Memahami Pria

Oleh: Dr. Paul Gunadi

Sekalipun Firman Tuhan menjabarkan dengan jelas bahwa di dalam dan melalui pernikahan pria dan wanita akan "menjadi satu daging" (Kejadian 2:24), namun pada kenyataannya, mengejawantahkan kesatuan ini tidaklah mudah. Saya kira, salah satu sumber kesulitannya adalah pria dan wanita memiliki kualitas-kualitas yang berbeda. Masalahnya ialah, pria tidaklah selalu berhasil memahami wanita, demikian juga sebaliknya. Kejadian 1:27 memaparkan bahwa Tuhan memang menciptakan manusia,"laki-laki dan perempuan", dua jenis manusia, bukan satu. Di samping persamaan, juga terdapat perbedaan di antara pria dan wanita. Pernikahan yang berciri, "satu daging", ditandai oleh kuatnya pemahaman dan penerimaan akan perbedaan-perbedaan ini. Khusus dalam edisi ini, saya membatasi ulasan saya pada satu kualitas pria saja. Mudah-mudahan informasi ini dapat membantu pria memahami dirinya secara lebih akurat dan menolong wanita, terutama istri, mengerti serta menerima para suami dengan penuh kasih sayang.

Pada dasarnya pria adalah makhluk yang angkuh. Sebelum para rekan pria menyanggahnya, terlebih dahulu saya akan menjelaskan alasan dan latar belakang pemikiran saya. Sejak kecil, lingkungan sudah mengkondisikan pria untuk menjadi seseorang yang tegar. Kehormatan seorang pria terletak pada kekuatan atau ketegarannya. Pria dididik untuk bisa mengatasi segala sesuatu sehingga tanpa disadarinya, ia pun mulai menyakini bahwa kehormatan dirinya bertumpu pada kemampuannya. Ketidaksanggupannya mengatasi tantangan diidentikkan dengan kelemahannya. Kegagalan merupakan suatu aib yang memalukan harga dirinya. Prinsip hidupnya dapat disarikan dalam satu kalimat, "Saya bisa melakukannya." Berlandaskan pandangan inilah saya mendasarkan pengamatan saya tadi tentang keangkuhan pria. Menurut saya, keangkuhan pria sangat berkaitan dengan kemampuannya, atau lebih tepat lagi, dengan keengganannya mengakui kekurangmampuannya.

Di dalam pernikahan, keangkuhan pria biasanya mempengaruhi dua aspek kehidupan, yakni finansial dan seksual. Di dalam kedua hal ini pria berupaya keras agar ia mencapai puncak keberhasilan yang selayaknya. Kegagalannya atau perasaan bahwa ia telah gagal dalam kedua hal ini dapat membuatnya depresif. Kedua aspek kehidupan ini acap kali berperan sebagai tolok ukur harga dirinya. Tatkala ia merasa bahwa istrinya terpuaskan baik secara finansial maupun seksual, ia pun merasa bangga. Sebaliknya, ketidakpuasan istri dalam kedua areal kehidupan ini bisa mendorongnya menjadi minder. Alhasil, ia pun mulai meragukan kelaki-lakiannya atau lebih spesifik lagi kemampuannya menjadi seorang laki-laki.

Di sinilah letak salah satu perbedaan antara pria dan wanita. Untuk menjadi seorang wanita, perempuan tidaklah perlu "menjadi" wanita karena secara alamiah (biologis) ia sudah wanita. Tidak demikian halnya dengan pria. Meski secara jasmani ia sudah seorang pria, namun secara sosiologis dan psikologis ia perlu membuktikan dirinya terlebih dahulu sebelum ia memperoleh pengakuan bahwa ia adalah seorang pria. Pembuktian dirinya itu biasanya dialaskan atas keberhasilan dan kemampuannya. Pembuktian dirinya sebagai pria pada umumnya berkisar pada keberhasilannya dalam kedua hal tadi, yakni finansial dan seksual.

Kegagalannya memenuhi kebutuhan finansial dan seksual istrinya sesungguhnya melukai kehormatan dirinya. Ada pria yang berhasil mengalahkan keangkuhannya dengan cara mengakui keadaan diri yang sebenarnya di hadapan istri terkasih. Namun tidak sedikit yang menempuh jalan belakang. Ada yang berkompensasi berubah menjadi kasar, seakan-akan ia tidak membutuhkan istrinya; ada yang menarik diri dan hidup bak pertapa di rumah tangganya sendiri.

