Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Ma, Aku Anak Pungut, Ya?

Edisi C3I: e-Konsel 187 - Anak Adopsi

Sebagian besar pasangan mengharapkan keturunan dari pernikahannya. Biasanya setelah 5 tahun menikah tanpa anak, muncul keinginan untuk mengadopsi anak. Pertanyaan yang sering muncul adalah: "Kapan sebaiknya memberitahu sang anak bahwa kita bukan orang tua kandungnya?" Ketika bermaksud mengadopsi anak, sebaiknya kita mengerti bahwa pada prinsipnya semua ibu menyayangi anaknya. Di sisi lain, beberapa kehamilan terjadi karena kecelakaan, mungkin akibat hubungan seksual di luar nikah atau kegagalan alat

Sebagian besar pasangan mengharapkan keturunan dari pernikahannya. Biasanya setelah 5 tahun menikah tanpa anak, muncul keinginan untuk mengadopsi anak. Pertanyaan yang sering muncul adalah: "Kapan sebaiknya memberitahu sang anak bahwa kita bukan orang tua kandungnya?" Ketika bermaksud mengadopsi anak, sebaiknya kita mengerti bahwa pada prinsipnya semua ibu menyayangi anaknya. Di sisi lain, beberapa kehamilan terjadi karena kecelakaan, mungkin akibat hubungan seksual di luar nikah atau kegagalan alat kontrasepsi. Maka, ada juga anak yang sejak dari kandungan sudah merasakan penolakan orang tuanya. Tapi umumnya, begitu anak lahir, sang ibu jatuh hati padanya. Kalau dia terpaksa menyerahkan anaknya kepada orang lain, itu karena dia tidak berdaya dan tidak mampu merawatnya sendiri.

Kita cukup sering mendengar kisah lain dari anak-anak yang diadopsi. Ada juga keluarga yang sengaja mengangkat anak untuk "memancing" kehamilan sendiri sehingga lahirlah anak kandung. Entah bagaimana menjelaskan mitos ini secara ilmiah, tetapi dalam beberapa kasus, hal ini terjadi. Setelah punya anak angkat, sang ibu hamil. Tidak lama kemudian, lahirlah anak kedua, yang adalah anak kandung. Namun, muncul permasalahan ketika ternyata kedua anak ini punya karakter dan wajah yang sangat berbeda.

Beberapa Kasus

Ina

Ina seorang remaja 14 tahun, kelas 3 SMP, suatu kali diajak orang tuanya menemui seorang konselor. Masalahnya, akhir-akhir ini Ina sering diajak teman cowoknya, seorang siswa SMU. "Pacar?" Kalau ditanya, Ina selalu menjawab, "Cuma teman." Yang menjadi masalah buat mamanya, Ina diajak "clubbing" alias "dugem". Kalau dilarang, Ina mengambek. Terkadang dia pergi juga, tidak peduli pada larangan mamanya. Orang tua mana yang tidak kuatir?

Beberapa hari lalu, iseng-iseng mamanya membuka HP Ina. Mamanya terkejut karena "galery" HP berisi gambar-gambar porno. Menurut Ina, temannya itulah yang memasukkan gambar-gambar itu ke HP-nya. Mamanya marah. HP Ina disita. Dia juga tidak diizinkan bertemu dengan teman cowoknya.

Saya memandang Ina. Dia remaja, berkulit agak gelap dan sedikit montok. Berbeda dengan mamanya yang langsing dan terlihat cantik pada usia tengah baya. Mungkin ibu ini merasakan sesuatu melalui pandangan saya. Beberapa saat setelah saya berbicara dengan Ina, saya pun berbicara dengan orang tuanya. Dari situ saya mendengar rahasia mereka, "Ina itu anak adopsi, Bu," kata mamanya, "kami mengadopsinya lewat sebuah panti asuhan, waktu Ina berusia dua bulan. Pihak panti tidak bersedia memberitahu latar belakang ibu kandung Ina. Apakah ini memengaruhi kebiasan dan karakter Ina?"

Ina baru tahu bahwa dia anak adopsi saat dia beranjak remaja. Ibu dan bapak angkatnya terpaksa memberitahu Ina karena beberapa temannya membandingkan Ina dengan orang tuanya. Mula-mula Ina tidak peduli, tetapi mungkin karena tekanannya cukup kuat, akhirnya dia bertanya. "Tidak ada jalan lain. Dia membawa bukti-bukti fisik," cerita mamanya. "Akhirnya kami memang memberitahu dia bagaimana dia bisa bersama kami. Saya juga menyatakan bahwa Ina tetap anak kami dan kami sangat menyayangi dia. Tapi rupanya dia kecewa. Sejak itu, kami merasakan dia makin tertutup, sering jalan dengan temannya dan marah kalau kemauannya tidak dituruti."

Rio

Rio berusia 13 tahun ketika seorang anggota keluarga dekatnya memberitahu bahwa dia bukan anak kandung orang tuanya. Karena itu, dia menanyakan kebenaran informasi ini pada orang tuanya. "Jangan dengarkan orang lain," jawab mamanya. "Kamu anak Mama." "Aku tahu, Ma," jawab Rio, "aku anak Mama. Tapi apakah Mama yang melahirkan aku?" Mamanya berusaha berkelit, "Rio, kamu anak Mama dan Papa. Kami sayang sama kamu. Jangan tanya itu lagi, ya. Mama sedih jika Rio meragukan Mama dan Papa."

