Perspektif Psikologis: Ketahui dan Kuasai

Kadang kita berpikir bahwa kita dapat menguasai lingkungan - orang atau alam - di sekitar kita. Namun akhirnya kita menyadari bahwa kita tidak bisa menguasainya. Terlalu banyak yang berada di luar kendali, terutama mereka yang termasuk dalam kategori "sesama kita manusia."

Adakalanya kita pun beranggapan bahwa tentunya kita dapat menguasai diri sendiri - pikiran, perasaan, dan motivasi kita. Sekali lagi kita keliru. Ternyata kita hanya bisa menguasai sebagian kecil dari diri kita dan semua yang kita kuasai itu berdomisili di permukaan kesadaran kita. Kita tidak dapat menguasai bagian diri yang masih terkubur di alam tidak sadar meski, ironisnya, kita tetap dipengaruhi olehnya.

Misalnya, kita tidak selalu memahami mengapa kita bersikap seperti ini dan itu dan kalaupun kita menyadarinya, tidak serta merta kita mampu menguasai atau mengubah sikap kita. Demikian pula dengan perasaan dan pikiran kita. Bukankah sukar bagi kita mempercayai seseorang yang telah berbohong kepada kita meski ia hanya berbohong sekali saja? Atau, kita tahu bahwa seyogianyalah kita sabar dan tidak "meledak," tetapi, toh, kita tetap saja marah.

Dilema ini mengingatkan saya akan seruan frustrasi Rasul Paulus, "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat." (Roma 7:15) Paulus menyimpulkan bahwa dosalah yang membuatnya menjadi seseorang yang kehilangan kontrol penuh atas dirinya (ayat 17). Sebagai catatan, perlu diketahui bahwa Paulus menuliskan dilemanya itu dalam bentuk sekarang (present tense) yang menandakan bahwa pergumulannya merupakan bagian kehidupannya sekarang, bukan pada masa sebelum ia mengenal Tuhan Yesus.

Saya menyimpulkan bahwa diri yang telah tercemar oleh dosa pada akhirnya menjadi diri yang kehilangan kontrol penuh atas perasaan, pikiran, dan tindakannya. Saya kira proses pengudusan (sanctification) dapat diartikan sebagai proses pengembalian kendali sepenuhnya atas diri sehingga dapat tunduk pada kehendak Tuhan secara total. Dalam bingkai pemahaman inilah saya melihat satu unsur lainnya yang turut berperan dalam pergumulan kita menguasai diri, yakni kehadiran alam tidak sadar. Kehadiran alam tidak sadar menambah daftar kesukaran kita menguasai diri.

Sigmund Freud membagi alam kesadaran manusia dalam tiga bagian. Untuk memudahkan, marilah kita mengibaratkan alam kesadaran ini bak ruangan bertingkat. Tingkat teratas, alam sadar (conscious) adalah ruang di mana kita berinteraksi, baik dengan diri sendiri ataupun orang lain, dengan kesadaran. Sebagai contoh, sekarang ini saya sedang menulis dan saya tahu apa itu yang sedang saya kerjakan. Saya dapat mengikuti alur pikir saya dan saya pun bisa menyadari perasaan yang terlibat di dalam proses penulisan ini.

Ruang di bawahnya adalah alam tidak - sepenuhnya sadar (subconscious). Misalnya, sewaktu menulis artikel ini terlintas beberapa butir pikiran yang tidak langsung saya tuliskan. Alhasil, beberapa saat kemudian saya melupakannya - data itu masuk ke dalam ruang subconscious. Namun, tatkala saya melanjutkan menulis, tiba-tiba butir pemikiran itu muncul kembali. Rupanya apa yang sedang saya tulis (proses yang terjadi di ruang conscious) telah membangkitkan atau mengeluarkan kembali data yang telah "tersimpan" tadi.

Inilah alam tidak - sadar - sepenuhnya atau dapat juga kita panggil, alam di bawah kesadaran, karena materi yang tersimpan masih utuh terperangkap dalam ruang yang berhubungan langsung dengan alam sadar. Itulah sebabnya materi yang tersimpan di dalamnya dapat keluar dan masuk ke alam sadar dengan relatif mudah. Sedikit usaha mengingat-ingat akan sanggup menghasilkan materi yang tadinya lenyap.

