Perumpamaan Tentang Bendahara Yang Cerdik

Edisi C3I: e-Konsel 067 - Mengelola Uang

Salah satu kesamaan dari perumpamaan-perumpamaan yang pernah diajarkan Yesus adalah selalu mengejutkan, menyentak, dan menyadarkan. Yang menjadi "tokoh pahlawan" biasanya orang yang paling tidak diduga. Ciri itu tampak jelas dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-13). Kisah ini memancing kontroversi dan perdebatan di antara para penafsir Alkitab. Meskipun menimbulkan banyak pertanyaan, perumpamaan ini menghadapkan kita pada kebenaran yang esensial tentang kehidupan sebagai seorang murid. Perumpamaan ini pertama-tama disajikan dalam ayat 1-8, lalu diikuti dengan penjelasan tentang prinsip-prinsip di dalamnya, yang diajarkan oleh Tuhan sendiri.

YESUS MENYAMPAIKAN PERUMPAMAAN TENTANG BENDAHARA YANG CERDIK (Lukas 16:1-8).

Bendahara yang setia

Perumpamaan ini membawa kita memasuki dunia keuangan dan tanggung jawab. Bendahara itu seorang bawahan. Tepatnya, ia hanyalah pegawai yang diserahi kepercayaan oleh tuannya, yang mungkin sedang bepergian, untuk mengawasi usaha dan aset tuannya. Yang jelas, tanggung jawabnya adalah menggunakan kepercayaan itu untuk kepentingan majikannya, bukan dirinya. Namun, godaan untuk menyelewengkan uang bagi tujuan dan kesenangannya sendiri terlalu kuat. Ia menghambur-hamburkan uang itu, melanggar kepercayaan yang diberikan, dan menyalahgunakan harta majikannya. Dan, ketika dituduh lalai, ia tidak bisa menjawab.

Kisah ini hampir sama dengan perumpamaan tentang hamba yang tidak mau mengampuni, dalam Injil Matius pasal 18. Pengulangan situasi yang sama ini menunjukkan bahwa pelanggaran kepercayaan terhadap orang lain, yang umumnya terjadi pada zaman dahulu, terjadi juga pada zaman sekarang. Tentu saja orang itu pantas dipecat. Namun, yang penting untuk diperhatikan adalah posisi si bendahara setelah tuannya berkata, "Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara" (ayat 2).

Perusahaan-perusahaan modern biasanya memerintahkan karyawannya yang dipecat untuk segera mengemasi barang-barang di meja kerjanya, atau jika tidak, orang lain yang disuruh membereskannya. Namun, bendahara dalam Injil Lukas, masih diberi kesempatan. Pemecatan dirinya memang tak mungkin dihindari lagi, tetapi belum merupakan sesuatu yang bersifat final atau segera diumumkan. Sampai laporan keuangannya selesai dibuat, ia masih memiliki kesempatan untuk bertindak. Memang, waktunya amat singkat, karena itu ia harus segera bertindak. Ia tidak boleh membuang-buang waktu.

Di sinilah kecerdikan orang itu akan tampak. Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan. Ia terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan kasar dan terlalu gengsi untuk mengemis. Jika tidak bertindak cepat, nasib buruk akan menimpanya. Tetapi, ia tahu benar pepatah yang mengatakan, "Bantulah aku, maka aku akan membantumu." Mungkin ia bisa bermurah hati kepada beberapa orang, sehingga mereka akan balas berbaik hati kepada dirinya.

Rencananya sederhana. Ia memanggil orang-orang yang berutang kepada tuannya dan mengubah surat utang mereka. Bagaimanapun juga, ia telah lama mengelola laporan keuangan tuannya dan ia masih memiliki wewenang yang sah untuk bertindak atas nama tuannya.

"Berapakah utangmu kepada tuanku?"; "Seratus tempayan minyak."; "Inilah surat utangmu yang lama. Tuliskanlah lagi surat utang lain, tapi tulis saja lima puluh tempayan dan saya akan menandatanganinya."

"Berapakah utangmu?"; "Seratus pikul gandum."; "Inilah surat utangmu, buatlah surat utang lain, tuliskan saja delapan puluh pikul dan saya akan menandatanganinya."

