Pantaskah Kata Cerai Itu Diucapkan

Rubin adalah teman akrab Bu Emma. Bukan sebagai kekasih, atau hubungan tertentu berbau selingkuh, tapi bagai seorang adik laki-laki yang menemukan kakak perempuannya di tempat kerja. Rubin merasa leluasa mengungkapkan apa saja pada sahabatnya itu.

Dalam suasana yang kebetulan hanya berduaan saja di ruang Bu Emma, Rubin membuka pembicaraan dengan bertanya: "Apakah jamak setiap pertengkaran antara suami-istri harus disudahi dengan permintaan berpisah atau bercerai?"

Rubin mengajukan pertanyaan itu karena sang istri yang sangat ia cintai sering mengakhiri pertengkaran atau perdebatan antara mereka dengan kata-kata: "Kalau begitu kita pisah saja" atau "Apa tidak sebaiknya kita cerai saja?".

Ungkapan sang istri itu membuatnya tersinggung. Ia sama sekali tak mengerti mengapa kata-kata itu harus diucapkan. Apa yang harus dilakukannya kalau satu saat nanti ucapan itu terdengar lagi? Ia sama sekali tidak ingin mendengar, apalagi menyetujuinya.

Bumbu Perkawinan
Pameo selalu berbunyi bahwa perkawinan tanpa pertengkaran dan percekcokan sama dengan sayur tanpa garam. Barangkali yang dimaksud adalah, perkawinan tanpa pernak-pernik masalah kurang merangsang selera karena terasa hambar. Perkawinan yang hambar tidak memberikan tantangan dan dinamika.

Bisa dibayangkan andaikata masing-masing suami dan istri berbagi dan menjalankan kegiatan rutin sebagai kewajiban mereka dengan baik. Komunikasi berjalan lancar tanpa hambatan. Gangguan dan persoalan hidup tidak ada.Tapi tentu bukan kehidupan semacam ini yang dialami oleh sebagian besar pasangan.

Berbeda pendapat, berbeda perasaan, berbeda selera, berbeda keinginan, berbeda pandangan, berbeda sikap, berbeda penghayatan, berbeda pengalaman, sampai berbeda dalam cara mengekspresikan diri, merupakan sumber dinamika keluarga.

Perbedaanlah yang menyebabkan munculnya perdebatan, pertengkaran, perpisahan, sampai permusuhan di antara suami-istri. Dimulai dari saling jatuh cinta, saling membutuhkan, saling peduli, saling memberi, saling memiliki, sampai akhirnya bisa saling sebal, jengkel, curiga, sakit hati, dendam, muak, dan lain-lain, adalah gambaran dari macam-macam reaksi dalam hubungan timbal-balik suami-istri. Reaksi semacam ini bahkan dianggap biasa oleh mereka yang memahami liku-liku perkawinan.

Tidak sedikit perkawinan langgeng yang pemiliknya merasa bahagia berada di antara kerikil-kerikil dan terpaan angin kencang yang sekali-sekali datang. Ini pasti tergantung pada diri masing-masing pasangan. Mereka siap menghadapi badai dan siap pula dengan cara-cara menyelesaikan akibat dari badai tersebut. Sebagian pasangan bahkan mengakui, hubungan mereka bertambah hangat setelah badai berlalu. Goncangan di antara mereka merupakan bumbu penyedap perkawinan.

Persoalannya adalah, tak sedikit pasangan suami istri yang kurang menyadari adanya perubahan dalam kebersamaan mereka. Setelah terbiasa hidup bersama selama bertahun-tahun, ada kecenderungan pada mereka untuk menganggap remeh persoalan-persoalan yang mungkin kecil, tapi sebenarnya peka bagi kebersamaan mereka.

Saat bertengkar, persoalan-persoalan yang peka itu bukannya tak mungkin meluncur begitu saja dari mulut mereka. Kalau kemudian persoalaannya sudah menyangkut harga diri salah satu pihak, dan pihak yang tersinggung harga-dirinya tak kuasa lagi membela diri, maka 'kata' apa pun, termasuk yang paling menyakitkan, bisa saja meluncur tak tertahankan, kemungkinan besar, sekedar untuk menutup pertengkaran.

Sampai di sini, hanya kedewasan pribadi pihak suami dan istrilah yang dapat diandalkan. Saling menghormati, saling melindungi, dan tidak saling mempermalukan menjadi kunci rekonsiliasi sehingga kebersamaan menjadi manis kembali.

Memang, semakin lama usia sebuah perkawinan biasanya semakin banyak masalah yang muncul, dan bukan sebaliknya. Artinya semakin tua kita menjalani kehidupan suami-istri tuntutan untuk menjadi lebih pandai dan lebih dewasa semakin besar. Konsekuensi yang ditimbulkan dari kegagalan perkawinan usia tua juga lebih besar.

Mengevaluasi diri sendiri juga perlu untuk menemukan sisi yang tidak menguntungkan dalam hubungannya dengan pasangan. Pasangan suami-istri dianjurkan dapat menyisihkan waktu dan mencari kesempatan terbaik untuk saling 'buka-bukaan' isi hati dan melakukan penataan ulang persepsi yang sudah salah tempat di hati masing-masing.

Seringkali perjalanan hidup rutin yang diasumsikan berjalan normal membutakan kita pada perubahan-perubahan serta pergeseran pandangan pada pasangan dan juga pada diri sendiri. Semakin lama kita abaikan semakin banyak distorsi atau penyimpangan bisa terjadi.

Celakanya kalau masing-masing dalam keadaan distorsi dan mengharuskan duduk berhadapan untuk memecahkan suatu persoalan, arah pandang mereka tiba-tiba sudah berubah. Kemungkinan terjadi petir dan badai akan selalu ada. Mungkin hal ini yang perlu diwaspadai dan dihadapi secara dewasa. Karena perubahan pada salah satu pasangan bisa jadi sebagai akibat dari perubahan pada pasangan lainnya yang tidak disadari.


 
Psikologi/SENIOR 49
Kamis, 08 Juni 2000
 
 
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Milis Ayah Bunda
Penerbit: 
--