Lebih Otentik

Oleh: Dr. Paul Gunadi

Pada hari Minggu, 26 November yang lalu, Pendeta Stephen Tong menyampaikan khotbah tentang kerendahan hati, di mana beliau dengan penuh hikmat membahas ciri-ciri yang mencerminkan kerendahan hati. Pada intinya, Dr.Tong menegaskan bahwa kerendahan hati yang kristiani tidaklah terikat pada suatu kumpulan perilaku tertentu yang bersifat lahiriah, melainkan lebih berkenaan dengan sikap batiniah yang diwarnai oleh kematangan hubungan seseorang dengan Tuhan Yesus. Kerendahan hati jauh lebih dalam daripada sekedar penampilan. Oleh karena kerendahan hati bukanlah perkara mudah. Saya teringat akan ucapan Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang memimpin kerajaan tersebut melalui Perang Dunia II. Ia mengatakan bahwa kerendahan hati adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai karena pada waktu seseorang mengaku bahwa ia sudah rendah hati, pada saat itu juga ia sudah tidak lagi rendah hati. Memang muskil namun tidak berarti mustahil.

Menurut saya ungkapan Churchill itu tidak seluruhnya tepat sebab pemahaman yang benar akan kerendahan hati akan memungkinkan seseorang memeriksa dirinya apakah ia sudah rendah hati ataukah belum. Sewaktu Rasul Paulus sedang menasehati jemaat di Filipi agar mereka memelihara kesatuan tubuh Kristus, ia menyelipkan satu resepnya, yakni, "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri" (Filipi 2:3b). Saya yakin, jika Tuhan sendiri sudah memerintahkan kepada kita supaya rendah hati, maka Ia pun telah menjabarkannya buat kita apakah rendah hati itu dan bagaimana caranya memiliki sikap hidup yang penuh kerendahan hati. (Dalam khotbahnya itu, Pendeta Tong memaparkan hal ini secara terinci; jadi, siapa yang berminat mempelajarinya lebih jauh, silakan memesan kaset rekamannya dari Lembaga Reformed Injili Indonesia.) Berikut ini saya akan mencoba mengimbuh perihal kerendahan hati ini dengan segala kerendahan hati.

Saya mengamati bahwa acap kali kerendahan hati diminati dan dikejar secara keliru, begitu kelirunya sehingga mengorbankan satu hal yang sangat penting, yaitu penilaian diri yang berimbang. Saya percaya Firman Tuhan yang dicatat dalam Roma 12:3 meneguhkan kembali kehendak-Nya, yakni agar kita mempunyai penilaian diri yang berimbang. Mohon perhatikan dengan seksama bagian firman ini, "Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir sedemikian rupa (but rather think of yourself with sober judgment), sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing." Memang tidak seharusnya kita menggelembungkan diri namun sebaliknya Tuhan juga tidak menganjurkan agar kita menggemboskan diri. Ia menghendaki supaya kita dapat melihat dan menilai siapa kita (judgment) dengan penuh kesadaran dan akal sehat (sober). Kecenderungan kita biasanya adalah menggembosi diri karena kita begitu takut dituduh sombong.

Saya mendefinisikan kerendahan hati sebagai kemampuan untuk hidup otentik dan menyangkal diri demi Kristus. Saya akan jelaskan apa yang saya maksud dengan "kemampuan untuk hidup otentik". Otentik berarti asli, di mana apa yang di luar atau yang ditampilkan sama dengan apa yang di dalam atau yang tidak ditampilkan. Jadi, orang yang rendah hati adalah orang yang otentik di mana perbuatan atau perilakunya memang mencerminkan siapa dia sebenarnya. Mari kita sejajarkan kedua hal ini: Yang Di Luar=Yang Di Dalam. Sekarang coba kita goyangkan keseimbangan ini. Misalnya, yang pertama ialah dengan cara membesarkan Yang Di Luar sehingga bobotnya jauh melebihi Yang Di Dalam. Apa yang terjadi? Kesombongan! Apabila kita membesar- besarkan diri sedangkan kita tidaklah seperti yang kita gembar- gemborkan, itu adalah pertanda kita sombong. Sebaliknya, apa yang terjadi jika Yang Di Luar jauh lebih kecil dari Yang Di Dalam? Keminderan! Prestasi yang kita tunjukkan jauh di bawah kemampuan kita yang sesungguhnya. Di sini kita dapat melihat bahwa pada kasus yang pertama hasilnya adalah gejala superioritas sedangkan pada kasus kedua ialah gejala inferioritas.

