Minder, Sombong, dan Percaya Diri (3)

Bagian terakhir dari Trilogi "Minder, Sombong, dan Percaya Diri" akan membahas mengenai percaya diri. Kalau diurutkan letak percaya diri itu di tengah-tengah antara minder dan sombong.

Percaya diri merupakan suatu keyakinan diri bahwa dirinya berharga dan mampu untuk melakukan tugasnya. Ada seorang tokoh yang ingin saya bahas dalam kesempatan kali ini, yaitu Paulus.

Paulus merupakan seorang tokoh yang kenamaan pada zamannya. Awalnya ia bernama Saulus sebelum mengenal Kristus. Ia merupakan seorang Yahudi yang sangat mengerti benar hukum Taurat, pengetahuannya sangat mendalam mengenai Taurat, dan merupakan orang yang memiliki kemauan sangat keras.

Ia juga memiliki banyak relasi dengan para pemimpin Agama Yahudi (Kisah Para Rasul 9:1-2). Pendek kata, ia adalah seorang yang sangat percaya diri. Bagaimana tidak? Berpengetahuan tinggi, memiliki kemauan keras, dan memiliki banyak relasi dengan orang penting.

Apakah percaya diri yang seperti itu yang Tuhan maksudkan? Ternyata tidak. Percaya diri yang Tuhan maksudkan tidak didasari hanya oleh kesadaran akan kemampuan dan keberadaan diri semata, tetapi juga lebih dari itu untuk senantiasa menyandarkan diri pada kekuatan, kebesaran, dan ke-Maha-an Tuhan.

Ya, Paulus adalah seseorang dengan potensi yang luar biasa sehingga menjadi sangat percaya diri untuk menganiaya jemaat Tuhan saat itu. Ternyata percaya diri yang bersumber pada diri semata, bukanlah percaya diri yang Tuhan inginkan karena bisa jadi kebablasan dan kehilangan arah.

Kemudian Tuhan mengubahkan Saulus menjadi seorang yang benar-benar cinta pada-Nya bahkan menjadi salah seorang dari sekian banyak rasul yang paling militan untuk Kristus.

Bahkan dalam 2 Korintus 11:24-28 dituliskan mengenai yang dialami Paulus karena Kristus, yaitu:

  • Sering sekali dipenjara,
  • Didera di luar batas,
  • Sering sekali dalam bahaya maut,
  • Lima kali disesah (dipukul) orang Yahudi dan setiap kali adalah empat puluh kurang satu pukulan,
  • Tiga kali didera,
  • Satu kali dilempari batu,
  • Tiga kali mengalami kapal karam,
  • Sehari semalam terkatung-katung di tengah laut,
  • Sering diancam bahaya banjir dan penyamun,
  • Bahaya dari orang Yahudi atau bukan Yahudi,
  • Bahaya di mana-mana (kota, padang gurun, di tengah laut),
  • Bahaya dari saudara palsu, dan bahkan
  • Walaupun Paulus berhak mendapat santunan dari jemaat namun ia tetap bekerja sebagai pembuat tenda supaya tidak bergantung pada jemaat dan membuat motivasi pelayanannya tetap murni.

Wow, sungguh seseorang yang luar biasa! Saya sangat mengagumi Paulus. Bahkan dalam kesemuanya itu, dia tidak pernah bersungut-sungut. Bahkan ia menuliskan dalam Filipi 4:7: Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

Anda tahu kondisi apa yang dihadapi Paulus saat menuliskan surat bagi jemaat di Filipi tersebut? Silakan tebak, saya beri Anda tiga kesempatan. Saat sedang mengajar dengan para Rasul? No!

Saat di sela-sela waktu senggangnya antara membuat tenda dan mengajar? Tidak! Saat sedang dalam perjalanan untuk mengajar? Bukan juga! Menyerah? Anda tahu, ia menuliskan surat untuk jemaat di Filipi saat di penjara. Bayangkan! Di penjara dan Paulus masih bisa berkata:

"Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!"

What an outstanding man! Betapa pria yang luar biasa! Hal yang lebih luar biasa adalah kepercayaan dirinya itu adalah karena Tuhan.

Sampai akhir hidupnya yang mati dihukum pancung (Sumber dari http://www.sarapanpagi.org/) Paulus tetap memberitakan Injil dengan gagah berani. Ya, ia adalah seseorang yang telah menempatkan kepercayaan dirinya pada Tuhan sampai pada akhir hidupnya.

Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari Paulus:

1. Paulus mengenal benar dirinya, kelebihan, kelemahan, bahkan visi dan misinya.

Mengenai diri Paulus dicatat dalam Kisah Para Rasul 21:39a: Paulus menjawab: "Aku adalah orang Yahudi, dari Tarsus, warga dari kota yang terkenal di Kilikia;"
dan dalam

Filipi 3: 5-6: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.

Kelebihan Paulus adalah tabah (2 Korintus 5:8), militan dan disiplin untuk menjadi berkenan pada Tuhan (2 Korintus 5:9), berhikmat (2 Korintus 5:13), diberi Tuhan tanda-tanda, kuasa, dan mujizat dalam pelayanannya (2 Korintus 12:12), dan bahkan pernah mengalami terangkat tingkat ketiga di surga dan memperoleh pernyataan-pernyataan Allah (2 Korintus 12:1-5).

Kelemahan Paulus adalah masa lalunya sebagai penghujat, penganiaya jemaat, dan ganas (1 Timotius 1:13), memiliki ‘duri dalam daging’ (2 Korintus 12:7), secara ekonomi tidak kaya (2 Korintus 11:27-28).

Dalam Roma 15:18b-19b tertulis jelas visi dan misi Paulus, yaitu "..untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh kuasa tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh kuasa Roh."