Rio tidak menjawab. Sejak itu memang dia tidak pernah lagi menanyakan asal-usulnya. Tetapi mamanya terus berada dalam kekhawatiran. Dia takut anak sulungnya itu marah karena merasa dikelabui. Ibu ini tidak siap menghadapi kebenaran. Bagaimana kalau Rio menuntut haknya untuk informasi, seperti yang kita lihat di sinetron-sinetron TV?

Grace

Saya bertemu Grace dan mamanya beberapa waktu lalu. Dia seorang gadis cilik yang mandiri, berani, sopan, dan menyenangkan. Pada waktu itu usianya 8 tahun. Saya cukup "surprised" saat ibunya mengatakan bahwa Grace datang ke rumah mereka ketika berusia 3,5 tahun. "Jadi, waktu itu Mama umurnya berapa, ya?" komentar Grace yang ikut mendengarkan percakapan kami.

Pada kesempatan lain, mama Grace menjelaskan bahwa sejak usia 4 tahun, Grace telah diberitahu mengenai hal ini. Mula-mula Grace nampaknya tidak begitu mengerti artinya karena beberapa kali setelah itu dia masih terus bertanya. Namun, sejak usia 5 tahun, Grace mengerti bahwa dia bukan anak kandung mama dan papanya.

Yang Perlu Diperhatikan

Dari percakapan saya dengan mama Grace, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika kita mengadopsi anak.

Pertama, walaupun diperkirakan ada karakter bawaan orang tua asal yang kurang baik dalam diri anak itu, kita percaya bahwa ada anugerah Tuhan untuk mengubahnya. Tugas kita adalah membimbing anak tersebut untuk mengenal Tuhan.

Kedua, sampaikan pada anak bahwa dia bukanlah anak yang kita lahirkan, melainkan anak yang diberikan Tuhan dalam keluarga. Beritahukan kenyataan ini sewaktu anak masih kecil dan masih bergantung pada kita sebagai orang tua yang mengasuhnya. Hal ini dapat disampaikan berulang kali (jika dia menanyakan terus) sampai dia mengerti maksudnya. Jelaskan dengan contoh-contoh dan cerita. Gunakan istilah positif dalam berbicara. Misalnya, "anak angkat", bukan "anak pungut". Usahakan agar anak benar-benar tahu bahwa kita sungguh-sungguh mengasihi dia.

Ketiga, jika kita tidak tahu riwayat keluarga asalnya, kita harus hati-hati dengan berbagai penyakit yang mungkin ada dan bersifat genetik, misalnya alergi dan kesehatan mental. Perhatian ekstra memang harus diberikan sampai kita mendapat konfirmasi dari tenaga ahli.

Keempat, walaupun tidak mudah, kita harus menyiapkan dia untuk menyambut adik lain yang akan hadir dalam keluarga.

"Loosing Isaiah"

Ketika ingin menulis artikel ini, kami teringat film "Loosing Isaiah". Siapa pun Anda yang mengadopsi anak, perlu menonton film tersebut. Dikisahkan, Isaiah, seorang anak kulit hitam yang lahir dari seorang ibu tunggal yang pecandu. Saat mamanya sedang memakai candu di tempat pembuangan sampah, Isaiah terangkut truk sampah. Dalam keadaan sekarat dia ditemukan oleh pemulung dan dibawa ke rumah sakit pemerintah. Seorang dokter yang bertugas merawatnya jatuh hati padanya. Dokter ini membawa Isaiah ke rumahnya dan merawat bayi mungil ini seperti anaknya sendiri.

Namun apa yang terjadi. Ibu kandung yang pecandu ini berusaha merebut buah hatinya. Untuk itu dia masuk dalam pusat rehabilitasi, lalu berusaha mencari pekerjaan. Setelah mapan dan merasa mampu, dia mengunjungi Isaiah di sekolahnya. Dia bersyukur melihat Isaiah yang sehat, pandai, dan tampan. Didukung oleh keluarga kulit hitam di lingkungannya, ibu kandung Isaiah menggugat ibu angkat anaknya. Pengadilan mengabulkan permintaan sang ibu kandung. Maka Isaiah pun berpindah tangan.

Namun, Isaiah yang saat itu berusia tiga tahun sudah lupa pada sosok wanita yang tidak dikenalnya itu. Dia menangis dan menyatakan protesnya dengan tidak mau makan saat dalam asuhan ibu kandungnya. Cerita ini berakhir dengan bahagia. Isaiah akhirnya dikembalikan kepada ibu angkatnya. Kasih kedua ibu ini pada Isaiah membuatnya sekarang memunyai dua ibu.

Dalam hidup seorang anak, apakah kandung atau anak asuh, yang dia butuhkan adalah cinta yang tulus, terus-menerus, dan tanpa syarat dari si pengasuh. Semoga ini jadi perenungan bagi setiap kita para orang tua.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Sumber
Judul Artikel: 
Ma, Aku Anak Pungut, Ya?

Komentar