Alfred Adler, seorang psikoanalis satu generasi di bawah Freud, mempunyai satu teori yang menarik tentang hal superioritas- inferioritas ini. Ia berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya (inferioritas). Oleh sebab itu manusia senantiasa berupaya berjuang untuk menambal kekurangan- kekurangan ini menuju suatu kesempurnaan (superioritas). Bagi Adler, perjuangan untuk menyempurnakan diri sebetulnya suatu hal yang sehat, namun bisa menjadi tidak sehat, bergantung pada keadaan orang itu sendiri. Orang yang neurotik alias terganggu dan ditindih oleh kecemasan akan berjuang mencapai kesempurnaan ini secara tidak sehat. Misalnya, orang yang tidak berkemampuan memimpin namun kebetulan berwewenang memimpin akan melaksanakan tugasnya secara otoriter. Bagi yang sehat, pertama-tama ia akan mengakui kekurangannya tersebut dan kemudian akan berusaha belajar memimpin. Mungkin ia tak akan segan meminta petunjuk orang lain yang lebih berpengalaman dan mengakui kekeliruannya bilamana perlu. Sekarang saya akan coba menerapkan pandangan Adler ini ke dalam pokok pembahasan semula.

Kesombongan (superioritas) dan keminderan (inferioritas) sebagaimana yang telah saya kemukakan tadi sesungguhnya merupakan wujud dari kepribadian yang memang sudah tidak sehat dan berkaitan erat dengan penilaian diri yang tidak berimbang. Saya kira tidak ada orang yang menganggap dirinya sempurna; biasanya selalu saja ada kekurangan yang kita temukan pada diri sendiri. Yang penting ialah menyadari dan mengakui kekurangan kita serta berusaha memperbaikinya secara sehat. Apabila kita tenggelam dalam kekurangan kita, kita mulai masuk ke kolam keminderan. Begitu mindernya sehingga kita tidak bisa lagi mengingat dan menghargai kelebihan kita. Yang terjadi di sini adalah Yang Di Luar lebih kecil daripada Yang Di Dalam. Akibatnya, kita cenderung menganggap diri tidak mampu sehingga semakin hari semakin banyak menciptakan kegagalan. Dengan kata lain, sebelum perang sudah kalah dulu. Sebaliknya dengan kesombongan. Keinginan untuk menyempurnakan kekurangan kita menjadi berlebihan sehingga tidak lagi realistik. Kita gagal melihat kenyataan akan kemampuan kita yang sebenarnya karena telah terobsesi untuk lebih sempurna. Yang terjadi di sini adalah Yang Di Luar jauh melampaui Yang Di Dalam.