Dengan mengenal benar tentang dirinya, kelebihan, kelemahan, bahkan visi dan misinya; Paulus menjadi seorang yang percaya diri. Namun tidak cukup hanya itu saja. Poin berikutnya ada di nomor 2.

2. Selain mengenal benar seluruh keberadaan dirinya, sumber percaya dirinya adalah Tuhan.

Galatia 6:14: Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.

Ya sumber kepercayaan diri Paulus adalah Tuhan dan karunia keselamatan yang diberikan Kristus bagi semua orang yang mau menerima-Nya.

Apakah Paulus berhak untuk sombong? Seharusnya berhak sekali! Mulai dahulu saat ia masih menjadi penganiaya jemaat, yaitu karena keturunan yang baik, pengetahuan tinggi, relasi dengan petinggi-petinggi Agama Yahudi, sempai setelah ia menjadi pengikut Kristus yang radikal, yaitu karena segala yang telah ia kerjakan dan yang harga yang ia bayar karena memberitakan Injil Keselamatan.

Apakah Paulus berhak untuk minder? Ya seharusnya bisa juga! Ia secara ekonomi tidak kaya: pembuat tenda dan juga karena diberi ‘duri dalam daging’ (2 Korintus 12:7). Dari berbagai sumber yang telah saya baca, tidak diperoleh satu konklusi yang sama tentang ‘duri dalam daging’ karena semua masih berupa penafsiran-penafsiran.

Hal yang lebih menarik lagi adalah pandangan dan sikap Paulus terhadap kelemahannya.

2 Korintus 12:9b-10: Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

Sungguh-sungguh sikap hati yang perlu kita contoh! Kelebihan yang dimilikinya tidak menjadi sumber untuk sombong. Kelemahan yang dimilikinya tidak menjadi sumber untuk minder. Ia hanya bersandar dalam Kristus Tuhan. Puji Tuhan! Ya sikap hati ini yang perlu kita semua miliki.

Benang merah yang dapat ditarik dari trilogi pertama sampai ketiga adalah:

1. Minder dan sombong sebenarnya merupakan hal yang sama namun dilihat dari titik ekstrim yang berbeda.

Bila Anda mengenal matematika, Anda mungkin akan mengingat titik ekstrim maksimum dan minimum. Ya, memang berbeda dari sudut pandang, namun sama-sama merupakan titik ekstrim.

Saat Anda minder, pada saat yang sama sebenarnya Anda sombong. Begitu pula sebaliknya, saat Anda sombong sebenarnya Anda sedang minder.

Titik fokus keduanya juga sama, yaitu menyoroti diri secara berlebih, berfokus pada diri secara berlebih, walaupun dari titik pandang yang berlawanan.

2. Sumber dari minder dan sombong adalah dosa yang belum dibereskan atau belum diakui, bahkan diabaikan dan ditutupi. Untuk itu perlu mengadakan pembersihan dan pemberesan hati dengan Tuhan (baca "For the Love of Myself").

3. Minder dan sombong pada dasarnya adalah belumnya mengenal diri secara utuh. Saat seseorang benar-benar mengenal diri secara utuh: kelebihan, kelemahan, visi dan misi yang Tuhan anugerahkan pada kita, saat itulah seseorang menjadi utuh. Mengenai keutuhan dan visi misi akan saya tuliskan pada notes-notes yang lain.

4. Pada saat seseorang benar-benar mencari Tuhan dengan sungguh, saat itu ia akan lebih mengenal dirinya dengan lebih baik lagi.

Matius 6:33: Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."

Hal ini saya alami sendiri. Pada saat saya merenungkan ayat ini, saya menemukan sesuatu hal yang baru. Saat saya mencari Allah dengan sungguh dan bukan sekedar ingin memperoleh berkat-Nya, saya menjumpai beberapa hal yang menarik.

Ia membukakan berbagai hal yang baru pada saya, termasuk mengenai keberadaan saya. Ia membuat saya mengerti diri saya, kelebihan, kelemahan, potensi, hal-hal yang perlu saya perbaiki, bahkan hal-hal yang dahulu pernah Ia katakan pada saya, hal-hal yang pernah saya alami bersama dengan Dia, hal-hal yang sudah lama saya lupakan. Ia memberikan pengertian-pengertian yang baru dan saat saya menyadari hal itu, pandangan saya berubah.

Saat pandangan saya berubah, cara pandang saya terhadap dunia dan kehidupan berubah. Bagi saya ini merupakan penggenapan dari firman-Nya. Ini bukan proses yang sekali jalan dan bukan proses yang sudah selesai, malah ini merupakan suatu awal proses bagi saya. Masih jauh sekali proses ini selesai bagi saya.

Saat saya makin mencari Dia, Ia membuat saya semakin menerima diri saya sendiri. Membuat saya semakin mencintai diri saya sendiri.

Ya, di tengah kelebihan saya, saya juga memiliki kelemahan-kelemahan yang kadang sulit saya terima dan membuat saya minder.

Terkadang kelebihan yang saya miliki, membuat saya takabur dan Ia mengingatkan saya untuk tidak sombong. Ia membukakan bagi saya hal-hal baik yang sudah lama saya tidak ingat sama sekali. How God is good! Betapa Tuhan itu baik!

5. Minder dan sombong dapat digantikan menjadi percaya diri dalam kerangka yang benar (percaya diri dalam Tuhan). Kuncinya hanya: MAU! Ya, mau berubah, mau diubahkan, dan mau bersandar sepenuhnya pada Tuhan. Ya, ini bukan proses sekali jadi, diperlukan waktu, usaha, tenaga, pikiran, uang, bahkan kerendahan hati sebagai seorang murid.

Jadi?
Minder?
Sombong?
Percaya diri?
Pilihan di tangan Anda!
Amin.