Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kembali ke Hakikat Natal

Edisi C3I: e-Konsel 150 - Renungan Natal

Meskipun kelahiran Yesus ke dunia sangat sederhana, perayaan Natal kini identik dengan pesta besar dan belanja besar-besaran, rekreasi dan bersukaria. Namun di bagian lain dari bumi ini, banyak orang sedang mengalami kelaparan, penganiayaan, dan penderitaan karena berbagai bencana alam. Bagaimana sikap kita dalam menghadapi semua itu? Apakah kita akan bersikap acuh tak acuh atau menundukkan kepala dan turut merasakan penderitaan mereka?

Saya sedang menanti-nantikan hari Natal -- seperti tahun yang sudah-sudah, saya yakin bisnis di seputar Natal akan kembali marak. Komersialisme akan kembali ditawarkan untuk menyambut hari besar tersebut. Saya dapat membayangkan suasana seperti apa yang akan mewarnai hari-hari seputar Natal. Barangkali kita akan mencari pohon pinus atau cemara hidup untuk dibawa pulang. Jika kedua jenis pohon tadi sulit diperoleh, mungkin kita akan membeli pohon Natal plastik. Sesudah itu, seluruh keluarga akan berkumpul dan bersama-sama menghias pohon Natal itu. Lalu keesokan harinya, kita akan pergi ke gereja untuk mendengar khotbah Natal yang disampaikan dari mimbar. Setelah kebaktian usai, kita pun pulang.

Ke mana pun kita pergi, suasananya mirip dan kita akan berulang kali disuguhi cerita-cerita seputar Natal. Sebagaimana layaknya memperingati hari-hari besar lainnya, pada hari Natal biasanya kita menyediakan hidangan istimewa, mengundang kerabat terdekat, tetangga, atau teman-teman kantor untuk makan bersama di rumah. Dengan kata lain, setiap kali hari Natal tiba, ada suasana khas muncul di sekitar kita dan kita pun sibuk mengisi hari-hari itu dengan aktivitas Natal. Namun sayang, tidak jarang kita menjalani semua aktivitas tersebut tanpa didasari dengan pemahaman tentang Natal sesuai maksudnya.

Banyak hal yang menyebabkan keluarga saya menjadi begitu tertarik dan selalu menunggu-nunggu datangnya hari Natal. Mulai dari kesempatan bertemu teman lama, melakukan perjalanan ke luar kota, berkumpul bersama seluruh keluarga, termasuk dengan mereka yang selama ini jarang bertemu sebab tinggal di kota lain. Meskipun begitu, sukacita kita kadang-kadang terusik oleh kenyataan bahwa ada banyak keluarga yang justru sedang berada di ambang kehancuran.

Belum lagi jika kita mulai memikirkan kerusakan lingkungan hidup manusia yang semakin parah. Menipisnya lapisan ozon di atas sana telah membuat bumi ini semakin panas. Kondisi udara di sekitar tempat tinggal kita telah tercemar oleh asap buangan knalpot kendaraan bermotor, air tanah mungkin mulai tercemar oleh limbah pabrik yang dibuang sembarangan. Semua itu dapat mengurangi sukacita. Belum lagi jika kita melihat kecenderungan banyak keluarga yang tiba-tiba menjadi begitu konsumtif, sementara keluarga lainnya begitu miskin sehingga tidak tahu pasti apakah esok hari masih bisa makan atau tidak. Kurangnya pemahaman terhadap dasar-dasar iman Kristen, khususnya dalam kaitan dengan peristiwa seputar Natal, membuat banyak di antara kita menjadi kurang peka terhadap penderitaan yang dihadapi sesamanya. Di satu sisi kita harus bersukacita, namun di sisi lain ada banyak kekhawatiran. Kedua sisi itu tarik-menarik sehingga kita menjadi bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.

Memang Natal tidak akan menjadi berkat jika kita melakukannya tanpa memahami benar makna yang terkandung di dalamnya. Ibarat barang elektronik, secanggih apa pun teknologi yang diterapkan, semua itu tidak akan dapat dinikmati jika kabelnya tidak dihubungkan dengan stop kontak; sebab dari situlah daya listrik itu tersedia. Makna Natal yang sesungguhnya baru dapat dimengerti secara benar jika kita dapat menghubungkan antara sukacita Natal pertama ketika hal itu dulu terjadi dengan sukacita Natal sekarang maupun yang akan datang, kendatipun manusia dan lingkungannya terus berubah.