Bagi yang berkiblat ke bidang matematika, saya akan menuliskan rumusnya. Orang yang rendah hati ialah orang yang otentik. Otentik adalah Yang Di Luar = Yang Di Dalam. Apabila Yang Di Luar > Yang Di Dalam = Superioritas (Kesombongan). Jika Yang Di Luar < Yang Di Dalam = Inferioritas (Keminderan). Pertanyaan yang mungkin timbul sekarang adalah, bagaimana dengan orang yang menganggap diri superior dan menilai orang lain inferior, tetapi memang benar ia seseorang yang memiliki kemampuan yang superior. Nah, untuk inilah kita memerlukan bagian kedua dari definisi tentang kerendahan hati tadi. Selain otentik, kerendahan hati juga berarti mempunyai kemampuan untuk menyangkal diri demi Kristus (Lukas 9:23). Memang kerendahan hati menuntut keotentikan namun keotentikan tidaklah menjadi liar, biadab, dan semena-mena. Penilaian yang berimbang dan tepat akan diri kita bukanlah alasan bagi kita menghina atau meremehkan orang lain. Kesepadanan yang kristiani antara Yang Di Dalam dan Yang Di Luar hanyalah terjadi jika Yang Di Dalam takluk kepada Kristus dan rela mengesampingkan keakuannya. Orang yang rendah hati adalah orang yang rela mengesampingkan kepentingannya demi Kristus.

Tuhan tidak membenci penilaian diri yang positif-yang sepantasnya. Yang Ia benci ialah kecongkakan. Jangan takut mengakui kekurangan, namun juga jangan takut mengakui kelebihan. Dua-duanya tidak membuat kita sempurna; hanya mendorong kita lebih rendah hati-lebih otentik.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Gaya Komunikasi

Oleh: Dr. Paul Gunadi
Ada orang-orang tertentu yang seolah-olah dilahirkan untuk menjadi orang yang sukses dalam pergaulan. Dengan mudahnya mereka dapat menjalin persahabatan setiap bertemu dengan teman yang baru. Bukan itu saja, persahabatan mereka pun biasanya bertahan sampai kekal. Sebaliknya, ada pula orang-orang yang justru mengalami kesukaran dalam pergaulan. Tema "disalah mengerti" merupakan tema pokok hidup mereka meski mereka tak henti-hentinya berusaha mengoreksi diri. Banyak faktor yang terlibat yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya adalah gaya kita berkomunikasi.

Tanpa kita sadari, sebenarnya gaya komunikasi itu sendiri adalah bagian dari isi berita yang kita komunikasikan. Pada umumnya orang yang sukses dalam pergaulan bukan saja memahami dampak gaya komunikasinya pada orang lain, ia pun telah berhasil menggubah gaya komunikasi yang luwes dan menyenangkan. Gaya komunikasinya bukan saja tidak mengganggu isi berita yang ingin ia sampaikan, malah gayanya yang luwes itu menambah kekuatan atau bahkan adakalanya melengkapi kekurangan isi berita yang ingin ia kemukakan. Di bawah ini saya mencoba menjabarkan tujuh gaya komunikasi yang tidak sehat. Mudah-mudahan dapat menolong kita memperbaiki keterampilan yang mahapenting ini.

Gaya 1: Si Penganggap
Ungkapan yang biasanya terlontar dari dirinya adalah, "Saudara seharusnya sudah mengerti maksud saya." Si Penganggap umumnya melakukan satu kesalahan yang cukup serius dalam komunikasi, yakni mengganggap orang lain pasti memahami isi hatinya. Sebelum kita menganggap bahwa orang lain sudah menangkap maksud kita, kita perlu mengecek ulang, apakah benar ia sudah memahami pembicaraan kita. Gaya komunikasi seperti ini acap kali membuahkan kekecewaan dan bahkan kemarahan.

Gaya 2: Si Sepenggal
Orang ini berpikir,"bukankah sudah saya katakan semuanya itu?!" namun sesungguhnya yang terjadi adalah ia memang belum mengemukakan seluruh pikirannya-baru sepenggal saja. Sewaktu kita berbicara, kecepatan pikiran kita bergerak dari satu topik ke topik yang lainnya tidaklah sama dengan kecepatan lidah kita mengungkapkan isi pikiran itu sendiri. Bagi Si Sepenggal, pikirannya bergerak telalu cepat atau lidahnya terlalu lamban sehingga maksud hatinya tidak tertuang sepenuhnya melalui bahasa ucapan. Masalahnya ialah, ia tidak menyadari hal ini, sehingga dalam benaknya, ia sudah mengatakan semua yang ingin ia sampaikan. Si Sepenggal rentan terhadap frustasi karena komunikasinya menjadi terpotong-potong dan sudah tentu, membuka pintu terhadap kesalahpahaman.

