Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Elizabeth Prentiss -- Memercayai Allah dalam Tragedi

Blogger yang menulis artikel ini adalah Susan Verstraete. Susan adalah seorang guru sekolah minggu dan seorang pemimpin kelompok diskusi buku di Faith Community Church di Kansas, North. Di sana, ia juga melayani sebagai sekretaris gereja. Susan dan suaminya, Michael, memiliki dua anak laki-laki yang sudah dewasa, Patrick dan Christopher. Buku yang ditulis Susan, "Your People: Stories from Church History" tersedia di toko buku Amazon.

Memang ini adalah sesuatu yang mengerikan untuk diterima orang, khususnya bagi seorang gadis kecil yang sensitif, yang masih berusia 8 tahun. Ayah Elizabeth sedang merasakan rasa sakit yang luar biasa karena ia mengidap tuberkolosis. Pertama, batuknya menjadi-jadi dan terus-menerus. Kemudian, staminanya menurun dan ia harus berhenti berkhotbah. Akhirnya, Edward Payson hanya bisa terbaring di tempat tidur, dan mereka tahu bahwa ajalnya sudah dekat.

Di tengah-tengah semua ini, iman Payson tidak pernah goyah. Ia percaya pada rencana Allah atas hidupnya dan keluarganya. Bahkan, sebelum meninggal ia mengatakan bahwa ia tidak memiliki keinginan apa pun soal hidup atau mati. Ia menulis, "Tidak akan ada sesuatu yang mengecewakan bagiku karena aku tidak memiliki keinginan kecuali agar kehendak Allah digenapi."

Beberapa hari sebelum Elizabeth menginjak usia 9 tahun, ayahnya meninggal. Ia tidak dapat menerima dengan tenang apa yang terjadi seperti yang ayahnya teladankan. Beberapa bulan berikutnya, Elizabeth menunjukkan luapan kemarahan yang mengerikan. Ia marah kepada orang-orang yang berusaha menolongnya, bersikap kurang ajar, dan menguji kesabaran ibunya yang sedang berduka.

Ketika Elizabeth semakin besar, ia ingin sekali memercayai Allah seperti yang dilakukan orang tuanya. Kepribadiannya yang romantis, yang menjadi ekstrem, membuatnya langsung percaya bahwa ia mengasihi Allah lebih dari hidup, dan menenggelamkan dirinya ke dalam keputusasaan yang dalam tentang keberadaannya bersama Allah untuk selanjutnya.

Elizabeth menikahi seorang hamba Tuhan seperti ayahnya, Rev. George Prentiss. Mereka memiliki pernikahan yang bahagia dan saling mencintai begitu dalam. Menjelang tahun 1852, Allah memberkati mereka dengan seorang anak perempuan, Annie, dan seorang anak laki-laki bernama Eddy. Elizabeth sedang menantikan anak ketiga mereka ketika Eddy sakit.

Awalnya, dokter tidak menganggap penyakitnya serius, tetapi ia terbukti salah. Saat ini, para dokter akan mendiagnosanya sebagai meningitis -- "cairan di otak". Elizabeth menunjukkan keberanian yang tidak terbayangkan ketika mengantarkan Eddy, anaknya yang mungil, kepada kematian, dengan mengatakan kepadanya cerita-cerita tentang seperti apakah surga itu dan mendorongnya untuk memercayai Yesus. Eddy meninggal pada tanggal 16 Januari. Saat acara pemakaman, paduan suara menyanyikan sebuah himne, "Kehendak-Mu jadilah." Elizabeth menulis, "Seperti air dingin bagi jiwa-jiwa yang haus. Inilah yang harus atau dapat kita ucapkan."

Tiga bulan berikutnya, pada tanggal 16 April, adik perempuan yang mungil, Bessie, lahir. Ia memperlihatkan badan yang sehat, tetapi pada tanggal 18 Mei, Bessie tiba-tiba sakit parah. Ia meninggal pada keesokan harinya. Keluarga ini kehilangan dua anak dalam waktu 5 bulan. "Iman saya goncang karena pukulan terakhir ini," tulis Elizabeth, "dan saya meredam kemarahan untuk mengatakan betapa sulitnya saya menemukan cara untuk mengatakan dengan sukacita 'Kehendak-Mu jadilah'. ... alangkah besarnya kerinduan saya untuk benar-benar berharap, serta menyerahkan diri sepenuhnya dan tanpa keraguan kepada Dia yang mengasihani saya ketika Ia menghajar saya."

Elizabeth sangat berduka, tetapi ia tetap percaya kepada Allah ketika melewati dua pengalaman kehilangan yang menyayat hati ini. Berbeda dari versi dirinya sendiri ketika berusia 8 tahun, ia tidak akan mencerca Allah dalam kesedihannya. Akan tetapi, mengapa tidak? Apakah yang telah Elizabeth pelajari, yang membuatnya menerima takdir yang sulit ini dengan iman?

Dalam penderitaan ada tujuan. "Kita tidak dapat memahaminya," kata Elizabeth ketika memberi konseling kepada seorang teman, "tetapi saya rasa penderitaan ini mungkin adalah cara Allah mempersiapkan anak-anak-Nya untuk tingkat pelayanan yang sangat tinggi di bumi atau kebahagiaan di surga." Elizabet belajar menjadi orang yang sangat bersimpati kepada para orang tua lainnya yang berduka setelah merasakan kehilangannya; menghibur mereka dengan penghiburan yang ia terima (2 Kor 1:4). Ia menulis sebuah buku yang berjudul "How Sorrow was Changed into Sympathy", yang tersebar luas di pasar sebagai sarana menolong mereka yang mengalami pengalaman kehilangan yang serupa.

Allah itu baik, dan berkuasa atas segala sesuatu. Setelah Bessie meninggal, Elizabeth dapat memahami bagaimana mengatasi kesedihan. Ia terus-menerus mengajarkan kepada dirinya sendiri, berulang-ulang, "Allah tidak pernah membuat kesalahan. Allah tidak pernah membuat kesalahan." Ia tahu bahwa Allah yang sama, yang mengawasi burung-burung pipit (Matius 10:29), mengawasi anak-anak-Nya dengan kasih sayang. Ia mengumpamakan Allah seperti seorang kepala tukang kebun, yang sengaja mencabut anak-anaknya seperti seorang tukang kebun yang mencabut bunga yang merekah indah dari kebun bunga.

Ia mengenal Allah secara pribadi melalui Alkitab dan pengalaman. Elizabeth menulis, "Kita harus membaca Alkitab agar dapat memahami kehidupan Kristen, dan kita harus menanamkannya jauh ke dalam kehidupan agar dapat memahami Alkitab. Betapa indahnya ketika seseorang mengartikannya kepada yang lain!" Sebagai hasil pencampuran antara pembelajaran dan pengalaman ini, Elizabeth dapat berkata, "Hatiku berpihak kepada Allah dalam segala hal, dan gambaranku tentang karakter-Nya adalah sesuatu yang indah, sehingga saya rasa Ia tidak mungkin salah."

Penderitaan memberikan dampak baik dalam kehidupan Elizabeth, yang membuatnya memiliki iman yang teguh dalam Allah, yang menyertainya melewati setiap kesulitan (Yakobus 1:2-4). Ia tahu bahwa imannya kepada Allah begitu kuat menginspirasinya untuk menulis himnenya yang paling terkenal, "More Love to Thee", yang tersusun dari beberapa baris berikut ini:

Biarkanlah kepedihan mengerjakan bagiannya, kesedihan dan luka hadir;
Utusan-utusan-Mu manis, kata-kata mereka yang diulang-ulang begitu manis,
Ketika mereka bisa bernyanyi bersamaku: makin besarlah kasih, oh Kristus, kepada-Mu;
Makin besar kasih kepada-Mu, makin besar kasih kepada-Mu! (t/S. Setyawati)

Diterjemahkan dari:

Nama situs : Biblical Counseling for Women
Alamat URL : http://bc4women.blogspot.com/
Judul asli artikel : Trusting God in Tragedy: Elizabeth Prentiss
Penulis artikel : Susan Verstraete
Tanggal akses : 12 Januari 2015

Komentar