Kita tidak tahu praktik bisnis pada abad pertama, sehingga sulit memastikan sesuatu yang sedang terjadi. Beberapa ahli yakin bahwa semua transaksi bisnis di masa itu curang dan bendahara ini menggambarkan kecurangan orang-orang pada masa itu. Mungkin hal itu benar, tetapi mengingat orang-orang ini mungkin akan terus melakukan bisnis dengan orang kaya itu, tafsiran ini tampaknya tidak sesuai. Yang lebih mungkin adalah transaksi yang dilakukan keduanya terselubung atau tidak sah.

Menurut hukum Musa, para pebisnis Yahudi dilarang mengambil riba dari sesama orang Yahudi. Namun, hal itu membuat transaksi dagang menjadi sulit. Jadi, mereka mengakalinya. Ketika meminjamkan uang, tidaklah sah mencantumkan besarnya bunga dalam surat tagihan. Oleh karena itu, dalam tagihan biasanya hanya tercantum sejumlah uang: jumlah total yang sudah mencakup pinjaman pokok, ditambah bunga dan imbalan bagi si bendahara. Jumlah ini sering kali dinyatakan dalam bentuk barang (misalnya minyak atau gandum). Dengan cara ini, transaksi itu akan tampak sejalan dengan hukum.

Jika benar demikian, mungkin si bendahara memberi potongan jumlah utang yang tertera dalam tagihan itu dengan menangguhkan bunganya. Karena memungut bunga adalah sesuatu yang melanggar hukum Yahudi, maka tuannya tidak punya dasar apabila ingin memberikan sangsi kepadanya. Bisa jadi, orang-orang yang berutang itu mencurigai alasan di balik "kemurahan hati" si bendahara, meskipun begitu mereka tentu dengan senang hati menerima tawarannya. Karena itu, dengan cerdik ia telah berhasil memperdaya tuannya sekaligus mengambil hati para pengutang itu, sehingga mereka pasti akan mengenangnya sebagai bendahara yang baik hati.

Perumpamaan itu diakhiri dengan pernyataan, "Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik" (ayat 8). Kita perlu tahu apa yang dikatakan dan apa yang tidak dikatakan. Tuan itu tidak berkata ia berkenan pada tindakan bendahara itu, tetapi ia terkesan pada tindakannya. Orang itu berhasil memperdaya tuannya. Si majikan tentu tak bermaksud memuji ketidakjujuran si bendahara, tetapi bagaikan atlet yang kalah, dengan muka masam mengomentari keahlian dan strategi lawannya, ia terpaksa mengakui kecerdikan si bendahara.

Karena kata cerdik adalah kata kunci dalam cerita ini, kita perlu merenungkan maknanya dengan saksama. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti "bertindak dengan perhitungan jauh ke depan", dan hal ini digambarkan dalam perkataan Yesus tentang orang yang bijaksana (secara harfiah juga berarti cerdik) yang membangun rumahnya di atas batu untuk siap menghadapi banjir yang datang (Matius 7:24). Juga digambarkan dalam sosok lima gadis yang "bijaksana" (cerdik) yang membawa persediaan minyak untuk persiapan di masa yang akan datang (Matius 25:1-13). Sifat inilah yang dimiliki oleh bendahara yang tidak jujur itu. Ia bertindak dengan tepat dan meyakinkan pada masa sekarang untuk menempatkan dirinya pada masa yang akan datang. Ia bertindak tepat sesuai dengan situasi. Ia menyadari situasi krisis yang dihadapinya dan meraih peluang yang ada karena kemampuannya memandang jauh ke depan. Ia cukup lihai untuk bertindak dengan kecerdikan dan pertimbangan yang praktis.

Kisah ini mengusik kesadaran kita. Walaupun bendahara ini tampaknya menjadi pahlawan, sebenarnya tidak. Tetapi melalui tindakan-tindakannya yang menimbulkan keraguan itu, kita dapat melihat suatu kualitas yang diharapkan juga dimiliki oleh murid-murid Tuhan bila mereka ingin hidup secara efektif di dunia ini. Kualitas itu diuraikan dalam pembahasan berikutnya.

TUHAN MEMBICARAKAN PRINSIP-PRINSIP MENJADI MURID YANG CERDIK (Lukas 16:8-13).