Gaya 3: Si Peremeh
Ucapan Si Peremeh pada umumnya ditandai dengan kalimat sejenis ini, "Kenapa tidak mengerti-mengerti?" atau "Memang bodoh kamu!". Si Peremeh memiliki satu masalah yang lumayan serius yakni ia memperlakukan semua orang sama seperti dirinya. Alhasil, apabila orang lain tidak bisa mengikuti kemauan atau pikirannya, ia pun marah. Sewaktu marah, bukannya ia melihat bahwa memang orang lain berbeda dengannya, ia justru memandang perbedaan sebagai kekurangan di pihak orang lain. Gaya komunikasi ini cenderung merusakkan hubungan dengan orang lain. Siapa saja yang pernah disakitinya akan menjaga jarak karena tidak mau terluka lagi.

Gaya 4: Si Penyenang
Si Penyenang mempunyai satu misi dalam hidupnya, yakni menyenangkan hati semua orang. Akibatnya, tema seperti ini sering keluar dari bibirnya , "Saya akan lakukan apa saja bagimu asal kamu bahagia." Bicara dengan Si Penyenang memang bisa menyenangkan karena ia akan mengangguk-angguk saja, namun biasanya gaya komunikasi ini dapat mendangkalkan relasi pribadi. Sukar sekali untuk mengetahui hati Si Penyenang karena ia tidak terbuka. Ketidakterbukaannya itu juga cenderung membuatnya menumpuk semua perasaan dalam hati. Kalau tidak tertahankan, ia mudah menjadi orang tertekan, ia mudah menjadi orang yang tertekan dan tidak bahagia.

Gaya 5: Si Pelupa
Kita bisa lupa dan adakalanya sengaja melupakan peristiwa tertentu. Malangnya, Si Pelupa lupa dan melupakan terlalu banyak hal dan frekuensinya terlalu sering. Ia acap kali berujar, "Tidak, saya tidak mengatakan hal itu." Namun kenyataannya ialah, ia mengatakan hal tersebut. Baik lupa atau melupakan informasi yang akhirnya dibutuhkan oleh orang lain cenderung melemahkan kepercayaan orang pada dirinya sendiri. Orang lain dapat membentuk anggapan bahwa Si Pelupa meremehkan atau bisa juga, orang lain menilai bahwa Si Pelupa tidak tulus. Ini bahaya! Komunikasi sangat bergantung pada kepercayaan; tanpa itu, yang mendengar adalah suara belaka.

Gaya 6: Si Pendebat
Repot juga berkomunikasi dengan Si Pendebat karena pembicaraan dengannya cenderung menjadi arena balapan kebenaran. Perhatikan kata-kata yang biasanya keluar dari mulutnya, "Apa benar saya berkata demikian? Apa kamu yakin? Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Si Pendebat kaya dengan kata-kata dan gaya berkomunikasinya mirip dengan taktik menyerbu orang lain dengan bombardemen kata-kata. Si Pendebat cenderung melemparkan fokus masalah ke pihak lawannya sehingga ia bebas dari kesulitan. Gaya komunikasi ini bisa menimbulkan rasa tidak suka dan jenuh pada orang lain karena bicara dengannya membuat diri merasa diserang. Lebih jauh lagi, Si Pendebat akhirnya membuat orang beranggapan bahwa ia senantiasa mengelak dari tanggung jawabnya. Gaya:7 Si Talenan
Rasa iba, kasihan, simpati adalah beberapa kata yang sering diasosiasikan dengan Si Talenan karena perasaan-perasaan seperti itulah yang timbul tatkala melihatnya. Si Talenan selalu menyediakan dirinya menjadi sasaran tudingan orang lain tanpa benar-benar menyadari di mana letak kesalahannya (kalau memang ada). Ucapan seperti ini cenderung muncul dari bibirnya, "Betul, memang saya yang salah dan sudah sepantasnya dimarahi." Masalahnya ialah, ia melakukan itu karena tidak berani atau berkekuatan memperhadapkan orang lain dengan kebenaran. Ia tidak suka keributan dan baginya silang pendapat tidaklah bijaksana, jadi, harus dihindarkan. Gaya komunikasi ini sangat merugikan dirinya dan bisa mengundang penghinaan dari orang lain. Orang lain semakin berani berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan perasaannya. Namun, bukankah ia jugalah yang memulainya?