Keengganan pria mengakui kekurangmampuannya bersumber dari ketakutannya bahwa ia tidak lagi "dianggap pria". Satu komentar tentang wanita yang adakalanya saya dengan dari sesama pria adalah, "Wanita itu materialistik." Sudah tentu keabsahan persepsi ini dapat diperdebatkan siang dan malam, tetapi yang penting ialah, persepsi ini ada di benak sebagian pria. Tidak bisa tidak, bagi sebagian pria jalan untuk mengendalikan istri adalah melalui cara materialistik. Tujuan pertama-nya memang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun tujuan utama-nya belum tentu itu. Bisa jadi, tujuan utamanya adalah untuk menjaga wibawa atau kehormatan dirinya di mata istrinya. Oleh sebab itulah, keluhan istri yang berbau finansial mudah sekali ditafsir sebagai penghinaan terhadap dirinya.

Pria juga ingin berhasil secara seksual. Masalahnya ialah, secara jasmani pria berlari ke arah klimaks, sedangkan wanita berjalan ke arah klimaks. Maksud saya, wanita membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibanding pria untuk mencapai puncak kepuasan seksual. Akibatnya, acap kali pria mencapai klimaks terlebih dahulu sendangkan wanita tertinggal di belakang. Hal ini dapat melahirkan perasaan cemas pada diri pria sewaktu berhubungan dengan istri, apalagi jika pria melihat rona kekesalan atau kejengkelan pada istrinya. Komentar istri terhadap performa suaminya di tempat tidur mudah sekali menimbulkan rasa minder pada diri si suami. Jalan terbaik mengatasi masalah ini adalah dengan memperlambat tingkat perangsangan pada diri pria dan sekaligus memberi prioritas pada perangsangan istri.

Salah satu kemalangan yang saya lihat di dalam hidup ini ialah pria kerap kali terjebak di dalam keangkuhannya sendiri. Pria merindukan kemerdekaan; pria ingin hidup bebas dan apa adanya, tanpa embel- embel pembuktian diri. Namun apa ada daya, ia pun harus hidup di dalam lingkup sosialnya. Konsep dirinya yang beralaskan pekikan "Aku bisa!" menyulitkannya berbisik dengan lirih,"Aku tak bisa." Ia pun akhirnya memilih menjauh dari hidup merdeka dan otentik. Sayang sekali, kemerdekaan terlalu dikaitkan dengan kemenangan. Tantangan hidup pria sekaligus pertanyaan yang saya ingin ajukan kepada sesama rekan pria adalah, "Bolehkah kita merdeka untuk kalah?"

Sebelum Getsemani, Petrus dengan gegap gempita berseru, " Tuhan, aku siap mengikuti-Mu ke penjara bahkan sampai kepada kematian" (Lukas 22:33). Setelah Getsemani, di dalam gelap gulita Petrus bersumpah, "Aku tidak mengenal-Nya"(Lukas 22:57). Kemenangan pun menggeliat berubah menjadi kekalahan. Puji Tuhan, Petrus tidak berhenti di situ. Ia memutuskan untuk menjadi bebas bahkan dalam kekalahannya. Tatkala Tuhan Yesus memandangnya usai ia bersumpah, Petrus pun keluar dan menangis dengan sedihnya(Lukas 22:61-62).

Pria tidak selalu keluar dari arena finansial dan seksual sebagai pemenang; sebaliknya, tidak semua tanggapan istri (bahkan sedikit lagi yang) bertujuan untuk mempermalukan atau menghina kehormatan dirinya di hadapan Tuhan, yakni dengan cara hidup menyenangkan hati Tuhan. Integritas pria di hadapan Tuhan adalah kehormatan dirinya, lepas dari kemungkinan apakah wanita akan menghargainya ataukah tidak. Saya percaya pada prinsip Firman Tuhan yang mengemukakan bahwa siapa menabur, ia menuai. Apabila pria menabur pola,"Hormatilah diriku karena aku kaya dan jantan", maka tanpa disadarinya, ia pun sedang mengkondisikan istrinya untuk menghormatinya atas dasar kekayaan dan ketangguhan seksualnya belaka. Akhirnya, ia pun hanya akan menuai respek istri yang dangkal dan terkotak-kotak, yang tidak melihat dan menerima dirinya secara utuh.