1. Murid yang cerdik menggunakan uang untuk meraih tujuan kekal.

Pesan utama Tuhan dalam Lukas 16:8-13 adalah bahwa kecerdikan dalam menggunakan uang dapat membuat orang mencapai tujuan yang kekal. Dalam ayat 9 Dia berkata, "Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan kekayaan duniawi." Makna frase "kekayaan duniawi" tidak setajam perkataan Yesus yang sebenarnya, yakni "Mamon yang tidak jujur". Mamon adalah suatu istilah yang menarik, yang tidak hanya berarti uang, tetapi juga harta benda. Tuhan menjelaskan bahwa Mamon memiliki kekuatan yang besar, yang tidak bersifat netral. Bila tidak ditempatkan di bawah otoritas Kristus, Mamon dapat menjadi ilah lain yang membawa kita pada kejahatan. Jadi, itu bukan sekadar "kekayaan duniawi" melainkan "Mamon yang tidak jujur".

Tuhan memanggil kita untuk mengenali batas-batas toleransi terhadap harta. Ungkapan "supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi" (ayat 9) yang secara harfiah berarti "jika Mamon itu gagal", mengacu pada saat kematian tiba atau saat tak ada lagi yang memberikan utang. Paulus berkata, "Kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar" (1 Timotius 6:7). Kecerdikan mendorong kita untuk menyadari bahwa uang memang berkuasa, tetapi terbatas, sementara, dan fana. Salah satu sifat uang adalah dapat musnah atau rusak. Beberapa abad yang lalu Bernard dari Clairvaux menulis, "Uang tak lagi memuaskan kebutuhan batin kita yang lapar, karena kelak kita lebih butuh udara bagi tubuh yang membutuhkan makan." Tentunya ini berlaku saat kematian tiba. Tak seorang pun dapat membawa serta uangnya.

Kebijakan dalam menggunakan uang juga terfokus pada bagaimana uang itu dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang kekal. Yesus berkata, "Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya ... kamu diterima di dalam kemah abadi" (ayat 9). Bila uang kita digunakan untuk memenuhi kebutuhan saudara-saudara seiman dan untuk mewartakan Injil, kita yakin bahwa akan ada sesuatu yang kekal yang akan kita terima. Bapa kita yang Maha Pemurah akan menyingkapkan kepada orang-orang kudus bagaimana kita telah memakai uang untuk menjadi sarana dalam pertobatan mereka atau dalam memenuhi kebutuhan mereka. Bayangkan betapa besar penerimaan di surga!

Tidak banyak pengalaman yang lebih memuaskan daripada pengalaman mengunjungi tempat tinggal dan tempat pelayanan Anda dahulu, dan melihat orang-orang berbaris untuk mengatakan betapa Anda telah memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka, sesuatu yang tak terkira dan tak ternilai.

Tuhan memanggil kita untuk menggunakan uang dengan bijak, dengan alasan-alasan yang bersifat kekal. Namun data statistik menyatakan bahwa dari jumlah pendapatan yang ada (sesuai dengan laju inflasi), yang meningkat sebesar 31% di kalangan 31 anggota denominasi Protestan antara tahun 1968 sampai 1985, hanya 2% dari angka tersebut yang diberikan kepada gereja-gereja atau organisasi-organisasi kristiani (Chicago Tribune, 31 Juli 1988). Dengan kata lain, 98% lainnya digunakan untuk membiayai gaya hidup manusia. Bila kita hidup dalam dunia dengan kebutuhan yang terus-menerus meningkat dan banyak peluang yang memikat, maka sepertinya akan sulit bagi kita untuk menggunakan uang dengan bijak.

Orang-orang percaya juga perlu hidup dengan bijak -- menyusun strategi, merencanakan, memimpikan, dan menggunakan akal budi serta kreativitas. Pada saat-saat yang radikal, diperlukan solusi yang radikal pula, sebagaimana dilukiskan dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar menjalankan bisnis seperti biasa. Murid yang bijak perlu bertanya kepada diri sendiri, "Bagaimana aku dapat menggunakan uangku semaksimal mungkin untuk hal-hal yang bernilai kekal?" Kita harus berhati-hati agar tidak membelanjakan atau menghamburkan uang dengan ceroboh, emosional, atau menuruti kata hati. Tuhan memanggil kita untuk menjadi orang yang tegas, cermat, cerdik, dan memandang jauh ke depan.