Gaya komunikasi dapat memancarkan kepribadian, namun bisa pula merupakan gaya yang dipelajari. Adakalanya untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain, kita terpaksa mengikuti gaya komunikasi yang tertentu. Atau kita belajar dari keluarga kita sendiri sehingga kita menganggap gaya komunikasi kita pahami semua orang, alias universal. Jika gaya komunikasi kita memang merupakan buah kepribadian sendiri, sudah tentu perlu koreksi. Obat penawarnya ada beberapa, misalnya meminta tanggapan orang lain. Mungkin kita dapat memeriksa ucapan-ucapan kita dengan lebih teliti dan menanyakan, apa kita-kira yang orang lain rasakan (bukan kita, sebab kalau kita, mungkin sekali kita tak merasa apa-apa karena sudah terbiasa) tatkala mendengar kata-kata kita. Kita rela membayar mahal dan menanamkan waktu yang panjang untuk pendidikan kita; ironisnya, kita sering tidak bersedia membayar mahal untuk belajar menyehatkan gaya komunikasi kita. Memang, adakalanya hal yang penting tampaknya sederhana.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Paul Gunadi
Sejak anak saya memasuki usia remaja, sikapnya mulai berubah. Ia lebih sering diam di kamarnya dan tidak banyak bicara dengan kami lagi. Tetapi ia dapat menghabiskan waktu berjam-jam bercakap-cakap melalui telepon. Apakah ini gejala yang wajar atau tidak? Bagaimanakah cara menghadapinya?

Menurut Erik Erikson, pada saat anak memasuki usia remaja, ia pun memulai proses pembentukan identitas atau jati dirinya. Sebetulnya, anak sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk pembentukan jati dirinya jauh sebelum masa itu. Namun, pada masa remajalah jati diri anak mencapai bentuk yang relatif matang. (Saya katakan relatif, sebab menurut hemat saya pembentukan jati diri merupakan suatu proses yang berkesinambungan melampaui masa remaja.) Identitas diri sebenarnya adalah gambar atau pemahaman tentang siapakas kita ini. Pada waktu kita masih kanak-kanak, kita sangat bergantung pada orangtua yang mengasuh kita. Perlahan-lahan kebergantungan pada orangtua semakin berkurang seiring dengan kemampuan kita memenuhi kebutuhan pribadi kita. Pada masa remaja praktis dapat dikatakan bahwa kita sudah dapat hidup secara mandiri, kecuali dalam aspek keuangan. Pada saat itu barulah kita mulai bisa melihat diri kita secara lebih jelas, terpisah dari orangtua. Gambar atau pemahaman tentang siapakah kita (jati diri) mulai muncul dan kita pun semakin menyadari keinginan-keinginan dalam diri kita.