Keangkuhan menuntut penghormatan,kerendahan diri yang tepat membuahkan keagungan ilahi. Sebagai duta Kristus di rumah tangga kita, seyogianyalah kita, para pria, mencerminkan keagungan Tuhan.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Wanita dan Depresi

Oleh: Dr. Paul Gunadi

 
Ada satu penelitian yang menarik perhatian saya yang terdapat di Journal of Personallity and Social Psychology, Vol.70 No.3(March,1996). Penelitian yang diberi judul, A "Feminine" Model of Vulnerability to Depressive Symptoms: A Longitudinal Investigation of Middle-Aged Women disusun oleh Joice T. Bromberger dan Karen A. Matthews. Melalui penelitian ini, kedua periset memperlihatkan bahwa beberapa karakteristik tertentu yang acap kali diasosiasikan dengan sifat kewanitaan ternyata menambah kerawanan wanita setengah baya terhadap depresi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di bawah ini akan diuraikan tiga karakteristik kewanitaan yang memperbesar kemungkinan wanita mengidap depresi, baik wanita usia setengah baya maupun wanita usia kuliah (berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu).

Karakteristik pertama dijuluki kurang instrumental, yang berarti kurang berani bersikap tegas, kurang berorientasi pada tugas dan kurang dominan. Biasanya karakteristik instrumental ini dihubungkan dengan karakteristik kelaki-lakian. Rupanya karakteristik instrumental ini berpengaruh positif dalam diri kita, baik pada masa mengantisipasi stres (sebelum stres datang) maupun pada saat menghadapi stres itu sendiri (setelah stres datang).

Ciri instrumental dikaitkan dengan kemampuan bersikap tegas (assertive-Saya indonesiakan, asertif) yang berarti bahwa kita dapat mengungkapkan isi hati secra jelas, langsung, dan tidak dengan nada menyerang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin mampu kita mengekspresikan diri secara asertif, makin kuat daya tahan kita dalam menghadapi stres, dan makin kecil kemungkinan kita terserang depresi. Secara pribadi saya memandang depresi ibarat penyakit jantung koroner di mana salah satu penyebab umumnya adalah penyumbatan saluran darah ke jantung itu sendiri. Ketidakmampuan kita mengutarakan isi hati secara asertif ternyata menimbulkan "penyumbatan" emosional dalam batin kita. Kalau ini terjadi terus menerus dan dalam kurun yang berkepanjangan, maka rasa ketertekanan kita (stressed) pun makin menumpuk. Beban emosional yang menumpuk akan menyumbat kemampuan kita untuk menjalankan fungsi sehari-hari kita dengan lapang dan segar. Jika ini berlangsung terus, maka kita pun akan membuka pintu terhadap depresi. Kita tidak lagi merasa bergairah menghadapi hidup dan akhirnya perasaan hambar mewarnai pandangan hidup kita. Kita mulai membatasi pergaulan dengan orang lain dan kehilangan semangat memenuhi tanggung jawab kita sehari- hari. Semua ini adalah beberapa gejala depresi, yang sebenarnya merupakan tanda bahwa kita membutuhkan pertolongan.

Karakteristik instrumental juga dikaitkan dengan kemampuan dan kecenderungan kita terjun ke dalam tugas (task-oriented). Tak dapat disangkal, tugas atau kerja memang menyedot energi kita secara konstruktif sehingga sedikit banyak mengisi kehidupan kita secara positif pula. Tanpa aktivitas yang produktif, kita cenderung mengalami kehampaan dalam hidup dan akhirnya membuat kita kehilangan makna atau tujuan hidup. Lebih lanjut, tugas atau aktivitas membantu kita dalam menghadapi stres, karena melalui tugas itulah kita menyalurkan beban yang menghimpit kita.

Ada orang yang tidak terlalu berorientasi pada tugas dan cenderung santai tanpa arah. Tampaknya karakteristik ini dapat menambah kerentanan kita terhadap depresi. Stres sebetulnya adalah energi yang menekan kita; jadi, energi itu perlu dibuyarkan dan biasanya kita melakukan hal itu dengan cara terjun ke dalam tugas. Energi yang didiamkan akan menimbulkan penyumbatan emosional dan akan diserap masuk ke dalam tubuh dan jiwa. Tidak heran depresi membuat kita merasa terhimpit, seolah-olah ada yang menekan dada kita, karena sebenarnya stres itu merupakan energi atau kekuatan yang mempunyai bobot, sehingga berkemampuan menekan kita.