2. Murid yang bijaksana menggunakan uang dalam terang kemuliaan kekal.

Ada tiga pesan utama dalam Lukas 16:8-13. Pertama, kebijaksanaan dalam menggunakan uang dapat mencapai tujuan kekal. Kedua, kebijaksanaan dalam pengelolaan keuangan akan membawa hasil yang kekal (ayat 10-12). Ketiga, prinsip pengelolaan uang sangat sederhana. Prinsip pertama adalah persyaratan utamanya: "Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai" (1 Korintus 4:2). Prinsip kedua adalah ganjaran, yang dijelaskan Tuhan dalam Lukas 16:10: "Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar."

Dalam perkara-perkara kecillah kita membuktikan kesetiaan. Utusan Injil ternama Hudson Taylor, mengamati, "Perkara kecil adalah sesuatu yang kecil; tetapi kesetiaan dalam perkara kecil adalah sesuatu yang besar".

Kesetiaan terhadap uang berkaitan dengan karakter. Seorang penulis menerangkan mengapa ia masih bisa menambahkan kisah lain pada buku biografi tentang Duke of Wellington: "Saya lebih beruntung dibandingkan penulis biografi sebelumnya. Saya menemukan laporan keuangan yang mengungkapkan bagaimana Duke membelanjakan uangnya. Cara Duke membelanjakan uang dapat menjadi petunjuk yang lebih baik untuk mengetahui apa yang menurutnya benar-benar penting, daripada hanya membaca surat-surat atau pidato-pidatonya.". Hal ini juga berlaku atas laporan keuangan seorang murid Tuhan.

Kebijaksanaan menyebabkan kita memandang "Mamon" dengan cara menarik. Lukas 16:10-12 menunjukkan kesamaan antara "perkara-perkara kecil" (ayat 10), "kekayaan duniawi" (ayat 11), dan "harta orang lain" (ayat 12). Pada saat yang sama juga ditunjukkan kesamaan antara "perkara-perkara besar" (ayat 10), "harta yang sesungguhnya" (ayat 11), dan "hartamu sendiri" (ayat 12). Tuhan mengatakan bahwa kekayaan yang kita miliki adalah perkara-perkara kecil. Itu sama sekali bukan milik kita. Kita hanyalah pengelola, bukan pemilik. Jika kita menggunakan harta seolah-olah itu milik kita, berarti kita sedang bertindak seperti bendahara yang tidak jujur. Kita tidak memiliki apa-apa, kita hanyalah pengelola segala sesuatunya. Segala yang kita miliki hendaknya dipakai untuk memenuhi maksud dan tujuan Tuhan. Harta duniawi memiliki nilai utama bila digunakan sebagai sarana untuk melatih kita mengelola "harta yang sesungguhnya" yang menunjuk pada perkara-perkara Kerajaan Allah.

Oleh karena itu, orang yang bijaksana akan menggunakan uang dalam terang kemuliaan kekal. Termasuk di dalamnya, kesempatan untuk melayani Tuhan Yesus yang akan mewujudkan kehendak-Nya di bumi dan memberi pelayanan istimewa di surga nanti.

3. Murid yang bijaksana mengerti bahwa pengelolaan keuangan mencegah keterikatan pada uang.

Pesan ketiga dari Lukas 16:8-13 ditemukan dalam ayat 13: "Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon". Dengan kata lain murid yang bijaksana mengerti bahwa pengelolaan keuangan mencegah kita terikat pada uang. Kita dapat melayani Allah dengan uang, tetapi kita tidak pernah dapat melayani Allah dan uang sekaligus. Mau tak mau, kita harus memilih. Kita hanya bisa memiliki satu tuan. Yesus ingin kita mengerti bahwa sesungguhnya kita tidak punya pilihan untuk menjadi tuan bagi Mamon. Pilihan yang kita punyai hanyalah menjadi pengelola uang atau menjadi hamba uang. Dan Mamon selalu berjuang untuk menggantikan tempat Allah.