Pada masa ini, kehidupan sosial anak juga sudah meluas sehingga peran orangtua mulai menciut. Orangtua, yang tadinya merupakan pusat kehidupan sosial anak, sekarang tersisihkan dan digantikan dengan teman-teman sebayanya. Sebelumnya anak selalu bertanya bila hendak melakukan sesuatu. Sekarang anak mulai menunjukkan keenggannya meminta pendapat apalagi izin orangtua. Kalau dulu anak selalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sekarang anak mulaimulai menyimpan rahasia. Nah, di sini letak kesulitannya. Acap kali orangtua menafsirkan perilaku anak ini secara negatif, seolah - olah anak merahasiakan sesuatu yang buruk. Sudah tentu adakalanya anak memang menyimpan hal-hal yang buruk. Namun yang biasanya terjadi adalah anak bukannya merahasiakan sesuatu tetapi hanya tidak lagi merasa perlu menceritakan setiap peristiwa yang dialaminya kepada orangtua.

Kecenderungan anak untuk lebih "seru" jika sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya sebenarnya masuk akal. Bukankah kita juga pada umumnya lebih bisa "masuk" kalau berbicara dengan teman-teman sebaya kita, dibanding dengan orang-orang yang 25 tahun lebih tua dari kita (jarak usia antara anak dan orangtua juga sekitar 25 tahun). Teman sebaya sudah pasti lebih memiliki kesamaan dengannya karena hidup dalam dunia yang sama. Di sinilah dituntut kesediaan orangtua untuk mempelajari dunia anak remaja agar anak remaja dapat melihat bahwa orangtuanya sungguh memahami pikirannya.

Ada beberapa cara yang dapat orangtua lakukan. Misalnya, kita mengajak anak pergi berduaan sehingga kita dapat berbincang-bincang dengannya seperti teman. Bercakap-cakaplah dengannya, jangan menginterogasinya. Lakukan hal ini (interogasi) pada saat dan tempat yang lain bilamana memang ada alasan yang kuat untuk mencurigai perilakunya. Jangan memarahinya karena ia memakai telepon terlalu lama. Marahilah karena ia lalai melaksanakan tanggung jawabnya akibat terlalu lama berbicara di telepon. Marahilah karena ia kurang mempedulikan orang lain yang juga ingin memakai telepon namun tidak bisa. Satu hal lagi yang penting jangan memarahinya karena ia memakai telepon selama 50 menit sedangkan Saudara hanya menyisakan 5 menit untuk pembicaraan per telepon. Meski ia adalah anak kita, namun kepribadiannya dapat bertolak belakang dengan kita. Mungkin ia tipe anak yang senang bergaul, sedangkan kita lebih suka menyendiri. Kita perlu menyadari dan menerima perbedaan ini dengan lapang dada, asalkan anak tidak berbuat hal-hal yang salah.

Nah, saya harap jawaban ini dapat menolong Saudara sekalian yang mempunyai anak remaja di rumah.

RETROPEKSI
Oleh: Dr. Yakub B. Susabda
Komunikasi merupakan salah satu karakteristik manusia sebagai makhluk sosial. John Doone mengatakan,"No man is an island." Tak mungkin manusia hidup tanpa komunikasi dengan sesamanya. Firman Allah mengatakan, "Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja" (Kej. 2:18). Begitu pentingnya hubungan manusia dengan sesamanya, seolah-olah dapat disimpulkan bahwa manusia kehilangan naturnya sebagai peta dan gambar Allah pada saat ia menolak kebutuhannya akan sesama dan merusak komunikasinya dengan mereka.

Alkitab mencatat betapa kejatuhan manusia dalam dosa ditandai dengan rusaknya komunikasi. Manusia tidak bisa lagi mempercayai sesamanya, karena di lubuk hatinya yang terdalam, ia sering menyimpan rahasia - rahasia pribadi yang begitu busuk, yang oleh Feodor Dostoevski dikatakan, "He cannot reveal even to himself." Sejak itu, defense mechanism yang disebut repression, menjadi bagian integral dari hampir setiap komunikasi, karena tanpa itu manusia akan menjadi monster-monster yang siap untuk saling melukai bahkan membunuh sesamanya. Suatu realita yang menakutkan, yang sering kali melibatkan orang-orang percaya dalam pergumulan yang tidak habis - habisnya.

