Mengambil Keputusan

Edisi C3I: e-Konsel 119 - Bagaimana Mengambil Keputusan yang Sesuai dengan Kehendak Allah

Bagi Anda yang sampai saat ini masih sering mengalami kesulitan dalam mengambil suatu keputusan, ringkasan tanya jawab bersama Pdt. Paul Gunadi Ph.D berikut ini kami harapkan dapat menolong Anda. Silakan menyimak!

T : Memutuskan sesuatu ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk
dilakukan, apalagi untuk keputusan-keputusan yang cukup berarti,
misalnya pindah pekerjaan, pindah rumah, menikah atau tidak.
Ini bagaimana, Pak?
J : Ada sebagian orang yang mengalami kesulitan dalam mengambil
keputusan, misalnya orang yang mudah cemas. Pada umumnya, mereka
takut mengambil keputusan karena takut salah, takut harus
membayar risiko yang tidak sanggup mereka bayar, jadi mereka
menunda-nunda mengambil keputusan atau bersembunyi di balik
orang lain, tidak berani menghadapi fakta kenyataan, dan ini
adalah gaya hidup yang tidak sehat.
T : Ada keputusan yang sebenarnya bisa diambil dengan cepat, tapi
karena dilanda kecemasan maka keputusannya jadi tertunda-tunda?
J : Ada banyak contoh. Misalkan, membeli rumah. Kita tahu untuk
membeli rumah diperlukan waktu untuk melihat beberapa rumah.
Untuk orang-orang yang mudah dilanda kecemasan sering bingung
dalam mengambil keputusan meskipun sudah melihat rumah, misalkan
sepuluh rumah. Dia tidak bisa puas, dan akan terus menerus
meminta melihat rumah itu berkali-kali.
Atau dalam hal memilih pasangan hidup (memang ini lebih berat),
sudah berjalan bersama-sama, sudah saling mengenal, dan sudah
melihat banyak kecocokan, tapi terus bingung, tidak bisa
mengambil keputusan apakah orang itu yang harus dinikahinya.
Inilah contoh orang-orang yang dalam kehidupan sehari-hari tidak
mudah untuk mengambil keputusan.
T : Apa yang harus dia lakukan?
J : Karena kita adalah anak-anak Tuhan, kita mesti berdoa sampai
kita berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Sungguh-sungguh berdoa
hingga kita dapat berkata, apa pun yang terjadi Tuhan yang
mengatur segalanya. Tahap pertama ini adalah tahap pergumulan,
dan kita menggumulinya dalam doa dengan Tuhan. Kalau kita bisa
sampai ke titik itu, baru kita melangkah ke tahap berikutnya
dalam pengambilan keputusan.
T : Berserah itu sesuatu yang aktif, harus ada yang dilakukan. Tapi
apa yang bisa dilakukan?
J : Justru setelah berserah dalam doalah seseorang baru melakukan
hal lainnya yang lebih konkret, yang lebih manusiawi. Dia harus
sampai ke titik penyerahan total, setelah itu baru berkonsultasi
dengan orang lain, meminta masukan-masukan orang, dan
sebagainya. Jangan lakukan kebalikannya, jangan berbicara dulu
dengan orang, bertanya kiri-kanan, baru berdoa. Tidak akan ada
damai sentosa. Kalau belum sampai tahap penyerahan kita sudah
kalang kabut, kita akan makin kacau, makin bingung. Tetapi kalau
kita bertanya atau berkonsultasi setelah kita berserah, semua
jawaban atau masukan yang kita terima itu akan kita bingkai
dalam satu bingkai, yaitu Tuhan mengatur, Tuhan berkuasa.
Berkonsultasi harus diletakkan sebagai langkah kedua, bukan
langkah pertama.
T : Peran konsultasi itu sendiri apa?
J : Membuat orang berpikir lebih jernih atau menolong melihat dari
perspektif yang berbeda. Kita mesti keluar dan melihat dari
sudut yang lain sehingga kita bisa memandang masalah.
Konsultasilah yang membuat orang bisa melihat dari kacamata yang
berbeda.
T : Misalnya, setelah konsultasi ada dua pilihan, ke kiri atau ke
kanan. Bagaimana memutuskan untuk langkah berikutnya?
J : Kita memang harus menyadari bahwa itulah sesungguhnya proses
pengambilan keputusan, yaitu proses menentukan pilihan dari
beberapa alternatif yang tersedia. Dengan kata lain, kita memang
mesti melihat apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan pada
setiap alternatif itu. Namun, kita mesti mengingat satu
kebenaran bahwa apa pun keputusannya, Tuhan tetap dapat bekerja
melaluinya. Jangan sampai kita menjadi takut untuk membuat
kesalahan. Sudah tentu kita harus berhati-hati, tapi sampai
titik tertentu kita tetap harus mengambil keputusan.
T : Untuk hal-hal yang tidak bersifat jangka panjang, mungkin masih
bisa lebih mudah untuk memutuskan. Tapi bagaimana kalau,
misalnya, berkaitan dengan pasangan hidup, sebuah komitmen untuk
seumur hidup?
J : Sering kali mengambil keputusan menjadi susah sekali karena kita
terobsesi mengambil keputusan yang terbaik. Masalahnya adalah
keputusan yang kita anggap terbaik atau yang paling ideal itu
