Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Menantikan Kelahiran Anak

Edisi C3I: e-Konsel 115 - Makna Kehadiran Anak

"Ya, Engkau yang mengeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku. Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku." (Mazmur 22:10-11)

Rasanya baru kemarin ketiga anak kami lahir; segalanya masih tampak begitu jelas di benak saya. Kenyataannya, sudah lebih dari sebelas tahun yang lalu anak kami yang bungsu dilahirkan. Ada kalanya kehadiran anak menimbulkan kecemasan dan ketegangan pada hubungan pernikahan itu sendiri. Saya bisa memaklumi hal itu. Kita bersekolah untuk menjadi insinyur dan dokter, namun tidak ada sekolah yang mempersiapkan kita untuk menjadi ayah dan ibu. Melalui artikel ini saya ingin membagikan satu masukan yang berkaitan dengan pengaruh kelahiran anak pada hubungan pernikahan.

Pada prinsipnya, pertanyaan yang terpenting mengenai kelahiran anak bukanlah "apakah direncanakan?" melainkan "apakah dinanti-nantikan?" Sudah tentu perencanaan adalah tindakan yang baik sebab perencanaan menandakan persiapan yang matang. Namun pada akhirnya, saya melihat bahwa perencanaan manusia acap kali meleset. Ada yang sudah merencanakan untuk mempunyai anak, namun tidak memperolehnya; sebaliknya, ada yang belum merencanakan, namun mendapatkannya. Waktu Tuhan bukanlah waktu manusia. Oleh sebab itu, apa pun kondisinya, yang lebih penting adalah sewaktu Tuhan memberikan anak kepada kita, apakah kita bersikap menyambut atau menolaknya?

Anak yang dinanti-nantikan akan disambut dengan sukacita dan penuh pengucapan syukur; sebaliknya, anak yang tidak dinantikan, akan ditatap dengan dingin dan penuh penyesalan. Relasi suami-istri cenderung menguat dan bertambah intim tatkala mereka mempunyai sikap menanti-nantikan kelahiran anak dengan penuh pengucapan syukur. Sebaliknya, relasi suami-istri cenderung memburuk bila mereka memelihara sikap tidak menanti-nantikan anak. Tidak jarang penyesalan akan kelahiran anak akhirnya dapat berbuntut penyesalan terhadap pasangan sendiri.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan orang tua menolak kehadiran anak. Misalnya, ketidaksiapan finansial atau emosional (alias belum siap jadi orang tua), sudah tidak ingin mempunyai anak lagi, hubungan suami-istri yang sedang tidak harmonis, atau kondisi tertentu pada anak yang membuat orang tua tidak menyukai anak itu, seperti penampilan fisik yang tidak sesuai harapan. Semua penyebab ini bermuara pada satu sikap, yakni tidak menyambut anak dengan pengucapan syukur. Kelahiran anak tidak lagi dipandang sebagai karya cipta Tuhan; sebaliknya, kelahiran anak dilihat sebagai suatu kesalahan yang malah menambahkan beban dalam hidup.

Salah satu sifat dasar manusia yang telah kita bawa sejak Adam ialah kecenderungan menyalahkan orang lain. Kelahiran anak yang tidak dinantikan sering kali memunculkan sifat dasar ini. Kita belum bisa menyalahkan anak yang masih terlalu kecil, jadi sebagai gantinya kita melirik orang di sebelah kita, suami atau istri kita, dan menyalahkannya sebagai penyebab kemalangan ini. Mungkin kita berkata bahwa istri kitalah yang telah memanipulasi kita untuk mempunyai anak, atau sebaliknya istrilah yang menuduh suami telah berbuat curang. Kelahiran anak yang tidak dinantikan akhirnya melahirkan masalah tambahan pada suami-istri. Anak yang dilahirkan tidak akan mendapati dunia yang hangat dan orang tua yang penuh senyum; sebaliknya, ia akan menemui dunia yang dingin dan orang tua yang mengernyitkan dahi, bukannya tawa-canda melainkan caci-maki yang akan didengarnya.

Apa yang harus kita lakukan apabila kita memang tidak siap untuk menyambut kelahiran anak? Firman Tuhan yang tertera di atas memberikan kita beberapa butir pelajaran yang dapat kita gunakan sebagai panduan. Pertama, ingatlah bahwa seperti menanam pohon, meski kita yang menabur, sesungguhnya Tuhanlah yang menumbuhkan. Tuhanlah yang menciptakan sebatang pohon dari sebuah benih, demikian juga Tuhanlah yang menciptakan seorang anak dari perpaduan suami dan istri. Tuhanlah yang "menenun aku dalam kandungan ibuku" (Mazmur 139:13b) dan Tuhanlah yang "mengeluarkan aku dari kandungan". Dengan kata lain, aku ada karena Tuhan menghendaki keberadaanku. Inilah prinsip kelahiran manusia yang hakiki.

Berikutnya, karena Tuhanlah yang menenun dan mengeluarkan anak dari kandungan, kita pun harus menyambutnya dengan ketenteraman. Firman Tuhan mengingatkan, "Engkau membuat aku aman pada dada ibuku." Dada yang aman hanya dapat lahir dari hati yang aman; sebaliknya, hati yang penuh penyesalan tidak akan sanggup menyediakan dada yang tenang. Tuhan memakai orang tua untuk mengalaskan anak dengan dada yang penuh dengan kedamaian.

Ketenteraman tidak selalu muncul dari situasi yang sempurna atau yang mendukung. Saya menyadari banyaknya pasangan yang sedang digelayuti oleh sejumlah masalah yang tidak habis-habisnya dan bagi mereka, kelahiran anak benar-benar tidak pas waktunya. Mereka mungkin bertanya, bagaimanakah kami sanggup menyediakan dada yang aman kepada anak kami sementara hati kami sendiri sedang carut- marut. Jawaban saya ialah, fokuskan mata kita hanya pada dua obyek: Tuhan dan anak itu. Pisahkan anak itu dari problem kita dan curahkanlah kedamaian ke dalam sanubarinya. Berkati anak itu dengan kasih dan bersyukurlah senantiasa bahwa Tuhan telah memercayakan anak itu kepada kita. Anak itu lahir dalam rencana Tuhan bukan di luar rencana Tuhan dan kita adalah bagian terkait dari rencana Tuhan itu. Jika Ia yang memberikan, Ia pun akan mengaruniakan kekuatan kepada kita untuk membesarkannya.

Masa depan bukan berada dalam genggaman tangan pasangan kita atau tangan kita sendiri maupun kondisi ekonomi kita; masa depan anak itu ada di dalam tangan Tuhan yang penuh kuasa dan kasih. Mujizat kadang terjadi sewaktu dua pasang mata dari suami-istri memandang ke arah Tuhan dan anak itu. Perlahan-lahan kebencian dan panasnya amarah mulai meleleh digantikan dengan butiran air mata pengucapan syukur dan kedekatan. Tidak jarang Tuhan justru memakai kehadiran si bayi mungil itu untuk merajut cabikan besar yang terjadi pada hubungan antara suami dan istri.

Terakhir, apa pun kondisi yang mendahului kelahiran anak sejak awal kehamilan, serahkan anak itu kepada Tuhan dan berdoalah baginya agar Tuhan Yesus menjadi Tuhan Allahnya pula. "Kepada-Mu aku diserahkan sejak aku lahir, sejak dalam kandungan ibuku Engkaulah Allahku." Saya percaya, orang tua yang berdoa bagi anaknya sejak dalam kandungan akan memetik buah doanya suatu hari kelak. Tuhan mendengarkan doa yang kita panjatkan untuk anak kita. Lebih lanjut, kedua hati orang tua yang berdoa bersama untuk anak yang dalam kandungan akan bertaut pada hadirat Tuhan sendiri. Pada akhirnya, kita pun akan menerima berkat kebersamaan dan keintiman dalam doa- doa bersama itu. Sekeras apa pun hati kita, tatkala berdoa bersama niscaya akan mulai melunak. Kita pun akan mendapatkan kedamaian dan iman sewaktu berdoa bersama.

Kelahiran anak berpotensi membawa persatuan dan perpecahan pada pernikahan kita. Apa pun kondisi kita, masih ada sesuatu yang dapat kita lakukan: memilih sikap yang tepat. Ternyata sikap yang tepat adalah sikap yang menanti-nantikan si anak sebagai berkat dari Tuhan untuk kita.

Sumber diambil dan diedit dari: Buletin Eunike yang ditampilkan di Situs TELAGA http://www.telaga.org/artikel.php?menantikan_kelahiran_anak.htm

Penulis: Pdt. Dr. Paul Gunadi Ph.D

Komentar