Karakteristik dominan dihubungkan pula dengan ciri instrumental. Ciri dominan adalah kebalikan dari ciri menerima atau menyerap sehingga makin dominan kita, makin besar kemungkinannya kita akan mengambil inisiatif menghadapi stres. Sebaliknya, makin pasif, makin besar pula kemungkinannya kita hanya menyerap stres, yang akhirnya menumpuk dan menyumbat perasaan kita.

Karakteristik kedua yang dikonfirmasikan melalui riset ini ialah kecenderungan yang tinggi untuk tenggelam dalam diri sendiri. Tampaknya ciri ini lebih diasosiasikan dengan sifat kewanitaan dibanding dengan sifat kelaki-lakian. Lebih lanjut, ciri ini ternyata memberi sumbangsih terhadap kerawanan kita terhadap depresi. Salah satu gejala depresi ialah rasa putus asa dan sikap negatif terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling dan dihadapan kita. Dalam keadaan depresi kita merasa bahwa perjalanan yang pahit ini akan berlangsung terus tanpa akhir dan kita cenderung menepis uluran tangan yang menawarkan harapan. Perkataan kita bersumbu negatif dan muncul dalam bentuk, "Semua sama, tidak ada yang bisa menolongku."

Akibat langsung dari sikap negatif ini adalah kita makin tenggelam dalam kubangan stres. Kita gagal melihat aspek-aspek lain dari suatu permasalahan dan akhirnya kita hanyut dibawa arus keputusasaan. Tidak bisa tidak, kecenderungan kita untuk hanya memfokuskan perhatian pada diri kita saja akan mekin mendorong kita terperosok masuk ke lembah depresi. Sebaliknya, apabila kita tidak terlalu banyak menghabiskan waktu menatapi dan meratapi kemalangan kita, kita pun akan lebih terbuka terhadap dunia luar dan lebih mudah melihat serta menyambut harapan.

Karakteristik ketiga yang menambah kerentanan terhadap depresi adalah menyimpan kemarahan. Ada yang menyimpulkan bahwa depresi sesungguhnya adalah kemarahan yang tak terekspresikan dan akhirnya berbalik arah menuju ke diri sendiri. Hasil riset ini ternyata mendukung kesimpulan tadi. Ketidakmampuan kita mengungkapkan isi hati biasanya mencakup kesukaran mengeluarkan emosi marah. Kemarahan ini bisa bersumber dari pelbagai tema, namun yang umum adalah tema ketidakadilan. Kita menganggap bahwa hidup ini (beserta para manusianya) tidak adil dan kita tak berdaya mengubah ketidakadilan ini. Hasil akhirnya, kita pun merasa terperangkap dalam situasi yang menyakitkan ini. Kita tak berdaya membela diri dan bersikap pasrah secara terpaksa. Perlahan-lahan kita merasa marah bukan lagi terhadap mereka yang di luar kita, namun terhadap diri sendiri. Kita berhenti menyalahkan orang lain, malah kita mulai menyerang dan mempersalahkan diri sendiri. Pada puncaknya kita membenci diri sendiri karena menyaksikan betapa lemahnya (dan bodohnya, tak berdayanya) kita. Kunci kesembuhan adalah sikap asertif, agar kita bisa belajar mengutarakan diri dan terbuka terhadap bantuan orang lain.

Hasil riset ini tidak memberi kita informasi yang baru dan mengejutkan, namun meneguhkan apa yang telah kita ketahui sebelumnya. Kita tak dapat hidup bebas dari stres atau lepas dari kesulitan. Kita hanya bisa memastikan agar kita hidup sehat agar kita lebih siap menghadapi stres tatkala ia darang. Perkataan Tuhan yang dicatat di Yohanes 14:27 sungguh menyejukkan sukma; Ia sudah memberi kita damai sentosa. Mintalah kepada-Nya agar Ia membangkitkan kemampuan untuk mengalami damai sejahtera sekali lagi dan sehari lagi.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Paul Gunadi

Mengapa pada umumnya pria lebih mudah jatuh ke dalam dosa perzinahan dibandingankan dengan wanita?

