Mencegah Homoseksualitas

Edisi C3I: e-Konsel 084 - Homoseksual

Seperti yang kita ketahui, ada bukti kuat bahwa homoseksualitas adalah kondisi yang sedikit dipengaruhi oleh faktor genetik, kelenjar, atau pengaruh-pengaruh psikologis. Jika hal ini ternyata benar, maka homoseksualitas dapat dicegah dengan menyediakan pembelajaran melalui pengalaman-pengalaman yang menstimulasi heteroseksualitas. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kita dapat memberikan kuliah atau tugas membaca dan berharap bahwa kegiatan ini bisa mencegah homoseksualitas. Pembelajaran ini harus dimulai di rumah, bahkan sebelum anak itu mengetahui bagaimana caranya membaca.

  1. Ciptakan Lingkungan Rumah yang Sehat

    Karena homoseksualitas sering muncul dari adanya hubungan yang tidak dikehendaki antara orangtua dengan anak, maka keluarga adalah titik awal dimana usaha pencegahan harus dimulai. Memang benar dan tidak diragukan lagi bahwa orangtua yang memiliki kehidupan pernikahan yang sehat tidak akan menasihati anaknya agar memilih pasangan yang sejenis. Seorang ayah tidak akan menolak atau mengacuhkan anak-anaknya jika ia mengalami kepuasan dalam pernikahan, karier yang tidak menyita hampir seluruh waktunya, dan dia merasa aman dalam kemaskulinan dan kemampuannya sebagai laki-laki. Tidak ada anak yang bertumbuh menjadi homoseksual jika sejak semula dia sudah mempunyai hubungan emosional yang hangat, terutama dengan kedua orangtuanya.

    Semuanya itu menyatakan bahwa gereja sebenarnya bisa mencegah homoseksualitas jika gereja menstimulasi pola keluarga yang Alkitabiah dimana ayah dan ibu secara jelas memiliki peran yang berbeda; ayah menjadi pemimpin di rumah, anak-anak dihargai dan didisiplin, serta orangtua memiliki hubungan yang saling memuaskan. Suasana rumah yang stabil menstimulasi perilaku heteroseksual yang sehat bagi anggota keluarga tersebut.

  2. Memberikan Informasi yang Akurat Mengenai Homoseksualitas

    Sangat menyedihkan saat mengamati penghukuman dan ketakutan orang-orang Kristen sebagai reaksi mereka terhadap homoseksualitas. Dengan tumbuh dalam lingkungan semacam ini, para pemuda justru belajar untuk takut terhadap homoseksualitas dan menekan berbagai kecenderungan "gay" yang ada di dalam diri mereka. Mereka bukannya mengakui dan bergaul dengan orang yang berjenis kelamin sama, melainkan menutup rapat-rapat semuanya itu. Mereka terdorong untuk bergabung dengan kelompok homoseksual yang justru bisa memahami, menerima, dan mengasihi mereka karena mereka tidak bisa mendapatkan pengertian dan pertolongan dari orangtua atau anggota gereja. Dengan sikap menyalahkan tersebut, maka gereja kadang-kadang justru menekan orang-orang ke dalam situasi yang mendorong perilaku homoseksual.

    Alternatif penyelesaiannya bukanlah dengan cara mengembangkan sikap-sikap liberal yang mengabaikan dosa atas perilaku homoseksual. Jalan keluar yang bisa diberikan adalah gereja- gereja mengajarkan apa yang Alkitab katakan tentang kontrol seksual, cinta, persahabatan, dan seksualitas (termasuk homoseksualitas). Para pemimpin gereja seharusnya menunjukkan sikap belas kasih dan membesarkan hati, dan bukannya menghukum atau menyalahkan mereka. Pandangan miring tentang homoseksualitas (beberapa di antaranya dibahas dalam buku-buku Kristen populer tentang "gay") seharusnya diungkapkan apa adanya: ketidakbenaran yang dijejalkan pada orang-orang, ketidakpedulian yang terus- menerus, ketakutan yang dimunculkan, penyingkiran para homoseks dari persekutuan Kristen serta pelayanan yang lebih digunakan untuk membesar-besarkan pembenaran kritiknya. Semuanya ini menunjukkan bahwa permasalahan-permasalahan seperti homoseksualitas seharusnya didiskusikan di gereja dan bukannya dihindari.

    Karena homoseksualitas bisa menjadi kebiasaan yang merupakan respon terhadap stimulasi lingkungan, maka gereja seharusnya menekankan tentang pentingnya pengendalian seksualitas pribadi. Hal ini bisa dilakukan melalui doa, merenungkan Firman Tuhan, menghindari situasi atau orang yang memunculkan pemikiran seksual, membuat keputusan dengan tenang untuk menghindari tindakan dosa, dan kebiasaan untuk menceritakan masalah dengan teman atau konselor yang bisa dipercaya.

  3. Membangun konsep diri yang sehat.

    Beberapa tahun yang lalu George Gilder dalam salah satu bukunya menunjukkan bahwa "ada jutaan laki-laki yang berada dalam kondisi keliru yang berpeluang terhadap homoseksualitas. Penyebab yang sering muncul adalah rendahnya penilaian diri. Kegagalan dalam cinta atau pekerjaan bisa juga membuat para lelaki putus asa sehingga mereka merasa tidak mampu membangun hubungan dengan wanita. .... Untuk mendapatkan seorang wanita, seorang pria harus benar-benar merasa bahwa dirinya adalah seorang pria." Jika seorang pria merasa tidak puas dengan dirinya atau tidak maskulin, dia mungkin mencari hubungan yang aman dimana dia tidak harus berlaku sebagai seorang pria atau membuktikan kejantanannya. Mungkin situasi yang hampir sama juga terjadi pada wanita. Konsep diri yang rendah juga menjadi peluang bagi seseorang untuk berperilaku homoseks.

Sumber
Halaman: 
291 - 293
Judul Artikel: 
Christian Counseling: a Comprehensive Guide
Penerbit: 
Word Publishing, USA, 1998