Ruang terbawah adalah alam tidak - sadar - sepenuhnya (unconscious). Di dalam ruang ini tersimpan semua data yang telah kita alami atau pikirkan dan data ini tidak mudah dikeluarkan kembali. Ada dua alasan mengapa demikian. Pertama, sebagian data ini memang tidak begitu bermakna sehingga sesudah terkubur, tidak mudah buat kita menghidupkannya kembali. Kedua, data ini terlalu bermakna namun dari segi yang tidak menyenangkan bisa menakutkan atau memalukan - sehingga kita lebih suka data ini tetap terkubur di dasar lautan unconscious. Apa pun alasannya, semua yang tersimpan di ruang unconscious sudah terkubur dalam-dalam serta sulit merangkak naik ke alam sadar.

Masalahnya adalah, materi itu tetap ada. Sesuatu yang pernah terjadi, tetap ada, dalam pengertian, kita tidak bisa memutar jarum jam dan membuatnya tidak pernah terjadi. Jadi, semua yang terkubur di alam unconsious tersimpan dalam keadaan "hidup." Kita tahu semua peristiwa ini masih hidup sebab adakalanya yang telah terkubur itu muncul dalam mimpi-suatu fenomena atau kerja dari alam tidak - sadar - sepenuhnya.

Kadang, dalam kasus yang lebih serius, yang telah terkubur itu malah menguasai si empunya tubuh. Misalnya, ada di antara kita yang takut dengan kegelapan dan kita tidak pernah mengerti penyebabnya. Sampai suatu hari tiba-tiba kita diingatkan akan suatu peristiwa pada masa kecil di mana kita pernah dimasukkan ke dalam kamar yang gelap sebagai hukuman atas kesalahan kita.

Contoh yang lain adalah obsesi dengan seks. Ada yang begitu terobsesi dengan seks sehingga apa pun yang dilakukan selalu dikaitkan dengan seks. Kita tahu bahwa tidak seharusnya pikiran kita dikuasai sedemikian rupa oleh seks dan kita rindu untuk hidup bersih dari "pikiran-pikiran kotor." Akhirnya kita menyadari bahwa obsesi seks kita bersumber dari pengalaman masa kecil di mana pada usia yang terlalu dini kita telah diperkenalkan dengan aktivitas seksual oleh orang yang tak bertanggung jawab. Pengalaman itulah yang mencetak kecenderungan kita untuk terobsesi dengan seks.

Apakah masalah kita beres setelah kita mengetahui penyebabnya? Ternyata tidak. Kita tetap takut dengan kegelapan dan tetap terdorong melakukan - menggunakan perkataan Rasul Paulus - "apa yang tidak aku kehendaki." Dari sini kita dapat menyimpulkan - dengan sedih - bahwa mengetahui tidak identik dengan menguasai.

Sungguhpun demikian, mengetahui merupakan langkah awal yang baik untuk menguasai. Jika kita tidak mengetahui, bagaimanakah kita bisa mulai belajar menguasai? Untuk bisa mengetahui, prasyaratnya satu: Bersedialah berdamai dengan diri sendiri, baik itu masa lalu, keadaan keluarga, kegagalan pribadi, dan sebagainya. Saya menyadari bahwa mengakui bahwa kita berasal dari keluarga bermasalah tidaklah mudah terutama tatkala sekarang kita dianggap sebagai orang yang tidak bermasalah dan terhormat. Saya pun mafhum bahwa kegagalan di masa lalu bukanlah hal yang sedap untuk diingat, terutama oleh kita yang sedang mengecap kesuksesan.

Untuk bisa menguasai, prasyaratnya juga satu: Beranilah untuk gagal! Bagi yang takut dengan kegelapan, beranilah untuk melawan kegelapan... dan gagal di tengah jalan. Bagi yang terlalu posesif dengan orang yang dikasihinya, beranilah untuk melepaskan genggaman dan terimalah risiko bahwa ia mungkin akan benar-benar meninggalkan kita. Saya mengerti bahwa kita cenderung berani melakukan sesuatu bila kita yakin kita akan berhasil. Namun, di sinilah letak kunci untuk menguasai: Berani untuk gagal!

Namun, saya ingin memberikan satu catatan: Sadarilah bahwa apa yang akan kita ketahui, terbatas dan bahwa apa yang dapat kita kuasai, juga terbatas. Tetapi ingatlah, justru dalam keterbatasan itulah akan bertumbuh ketergantungan kepada Tuhan yang tidak terbatas. Di dalam keterbatasan itulah kita bergumul dan menumbuhkan otot-otot rohani. Itulah yang terjadi pada Rasul Paulus.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Oktober Desember 2001, Vol. VIII, No. 4
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2001