Jika kita memerhatikan percepatan pertambahan penduduk dunia dan membandingkannya dengan daya dukung bumi itu sendiri, pasti kita akan sampai pada kesimpulan bahwa suatu saat umat manusia akan menghadapi masalah serius dengan lingkungan. Belum lagi tekanan yang diakibatkan oleh buruknya situasi ekonomi. Akan banyak tenaga kerja yang terpaksa di-PHK karena perusahaan tidak lagi berproduksi, alias bangkrut. Tekanan-tekanan tersebut lebih terasa jika kita hidup di negara-negara berkembang. Namun di sisi lain, kehidupan terus berjalan dan kita harus mengisinya.

Sebagai orang percaya, kita pun tidak luput dari semua masalah itu. Kita sama-sama hidup di dunia dengan lingkungan yang semakin rusak. Yang seharusnya membedakan antara mereka yang beriman dan yang tidak adalah sikap dalam menghadapi semua itu. Di tengah-tengah sikap pesimis sebagian besar orang terhadap masa depan bumi ini, hendaklah kita tetap optimis. Persoalan lingkungan memang tidak akan hilang begitu saja hanya karena segelintir orang bersikap dan bertindak positif terhadap lingkungannya sementara yang lain mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Namun sekurang-kurangnya, kita telah melakukan bagian kita dan memberi pengaruh terhadap pemikiran dunia yang cenderung pragmatis.

Sebelum menciptakan manusia, Allah lebih dahulu menciptakan berbagai binatang. Dalam kitab Kejadian dikatakan, "Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik" (Kej. 1:21). Sebelum air bah datang, Allah berkenan menyelamatkan setiap binatang masing-masing sepasang melalui bahtera Nuh.

Dalam kitab Ayub, Allah berkata kepada Ayub dari dalam badai, "Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian! Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? --Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?" (Ayb. 38:4-5)

Dari pembacaan firman Tuhan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan dengan perhitungan yang matang. Antara satu ciptaan dan ciptaan lainnya seharusnya ada interaksi harmonis dan saling menguntungkan sehingga kehidupan yang satu menopang kehidupan yang lain. Jika bumi yang kita huni ini kita eksploitasi secara berlebihan, keseimbangan ekologi akan terganggu dan mulailah muncul berbagai bencana alam.

Dengan munculnya berbagai persoalan yang semakin berat menekan kehidupan umat manusia, bagaimana mungkin kita dapat merayakan Natal dengan pemahaman bahwa setiap Natal harus ada pakaian baru untuk anak-anak, makanan istimewa, suasana ceria, bahkan berekreasi ke luar kota? Tetapi sebaliknya, apakah dengan tidak adanya hal-hal semacam itu, maka kita tidak dapat lagi bersukacita dalam melewati Natal? Lagi-lagi semua itu bergantung kepada anggapan masing-masing kita tentang Natal. Jika jiwa konsumtif telah merasuki kehidupan kita sehingga hakikat Natal itu identik dengan berbelanja pakaian dan sepatu baru, pada saat tidak ada uang menjelang Natal akan sulit untuk bersukacita.

Kita tidak mungkin mengubah keadaan sekitar kita menjadi seperti yang kita inginkan. Yang paling mungkin adalah membangun sikap positif terhadap semua keadaan yang kurang menguntungkan sekalipun. Kita hendaknya mulai mengikis anggapan bahwa Natal identik dengan pakaian baru dan makanan istimewa sehingga tanpa itu semua, perayaan Natal menjadi kurang lengkap -- padahal dahulu Yesus yang adalah Pencipta alam semesta ini datang ke dunia dengan keadaan sangat sederhana. Meskipun begitu, momen ini sangat penting, sebab itulah peristiwa kelahiran Sang Juru Selamat, penebus dosa umat manusia. Para gembala di padang pun bersukacita dengan apa yang ada pada mereka. Mereka datang dan melihat bayi Yesus, lalu kembali ke tempat kerja mereka dengan ucapan syukur kepada Allah.

Dunia bisnis memang telah membawa kita kepada pola hidup konsumtif. Seolah-olah kita kerja setahun hanya untuk dihabiskan seminggu, yakni pada saat merayakan Natal. Kita merayakan Natal semeriah mungkin tanpa peduli dengan penderitaan masyarakat sekitar. Akibatnya, kita tidak menjadi berkat bagi orang lain, bahkan sebaliknya, menimbulkan kecemburuan sosial yang tidak mustahil dapat menyulut munculnya perasaan benci. Bukankah itu tidak kita harapkan?

Kita tidak mungkin mengubah keadaan sekitar kita menjadi seperti yang kita inginkan. Yang paling mungkin adalah membangun sikap positif terhadap semua keadaan yang kurang menguntungkan sekalipun.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buletin : Sahabat Gembala, Edisi Desember 2001
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup -- Gereja Kemah Injil Indonesia, Bandung 2001
Halaman : 4 -- 8

Komentar