Secara rohani, pria dan wanita sama-sama berkesempatan untuk jatuh ke dalam dosa perzinahan. Baik pria maupun wanita keduanya mempunyai "pintu" khusus di mana perzinahan akhirnya dapat menyelinap masuk. Bagi pria, salah satu pintu masuk yang umum adalah dorongan atau kebutuhan biologisnya; sedangkan bagi wanita, pintu masuknya ialah kebutuhan emosionalnya. (Sudah tentu ada pengecualian; mohon maaf karena saya terpaksa menyederhanakan permasalahan ini). Dengan kata lain, pria bertindak masuk ke dosa perzinahan atas desakan kebutuhan biologis; bagi wanita, dorongan untuk memenuhi kebutuhan emosionalnyalah yang kerap menjerumuskannya ke dosa perzinahannya. Acap kali seorang istri melibatkan diri dengan pria lain karena kekosongan. Mulai dari kekosongan ini terbentuklah jalinan emosional dengan pria lain yang berhasil masuk dan mengisi kebutuhan emosionalnya. Tatkala kedekatan emosional sudah terjalin, langkah berikutnya adalah tindakan perzinahan itu sendiri.

Berbeda dengan wanita yang biasanya jatuh karena kebutuhan emosional, ada beberapa faktor yang memudahkan pria jatuh ke dalam dosa perzinahan.
Pertama adalah faktor jasmani. Meski ada pria yang berzinah karena kebutuhan emosional, ada banyak pria berzinah secara sekadarnya, artinya tanpa ikatan emosional yang kuat. Secara anatomi kita bisa menyaksikan bahwa seksualitas pria bersifat agresif, kebalikkan dengan sifat seksualitas wanita yang berciri pasif. Dari sudut pandang ini, kita dapat memahami bahwa sifat aktif mencari kepuasan seksual lebih menonjol pada pria dibanding dengan wanita. Sebagai tambahan perlu Saudara ketahui, pada saat ejakulasi, pria mengeluarkan sekitar 100 juta hingga 400 juta sperma. Sebaliknya, wanita hanya memproduksi satu sel telur per bulannya. Saya kira, secara biologis pria memang lebih aktif dalam hal seks dibanding dengan wanita.

kedua secara rohani. Pada umummya pria mengatur perilakunya berdasarkan pertimbangan rasionalnya. Hal ini bisa berakibat baik namun dapat pula berdampak buruk. Baiknya adalah pria berpotensi mengambil keputusan dengan matang, tidak secara tergesa-gesa. Buruknya, rasio pria bisa menguasai dan mengatur hati nuraninya sampai sedemikian rupa sehingga hal yang salah dapat menjadi benar di matanya. Secara kodrati wanita lebih peka terhadap rasa bersalah dibanding dengan pria. Ditambah dengan kekuatan rasio, pria sangat mampu mendominasi hati nuraninya sehingga pada akhirnya ia dapat pula memendam rasa bersalahnya.

Ketiga dan terakhir, pria rentan terhadap perzinahan karena kekurangmampuannya mengekspresikan kebutuhan emosionalnya secara verbal(melalui perkataan). Dalam keadaan tertekan, pria biasanya mengalami kesulitan mengutarakan kebutuhannya akan sentuhan dan penghiburan istri. Singkat kata, pria cenderung menyalurkan tekanan hidupnya secara fisik. Penyaluran yang positif menyangkut kegiatan kerja atau olahraga; penyaluran yang negatif mencakup pemuasan seksual. Seks bersifat nikmat dan melegakan; dalam keadaan tertekan yang dibutuhkan adalah kelegaan. Jadi, dalam keadaan tertekan pria sangatlah rawan terhadap godaan seksual.

Kesimpulannya, baik pria ataupun wanita bisa jatuh ke dalam dosa perzinahan. Kunci penangkalnya adalah hidup sehat baik secara jasmani, emosional, maupun rohani. Ketiga aspek ini perlu dijaga secara berimbang. Doa pemazmur yang tercatat di Mazmur 119:33-40 hendaklah menjadi doa kita senantiasa.

RETROSPEKSI
Oleh : Dr. Yakub B.Susabda
Walter Trobisch dalam bukunya The Misunderstood Man menceritakan tentang seorang kepala suku di Afrika yang pada suatu hari mengumpulkan semua pria yang sudah menikah di rumahnya. Ceritanya, ia mengkhawatirkan kalau-kalau the real man (pria sejati)sudah tidak ada lagi karena kekuasaan istri di rumah mereka masing-masing. Ia meminta semua pria yang hadir memilih. Yang merasa dikuasai oleh istrinya boleh meninggalkan rumah tersebut lewat pintu sebelah kanan, sedangkan yang lain lewat pintu sebelah kiri. Heran ternyata cuma satu orang yang berjalan keluar lewat pintu sebelah kiri. Dengan suara keras, kepala suku itu berseru, "Nah , akhirnya kita berhasil menemukan the real man." Lalu ia mendekati orang tersebut dan bertanya, "Man, could you please share with us your secret?"("Dapatkah Anda menceritakan rahasianya sampai Anda berhasil menguasai istri Anda?") Dengan malu-malu orang tersebut menjawab, "Chief, when I left hime this morning, my wife said to me, 'Husband, remember, never follow the crowd!'" ("Pak Kepala sebelum saya meninggalkan rumah tadi pagi, istri saya mengatakan kepada saya;'Suamiku, ingat, jangan ikut-ikutan orang banyak!'")