tidak ada atau jarang sekali. Yang lebih realistik adalah waktu
kita menimbang-nimbang beberapa alternatif, pada akhirnya yang
kita temukan adalah alternatif ini sedikit lebih baik dari
alternatif yang lain. Ini situasi yang sering kali kita hadapi,
yang membuat kita bingung. Namun, kita mesti percaya bahwa Tuhan
bisa memakai, baik yang kiri maupun yang kanan. Selama kita
dalam koridor kebenaran, koridor jalan Tuhan bukan jalan dosa;
perbedaan-perbedaan seperti itu tidak terlalu kita pikirkan
sebab Tuhan bisa bekerja baik melalui pintu yang kiri maupun
melalui pintu yang kanan.
T : Mungkin ada yang lain?
J : Yang lain adalah gunakan kriteria prioritas terbatas. Maksudnya
adalah untuk saat ini lihatlah apakah yang lebih baik bagi kita.
Selain pernikahan, jarang sekali kita harus mengambil keputusan
untuk jangka waktu yang sangat panjang. Kebanyakan pilihan dalam
hidup ini terbatasi oleh waktu dan kondisi, tidak ada yang
selama-lamanya. Untuk pernikahan, kita tidak boleh menggunakan
kriteria ini sebab pernikahan adalah untuk seumur hidup.
T : Dalam mengambil keputusan, selain menggunakan akal sehat pikiran
kita, perasaan juga berperan di sana; dan kadang-kadang ini
tidak sinkron. Bagaimana ini?
J : Kadang-kadang ketika kita menghadapi sesuatu, sebetulnya ada dua
aparatus atau indra yang bekerja pada diri kita. Yang pertama
lebih bersifat rasional, bisa dilihat, bisa dipastikan dasar-
dasarnya, landasan dasar, atau bukti-buktinya. Tapi kadang-
kadang ada sesuatu yang tidak bisa kita pikirkan secara
rasional, ada reaksi yang lebih bersifat instingtif. Ada faktor
firasat, pertimbangkan firasat itu. Ada baiknya kalau firasat
itu begitu kuat, kita tunda dulu sampai beberapa waktu, sampai
kita melihat dengan lebih jelas alternatif tersebut. Setelah
kita lihat memang tidak ada apa-apa, kita berani melewati
firasat yang telah muncul itu.
T : Tapi kadang-kadang setelah kita mengambil keputusan masih timbul
kebimbangan dalam diri kita; betul atau tidak yang saya putuskan
tadi. Bagaimana ini?
J : Itu adalah sebuah reaksi yang wajar, justru seharusnya kita
merasakan kebimbangan itu. Jadi, jangan takut untuk bimbang
setelah mengambil keputusan. Kita bimbang sebab kita mau
memastikan sekali lagi bahwa kita telah mengambil keputusan yang
benar. Yang perlu kita lakukan adalah memberikan jeda sampai
keputusan itu kita serahkan kepada orang lain, atau kita jawab
kepada orang lain, atau kita tindak lanjuti. Jadi, di antara
keputusan dan tindak lanjut atau pelaksanaan, sebaiknya kita
berikan jeda sehingga kalau rasa bingung atau bimbang muncul,
kita masih bisa bergumul lagi apakah itu mengonfirmasi atau
justru mendiskonfirmasi apa yang telah kita putuskan. Misalkan,
kita bisa mengonfirmasi, kita akan lebih tenang lagi
melaksanakan keputusan tersebut.
T : Berkaitan dengan orang yang memang mempunyai perasaan bimbang,
kadang-kadang dia bisa terlalu cepat mengambil keputusan karena
khawatir kalau tidak diputuskan sekarang nanti diambil orang.
Ini bagaimana?
J : Kalau memang mempunyai kecenderungan seperti itu, dia bisa
berpikir dengan cepat pula. Kalau kemungkinan besar dia memang
benar, tentunya tidak apa-apa. Jadi, dia harus secara rasional
melihat berapa besar persentasi benarnya itu. Kalau, misalkan,
persentasinya itu hampir setengah-setengah lebih baik jangan
karena kemungkinan dia salah juga bisa setengah.
T : Adakah firman Tuhan yang membimbing kita dalam mengambil
keputusan?
J : Mazmur 103:13-14, "Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya,
demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.
Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini
debu." Kita adalah anak dan Allah adalah Bapa kita, dan Alkitab
mengatakan Tuhan sayang kepada kita, orang-orang yang takut akan
Dia. Ini ayat yang sangat-sangat memberikan kesejukan, Tuhan
sendiri tahu siapa kita, dia ingat kita ini debu. Artinya, Tuhan
tahu kita ini tak sempurna, jauh dari sempurna, sangat terbatas.
Bapa di surga tidak akan membiarkan kita salah dan tersesat,
yang penting kita takut akan Dia, mencari kehendak-Nya, berdoa
meminta pimpinan-Nya, setelah itu ambillah keputusan. Bapa di
surga akan terus mengiringi kita. Jangan sampai kita takut
seolah-olah nanti akan berantakan, hidup ini akan hancur; ada
Tuhan, yang penting kita gunakan hikmat, takut akan Dia.
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
TELAGA - Kaset T203B
Penerbit: 
http://www.telaga.org/transkrip.php?mengambil_keputusan.htm