Apakah sebenarnya komunikasi? Apakah perlu seorang mengkomunikasikan secara utuh apa yang ada dalam hatinya? Apakah diperlukan kejujuran dalam komunikasi? Apakah integritas, ketulusan dan kejujuran dapat menjadi titik temu dalam iman Kristen? Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini terus-menerus dipertanyakan oleh orang-orang percaya yang merindukan kehidupan yang integratif dan utuh. Untuk itu, beberapa hal di bawah ini perlu diperhatikan. Pertama, kejujuran tanpa ketulusan menghasilkan kekristenan tanpa integritas. Baru-baru ini surat kabar-surat kabar memberitakan tentang panglima pasukan AS di Pasifik, Laksamana R.Macke yang terpaksa mengundurkan diri oleh karena komentar pribadinya yang sangat tidak bijaksana tentang pemerkosaan yang dilakukan tiga serdadu Amerika di Okinawa. Ia mengatakan "Perbuatan itu sangat bodoh(pemerkosaan ansich baginya bukan kebejatan moral yang harus dikutuki). Berulang kali sudah saya katakan bahwa dengan uang tambahan untuk sewa mobil, mereka dapat memiliki seorang wanita" (Kompas, 20 November 1995). Dengan kata lain, ia mengatakan bahwa persoalan ini bukanlah persoalan moral tetapi persoalan "kebodohan". Suatu penyangkalan terhadap hati nurani( sumber ketulusan) dan penghinaan terhadap martabat wanita.

Macke adalah seorang yang jujur, tetapi kejujurannya adalah kejujuran tanpa ketulusan. Oleh sebab itu, segera setiap orang (termasuk pemerintahan Bill Clinton ) menyadari bahwa panglima yang memimpin 330.000 pasukan Amerika di Pasifik tersebut manusia tanpa integritas. Apa yang dikomunikasikan adalah hati yang tidak mengenal ketulusan. Ia harus segera dipecat.

Kedua, kejujuran yang lahir dari ketulusan tidak selalu dapat dan perlu dikomunikasikan. Amsal Salomo mengatakan, "Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya"(Amsal 18:2). Mungkin ia tulus, mungkin motivasinya baik, tetapi ia disebut sebagai orang yang bebal karena ia membeberkan apa yang ada dalam hatinya. Apalagi, jikalau itu dikomunikasikan secara umum, kepada semua orang.

Lady Di (istri Pangeran Charles dari Inggris) adalah salah satu contoh yang paling gamblang untuk kelemahan ini. Ia tulus, dan sesuai dengan hati nuraninya yang ingin membela kebenaran dan keadilan, ia rela diwawancarai oleh BBC London (20 November 1995) dan bahkan menjawab dengan jujur mengenai kehidupan pribadinya. Ia tahu bahwa cerita pribadinya akan dikomersilkan oleh BBC dan rahasia pribadinya akan diketahui oleh ratusan juta umat manusia di seluruh dunia. Tetapi otaknya tidak bekerja dengan baik, sehingga ia tidak memakai pertimbangan akal yang bijaksana. Ia tidak memahami bahwa kejujurannya yang memuaskan hatinya sendiri dan mengundang simpati masyarakat banyak ternyata mempunyai dampak perubahan sikap hidup jutaan wanita di seluruh dunia. Kejujuran dan ketulusannya telah melegalisir perzinahan bagi mereka yang merasa cintanya dikhianati.

Komunikasi adalah art yang membutuhkan penanganan yang hati-hati. Komunikasi adalah bagian integral dari pertanggungjawaban iman Kristen. Komunikasi membutuhkan kedewasaan, karena tanpa itu kejujuran dan bahkan ketulusan pun tidak cukup.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Okt. - Des. 1995)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI