Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kehidupan Lajang dari Perspektif Wanita

Kehidupan lajang adalah bagian hidup yang Tuhan berikan, porsi yang Tuhan telah tetapkan, yang di dalamnya mempunyai minus dan plusnya.

KEHIDUPAN LAJANG DARI PERSPEKTIF WANITA

T: Pertanyaan yang saya ingin tanyakan adalah apa kira-kira alasan wanita itu hidup lajang?
J: Ada sebagian karena mereka tidak mendapatkan jodoh yang cocok, mungkin tidak sesuai dengan selera mereka, dengan standar level yang mereka sudah tentukan dalam hati mereka sendiri. Ada juga karena kekurangan pria terutama yang berkerohanian baik, karena pada umumnya wanita menginginkan supaya pria lah yang menjadi kepala rumah tangga, yang memimpin, sebagai imam di rumah tangga. Jadi mereka menginginkan sekali bahwa apabila mereka menikah, mereka menginginkan seorang pria yang sungguh-sungguh bisa memimpin mereka di dalam hal kerohanian.
T: Apakah hidup lajang atau tidak menikah pada wanita itu sebenarnya merupakan sesuatu yang direncanakan?
J: Saya rasa yang memutuskan untuk hidup melajang ada, saya tidak berani bilang tidak ada, cuma tidak terlalu banyak. Pada umumnya, wanita ingin menikah, mempunyai satu keluarga, membina keluarga yang manis dan baik. Saya kira pada umumnya begitu.
T: Kalau ada orang yang berkata bahwa karier itu adalah musuh dari perkawinan, bagaimana pendapat Bapak?
J: Tidak selalu ... walaupun memang ada orang yang mungkin karena tuntutan tanggung jawab -- karena adik-adiknya yang masih kecil, harus membiayai sekolah, orangtua sudah meninggal dll. Karena rasa tanggung jawab, wanita ini bekerja terus dan lebih mementingkan kariernya, sampai akhirnya memang lupa. Jadi memang dapat menjadi bermusuhan dengan perkawinan itu sendiri. Tetapi kalau mau diakui secara jujur saya yakin, walaupun dia berkarier sedemikian rupa, keinginan untuk membangun sebuah rumah tangga pasti ada di dalam hatinya.
T: Nah, bagaimana wanita-wanita lajang menghadapi sikap masyarakat atau keluarga yang kadang-kadang curiga, mencemooh atau menganggap hal itu aneh?
J: Sikapnya bisa bermacam-macam. Ada orang-orang yang kelihatannya happy-happy saja. Dia begitu menikmati status lajangnya karena rasanya tidak perlu pusing dalam pengambilan keputusan apa yang ia ingin lakukan, bekerja di bidang apa, atau mau pergi ke mana. Rasanya tidak perlu banyak urusan dibanding orang-orang yang sudah menikah, karena sebentar-sebentar harus telepon ke rumah menge-cek apa anaknya sudah minum susu atau belum. Tetapi di kalangan lain cukup banyak wanita lajang yang akhirnya memang stress dengan tuntutan orangtua atau keluarga. Dia cenderung menghindari pertemuan-pertemuan keluarga karena setiap kali kumpul ada yang menikah, ada yang ulang tahun. Keluarga biasanya menanyakan, "Kapan menyusul?", lalu "Mana calonnya?", itu memang hal yang dapat sangat membuat stres.
T: Bagaimana dengan wanita lajang yang punya kedudukan yang tinggi dan merasa hidup lebih baik daripada yang sudah menikah, bagaimana seharusnya ia bersikap di tengah-tengah keluarganya?
J: Saya rasa hal ini tidak hanya menjadi masalah wanita lajang saja. Sama seperti orang-orang pada umumnya perlu belajar memahami posisi orang lain. Wanita lajang pun perlu memahami bahwa mungkin orang lain (yang menikah) memiliki hambatan sehingga tidak bisa seproduktif dia yang masih lajang. Orang yang sudah menikah bisa mempunyai kesulitan karena harus membagi waktu dengan keluarganya. Jadi kalau wanita lajang mempunyai sikap bisa menerima dan memahami kesulitan mereka yang sudah menikah, maka ia bisa menjadi orang yang menyenangkan juga.
T: Jadi apa saran Bapak bagi para wanita lajang, apa yang bisa mereka lakukan untuk mengisi kebutuhan emosionalnya? Sebab kesendirian itu harus menjadi bagian hidup yang sangat riil.
J: Tetap menjalin relasi. Saya pikir memang kadang-kadang sulit. Mungkin dulu pernah bersahabat akrab dengan seorang teman, tapi kemudian teman akrabnya sudah menikah. Maka kadang-kadang mau tidak mau hubungan menjadi berubah karena temannya harus mengurus suami dan keluarganya sementara dia tetap sendiri. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dia tetap bisa menjalin relasi dengan orang-orang lain juga. Misalnya, tetap terlibat dalam kehidupan sosial, mungkin pelayanan, persekutuan, hal-hal yang memang bisa membuat dia bisa mengaktualisasikan dirinya dan menjalin kehidupan sosialnya. Jangan justru malah menyendiri takut diomongin orang atau takut dipandang remeh.
T: Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Bapak ingin menyampaikan suatu kesimpulan.
J: Saya akan bacakan dari Filipi 4:11 dan 12, "Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan, dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku." Terus disambung di ayat 13, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku."

Yang bisa saya simpulkan dari pembicaraan kita di atas adalah: Pertama: kita perlu menerima keadaan kita. Jangan sampai kita merasa ada masalah dengan status lajang kita. Tidak apa-apa melajang, ini adalah bagian hidup yang Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini, tidak tahu nantinya bagaimana, yang penting sampai saat ini inilah porsi yang Tuhan telah tetapkan, terimalah tanpa harus ada rasa bersalah.

Kedua: kita mesti belajar mencukupkan diri. Sebab memang kehidupan lajang mempunyai nilai plus, yaitu mempunyai waktu lebih banyak dan tenaga lebih besar untuk bisa dicurahkan. Namun minusnya juga ada, seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Nah, tugas kita adalah belajar untuk mencukupkan diri, tidak bersungut- sungut atau menyalahkan siapa-siapa, apalagi menyalahkan Tuhan tapi belajarlah mencukupkan yang kurang itu.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
TELAGA - Kaset T069A (e-Konsel Edisi 027)
Penerbit: 
--

Komentar