (Mat 19:8). Perceraian bukan maksud asli Allah bagi pernikahan.

Walau diputar balik bagaimanapun, Alkitab tidak membenarkan perceraian. Alkitab menandaskan:

"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." (Kej 2:24). Rasul Paulus menulis: "Kepada orang-orang yang telah kawin aku -- tidak, bukan aku, tetapi Tuhan -- perintahkan, supaya seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya." (1Kor 7:10).

"Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap istri dari masa mudanya. Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel -- juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!" (Mal 3:15,16).

Perceraian diijinkan, terbatas pada kondisi-kondisi berikut:
  1. Bila teman hidup melakukan pelanggaran seks seperti perzinahan atau homoseks, dan tidak berniat untuk bertobat atau mencari keampunan Allah, atau meninggalkan dosanya dan kembali setia pada istri atau suaminya. (Lihat Mat 19:9).
  2. Bila salah satu meninggalkan pasangannya, khususnya bila pasangan yang tidak beriman meninggalkan pasangannya yang Kristen. (Lihat 1Kor 7:15)

Jika sebelum menerima Kristus, seseorang telah menikah dan kemudian bercerai, dia harus tetap dalam keadaannya itu. Jika seseorang sempat menikah ulang, dia harus berupaya agar perkawinannya kedua itu berhasil. Meninggalkan pasangan kedua untuk kembali ke pasangan pertama, adalah salah. Dua kesalahan tidak menciptakan kebenaran!

Berpasangan dengan yang bukan Kristen, bukanlah alasan untuk bercerai. Sebaliknya, yang Kristen dianjurkan untuk hidup berdamai dengan pasangannya yang bukan Kristen, untuk memenangkannya ke dalam iman pada Kristus (1Kor 7:12-16).

Perhitungkan resikonya:
  1. Senang atau tidak senangkah Allah?
  2. Perceraian itu akan mengganggu kelangsungan hidup dan membawa pengaruh buruk pada orang lain (anak-anak, orang tua, sanak keluarga), atau tidak?
  3. Sungguhkah ia akan menyelesaikan masalah, atau malah menciptakan masalah-masalah baru? Perceraian adalah suatu pengalaman emosional buruk yang membekas dalam.
Gunakan segala sumber untuk mencari Jalan keluar:
  1. Mulailah berusaha dari diri sendiri, mencari jalan keluar dengan penuh kerendahan hati dan semangat mengampuni. (Lihat. Mat 18:21,22).
  2. Mintalah dan ikuti secara serius, bimbingan pernikahan Kristen dari pusat bimbingan Kristen atau dari pendeta.
  3. Jika perlu, mulailah dengan percobaan hidup terpisah dalam usaha mencari perbaikan. Terutama dalam kasus penyiksaan jasmani dan mental, homoseks, alkohol, kecanduan, dan sebagainya, pemisahan sementara sangat dianjurkan.

Komentar