Drama tragedi yang terus-menerus dimainkan manusia tercermin melalui ilustrasi di atas. Pria bagaimanapun tangguh, matang dan bijaksananya, senantiasa bergumul dengan perasaan gagal dan keinginannya untuk menyerahkan seluruh beban tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Dan wanita bagaimanapun lemah lembutnya selalu bergumul dengan ketidakrelaan menerima panggilannya sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. Dosa telah merusak rencana kekal Allah yang berkaitan dengan penciptaan dan pembentukan keluarga. Keunikan peran pria sebagai suami-kepala keluarga, dan wanita sebagai istri-penolong sepadan makin lama makin tidak dipahami, apalagi di tengah pergeseran-pergeseran nilai zaman ini. Apa sebenarnya yang Alkitab ajarkan?

  1. Allah menciptakan pria dengan natur yang berbeda dari wanita, dan perbedaan itu menjadi dasar dari perbedaan panggilan untuk suami dan istri. Hanya wanitalah yang mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Oleh sebab itu, meskipun pria dan wanita bisa melakukan jenis pekerjaan yang sama (menggendong, menyuapi, dsb.) dan bisa mengembangkan kualitas kerja yang sama (pria bisa merawat anak sebaik wanita dan wanita bisa memimpin perusahaan sebaik pria), mereka seharusnya mempunyai motivasi dan tujuan kerja yang berbeda. Mengapa? Karena panggilan Allah untuk mereka berbeda. Pria tidak dipanggil Allah untuk menjadi ibu dan penolong yang sepadan, dan wanita tidak dipanggil untuk menjadi bapak dan kepala keluarga.
  2. Panggilan Allah untuk pria dan wanita tidak terpisah bahkan menyatu dengan talenta, kesempatan, bakat dan kematangan life structure-nya (watak dan kepribadian). Meskipun demikian, panggilan untuk pria sebagai suami-kepala keluarga dan wanita sebagai istri- penolong yang sepadan tak pernah berubah. Banyak suami-suami yang lemah dan istri-istri yang mempunyai talenta dan kepribadian yang lebih kuat, tapi bakat dan kepribadian tidak mengubah panggilan Allah atas mereka. Bahkan makin lemah si suami, makin besar tanggung jawab istri untuk mendemonstrasikan panggilannya sebagai penolong yang sepadan, yang mampu menciptakan "suasana dan kondisi yang condusif untuk pertumbuhan suaminya". Dengan kelebihannya, ia tidak terpanggil untuk mengambil alih tugas dan panggilan suami- kepala keluarga. Begitu juga si suami, makin kuat ia, makin besar tanggung jawabnya untuk mendemonstrasikan pengorbanan dan pelayanannya kapada istrinya, teman pewaris kasih karunia Allah tersebut (Matius 23:11; I Petrus 3:7).
  3. Memang salah satu tujuan Allah membentuk keluarga (Kejadian 1:26- 28) adalah untuk mengerjakan mandat budaya ilahi, tapi sukses mencapai tujuan tersebut bukanlah merupakan objektif/target panggilan Allah. Allah lebih berkenan kepada hati yang hancur, patah, tulus dan dengar-dengaran. Tidak heran jikalau kasih yang mula-mula lebih berharga di mata Allah daripada achievements yang dicapai (Wahyu 2:1-7).

Sering kali prinsip kebenaran ini diabaikan suami-istri. Untuk target (mis: keberhasilan studi anak-anak, sukses dalam bisnis, dsb.) mereka rela berkelahi, menang-menangan, saling memperebutkan hak dan saling melukai. Mereka lupa bahwa hidup dengan target-target hanyalah sarana yang dipakai Allah untuk membawa mereka masuk ke dalam proses pertumbuhan yang dikehendakii Allah. Bagi orang percaya, proses lebih penting daripada goals dan achievements yang dicapai.

Kiranya berkat Tuhan dilimpahkan pada mereka yang mengasihi Tuhan dengan tulus dan benar.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 1996)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI