Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Mengapa Konfrontasi Begitu Menakutkan?

Jawaban termudah bagi pertanyaan ini adalah bahwa sebagai orang berdosa kita menghabiskan kebanyakan waktu kita untuk bersembunyi dari, berdalih, atau menyalahkan orang lain untuk dosa kita. Alkitab mengatakan, "Manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat." (Yohanes 3:19) Tentunya ini benar. Orang berdosa (dan itu termasuk kita semua) cenderung merasa tidak nyaman ketika kehidupan mereka diperiksa. Kita cenderung merasa lebih nyaman melihat selumbar di mata sesama kita daripada melihat balok di mata kita sendiri.

Tetapi yang terjadi adalah lebih daripada itu. Benar, kita takut dengan konfrontasi karena kita tidak suka melihat dosa kita, tetapi kita juga takut dengan konfrontasi karena kita telah melihat perlakuannya yang tidak menyenangkan dan tidak alkitabiah. Ada alasan yang masuk akal bagi ketakutan kita untuk ditegur.

Saya akan menunjukkan beberapa cara di mana agenda konfrontasi kita secara salah dianggap sebagai agenda Tuhan sendiri.

  1. Konfrontasi sering mencampuradukkan kejengkelan dan kemarahan pribadi dengan pandangan dan tujuan yang alkitabiah.

    Seperti akan kita lihat nanti, tujuan konfrontasi bukan untuk mengatur agar pendapat kita mendominasi pendapat orang lain. Bukan agar orang lain "merasakannya" ketika kita telah cukup merasakannya. Konfrontasi biasanya terjadi ketika seseorang telah berdosa, melukai, atau menyinggung orang lain. Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini, prioritas alkitabiah sering dikaburkan oleh frustrasi kita terhadap orang yang dosanya telah mengganggu kita. Dia telah membuat kehidupan kita susah. Oleh sebab itu, kemarahan kita merusak masalah yang perlu dibahas, dan waktu konfrontasi itu sendiri diselubungi oleh frustrasi kita.

  2. Pengumpulan data yang buruk dapat menimbulkan asumsi yang tidak benar tentang kenyataan sehingga membuat konfrontasi menyimpang.

    Langkah penting pertama dari konfrontasi adalah pengumpulan data. Kita perlu memastikan bahwa kita telah melihat masalahnya dengan tepat. Kita perlu memastikan bahwa yang bersangkutan memang bersalah. Kalau tidak, pandangan yang rusak akan mengaburkan konfrontasi. Kita harus berhati-hati agar jangan sampai kita mengira bahwa yang kita pikir, yang telah kita lihat adalah apa yang sesungguhnya terjadi.

  3. Konfrontasi sering dinodai oleh penilaian motivasi.

    Ketika menegur, kita cenderung berbicara bukan hanya tentang apa yang dilakukan orang itu, tetapi juga tentang alasan di balik tindakannya. Sayangnya, ini sering mengakibatkan orang itu disalahpahami dan dituduh secara keliru. Ada saat-saat di mana kita benar dalam menunjukkan kesalahan seseorang, tetapi kemudian kita secara tidak tepat menghakimi motivasi orang itu yang sebenarnya tidak ada! Dalam kasus seperti ini, orang yang dituduh akan melewatkan pesan yang tepat, yang perlu dia dengar.

  4. Bahasa yang penuh emosi, kata-kata yang mengutuk, dan nada yang emosional sering menodai konfrontasi.

    Dalam konfrontasi, suasananya selalu penuh ketegangan. Banyak hal lebih sering dikatakan sebagai penghakiman dengan nada marah daripada kata-kata teguran yang lembut tetapi tegas seperti yang diperintahkan Alkitab. Dalam keadaan ini, orang yang dikonfrontasi akan melupakan pesannya dan mengingat kata-kata dan nada marah yang mengendalikan saat itu.

  5. Konfrontasi sering bersifat permusuhan daripada sebagai saat perhatian yang penuh kasih kepada orang yang memerlukan teguran Anda.

    Dalam konfrontasi kita mungkin melupakan siapa kita. Kita mungkin tidak ingat bahwa kita akan persis seperti orang itu jika bukan karena anugerah Allah. Kita kelihatannya lupa bahwa sesungguhnya hanya ada satu musuh, dan itu bukan orang yang kita konfrontasi! Tujuan konfrontasi bukan untuk melawan orang itu, tetapi untuk berdiri di sisinya demi menunjukkan hal-hal yang Allah ingin dia lihat, akui, dan tinggalkan.

  6. Dalam konfrontasi, Alkitab lebih sering dipakai sebagai tongkat pemukul daripada sebagai cermin bagi kesadaran diri dan sebagai pedoman untuk berubah.

    Di saat menegur, pemakaian Alkitab yang paling penting bukan peringatannya tentang hukuman, tetapi fungsinya yang berkuasa sebagai cermin. Alkitab memampukan orang untuk melihat diri mereka yang sebenarnya. Ia mengungkapkan kesalahan bukan hanya di dalam perilaku seseorang, tetapi juga di dalam hati seseorang. Tujuan utama dari konfrontasi bukan untuk mengancam seseorang dengan penghakiman, tetapi untuk membawanya kepada pertobatan.

  7. Konfrontasi sering mencampuradukkan pengharapan manusia dengan kehendak Allah.

    Tujuan konfrontasi bukan untuk membuat seseorang melakukan apa yang Anda inginkan atau untuk hidup dengan cara yang menyenangkan Anda. Tujuan konfrontasi bukan untuk membuat orang itu setuju dengan Anda, atau untuk tunduk kepada penafsiran Anda, ataupun untuk mengikuti agenda Anda. Konfrontasi harus selalu memanggil seseorang untuk tunduk kepada kehendak Allah saja.

  8. Konfrontasi sering terjadi dalam konteks hubungan yang rusak.

    Sering telah terjadi jarak yang rusak antara pihak-pihak yang terlibat sebelum konfrontasi terjadi. Kedua pihak memasuki ruangan sambil merawat luka mereka dan telah merasa agak negatif terhadap pihak lain. Ini mengarahka

    n konfrontasi ke arah yang salah bahkan sebelum konfrontasi itu dimulai. Konfrontasi terjadi secara paling efektif dalam konteks hubungan di mana terdapat kasih dan kepercayaan di antara keduanya. Dengan demikian, konfrontasi sungguh-sungguh dapat menjadi "luka yang terus membekas dari seorang teman."

  9. Konfrontasi sering menuntut perubahan sebagai sebuah peristiwa yang segera daripada sebagai sebuah proses.

    Sering kali dalam konfrontasi kita tidak memberikan tempat bagi Roh Kudus untuk bekerja. Alkitab tidak meminta kita untuk mengharapkan seseorang mengalami perubahan total dari hati dan perilakunya setelah satu pertemuan. Sesungguhnya, Alkitab melukiskan suatu perubahan sebagai suatu proses daripada suatu peristiwa. Kita diharapkan untuk memanggil seseorang untuk tunduk kepada Tuhan dan menaati Firman-Nya tanpa memberikan tekanan yang tidak diperlukan, seolah-olah kita dapat melakukan karya Roh Kudus.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : War Of Words
Penulis : Paul David Tripp
Penerbit : Momentum, Surabaya 2004
Halaman : 184 -- 187

Komentar