Tuhan menggunakan gaya bahasa personifikasi yang amat hidup dalam uraian-Nya agar kita mengerti bahwa tak ada pilihan yang setengah-setengah. Allah menguasai harta kita atau harta itu akan menguasai kita. Henry Fielding pernah menulis, "Jadikan uang sebagai ilahmu, maka ia akan menggodamu bagai iblis."

Kita semua melayani sesuatu atau seseorang. Kita tak mungkin menjadi murid Yesus yang setengah-setengah. Kita harus memilih kepada siapa kita harus mengabdi sepenuhnya. Jika kita memilih Tuhan sebagai satu-satunya tuan kita, Dia tidak akan pernah menghabiskan uang kita. Pada kenyataannya, Dia mengambil uang kita dan mengubahnya menjadi suatu persahabatan. Sejumlah uang yang kita gunakan untuk berjudi, membayar WTS, atau membeli narkoba adalah uang yang juga bisa kita gunakan untuk membeli Alkitab, menggali sumur, atau mendukung Pekabaran Injil. Jumlah uang yang sama, yang digunakan oleh bendahara yang cerdik untuk menata jalannya menuju masa depan yang mapan, juga bisa digunakan oleh murid yang bijak untuk diinvestasikan dalam persekutuan yang kekal. Perbedaannya terletak pada pengambilan keputusan kepada siapa ia akan mengabdi.

Bagaimana kita memperoleh uang? Apa yang dapat kita beli dengan uang itu? Kapan dan bagaimana kita mengeluarkan uang? Untuk apakah kita menggunakan sumber pendapatan yang kita miliki? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seorang murid yang bijak ketika berusaha menyamai sosok "tuan" yang dipilihnya ini, seseorang yang bertindak secara meyakinkan dalam penggunaan berbagai sumber pendapatan yang dimilikinya untuk memaksimalkan peluangnya di masa depan.

Ada kisah tentang seorang yang mengalami kapal karam di pulau terpencil tak dikenal. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa ia tidak sendirian. Sebuah suku yang terdiri dari cukup banyak orang mendiami pulau itu bersamanya. Betapa senangnya ia karena mereka memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Mereka menempatkannya di singgasana dan menyediakan segala keinginannya. Ia amat senang, tetapi juga bingung. Mengapa ia diperlakukan bak seorang raja? Setelah kemampuannya berkomunikasi semakin meningkat, ia pun tahu bahwa ternyata suku itu mempunyai kebiasaan memilih raja setahun sekali. Kemudian, setelah masa kekuasaannya berakhir, raja itu akan dibuang ke sebuah pulau.

Bantulah aku, maka aku akan membantumu.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Kegembiraannya segera berganti dengan kesedihan. Kemudian, ia memikirkan suatu rencana yang cerdik. Di sepanjang bulan berikutnya, ia mengirim anggota-anggota suku itu untuk membuka dan mengolah tanah di pulau lain. Ia memerintahkan mereka untuk membangun sebuah rumah yang indah, memperlengkapinya dengan perabot rumah, dan menanam tumbuhan. Ia mengirim beberapa sahabat yang dipilihnya untuk tinggal di sana dan menunggunya. Lalu, saat hari pengasingan itu tiba, ia ditempatkan di sebuah tempat yang telah dipersiapkan dengan sangat cermat dan telah dipenuhi dengan sahabat-sahabat yang dengan senang hati menerimanya.

Murid-murid Tuhan tidak sedang menuju pulau yang sunyi. Tujuan kita adalah Rumah Bapa. Namun, persiapan kita di dunia menentukan bagaimana kita di sana kelak. Jika kita bijak, akan ada sahabat dan ganjaran kekal yang menanti. Orang bodoh yang menjadi hamba uang akan kehilangan semua harta. Orang percaya yang cerdik melayani Allah dan memiliki investasi dalam kekekalan.

Sumber diedit dari:
Judul Buku : Bijak Mengelola Uang
Judul Artikel : Perumpamaan Tentang Bendahara yang Cerdik
Penerbit : Yayasan Gloria - 1998
Penulis : Gary Inrig
Halaman : 23 - 35
Sumber
Halaman: 
23 - 35
Judul Artikel: 
Bijak Mengelola Uang
Penerbit: 
Yayasan Gloria - 1998

Published in e-Konsel, 16 July 2004, Volume 2004, No. 67