Mengapa Optimis?

Edisi C3I: e-Konsel 171 - Optimis

Inginkah Saudara menjadi Presiden Amerika Serikat? Mungkin Saudara memimpikannya waktu masih kanak-kanak, tetapi jika Saudara melewati umur lima belas tahun, kemungkinan Saudara kurang terpikat lagi pada ide tersebut. Saudara mengetahui bahwa untuk memimpin negara yang membujur dengan aneka ragam keadaan ini dan menjaganya agar tidak terpecah belah, diperlukan bakat khusus.

Pada tahap awal pemilihan Presiden Amerika tahun 1976, salah seorang penulis tetap sebuah surat kabar mencatat bahwa kecuali satu orang, orang-orang lain yang bersedia mencalonkan diri menjadi presiden adalah orang-orang yang dibesarkan di kota-kota kecil sampai kota-kota ukuran menengah: Gerald Ford di Grand Rapids, Michigan; Ronald Reagen di Dixon, Illinois; akhirnya si pemenang, Jimmy Carter di Plains, Georgia; dan setengah lusin lainnya. Satu-satunya orang kota besar dalam pemilihan ini adalah Jerry Brown dari San Franscisco.

Kemudian penulis itu mengemukakan suatu penyebab: kehidupan di kota kecil memberi Saudara suatu perasaan bahwa Saudara dapat berubah. Masalah-masalah tidak membanjir secara total; jika Saudara mengatasinya sebagian demi sebagian dan tidak menyerah, Saudara akhirnya akan berhasil. Jadi, orang-orang ini membawa bersama mereka sikap "aku-bisa-menanggulanginya" sepanjang perjalanan mereka menuju kedudukan terkemuka di negara itu.

Pandangan demikian barangkali lebih sulit tertanam di daerah kota-kota besar -- tempat di mana orang-orang penakut memunyai banyak alasan untuk berpikir. Siapakah yang dapat sedikit saja mengurangi semua kekacauan ini?

Orang-orang Kristen -- entah dibesarkan di kota atau di desa -- memunyai dasar yang berbeda untuk dapat hidup dengan penuh pengharapan. Mereka bertekun untuk hidup atau untuk maju sebab mereka mendengar Allah berkata, "Aku bisa menanggulanginya." Dalam dunia yang negatif ini, orang-orang Kristen memegang teguh ide gila itu bahwa manusia bisa diubahkan. Pria, wanita, remaja, semua tidak harus tinggal tetap sama seumur hidup. Tidak perlu segala sesuatu berjalan sama seperti sebelumnya.

Sekarang jelas bahwa hal ini didasarkan pada kepercayaan kepada Allah yang terus bekerja. Dikisahkan mengenai Voltaire, seorang Perancis terkenal yang anti-Tuhan, yang pada tahun 1778 terbaring kesakitan hampir mati karena uremia (kadar urin dalam darah terlalu tinggi). Seorang Kristen datang menjenguknya dan berbicara tentang bagaimana filsuf itu masih bisa menerima pengampunan dan damai sejahtera berdasarkan apa yang Allah telah lakukan baginya di kayu salib, tak peduli apa yang telah terjadi sebelumnya dalam hidupnya.

Voltaire tegak di tempat tidurnya, mengumpulkan kekuatannya yang masih tersisa, lalu menjawab dengan marah, "Tuhan tidak melakukan apa-apa!"

Jika Saudara percaya pada Allah yang pada dasarnya duduk diam saja, maka Saudara hanya memunyai sedikit alasan untuk bersikap positif dalam menghadapi dunia ini. Kita dibiarkan berbuat sesuka hati kita untuk memeroleh perubahan dan perbaikan -- dan berapa banyak perubahan yang dapat kita harapkan? Sedikit sekali.

Saya telah berbicara dengan mereka yang menggunakan hidupnya untuk menolong para pecandu alkohol. "Bagaimana Anda memulai?" saya bertanya pada orang yang dahulu juga pemabuk; Allah telah membebaskan dia 19 tahun sebelumnya.

"Langkah pertama adalah memulihkan kepercayaan," katanya. "Semua hal lain harus menunggu sampai peminum yang menyusahkan itu dituntun untuk berpikir bahwa ia dapat berhasil kali ini. Saya menceritakan pengalaman saya kepada mereka; saya memberi mereka janji-janji Tuhan; saya memperkenalkan mereka kepada para bekas pecandu alkohol lain yang sudah berhasil sembuh -- semuanya dengan tujuan untuk membuat langkah penting pertama itu. Begitu terlihat ada harapan, berarti kami sedang menuju keberhasilan."

Alkitab menceritakan sebuah kisah menarik mengenai dua pemuda yang dengan pengharapan mereka pada Allah, terus bekerja, dapat tetap bersikap positif di tengah-tengah keadaan yang menakutkan. Dalam 1 Samuel 14, pasukan Israel berada dalam kondisi menyedihkan. Kereta perang orang Filistin lima kali lebih banyak dari jumlah pasukan Israel; kekuatan pasukan telah berkurang menjadi hanya enam ratus orang. Raja Saul sudah jelas kehilangan kendali; ia tidak bisa memutuskan apa yang harus ia perbuat. Pilihannya benar-benar terbatas, karena orang Filistin telah menangkap semua tukang besi orang Israel, yang berarti orang Israel tidak memiliki persenjataan baru lagi. Fakta yang sebenarnya adalah bahwa semua orang Israel sedang menantikan saat untuk mati.

Tetapi ada Yonatan, anak Saul.

Apakah dia bertahan dan mengerahkan pasukan Israel dengan pidato yang bersemangat dan penuh iman?

Tidak. Ia hanya bisa mengumpulkan sedikit pengharapan. Ia menoleh pada seorang yang lain, pemuda yang membawa senjatanya dan ia mengusulkan agar mereka pergi memeriksa pasukan pengawal orang Filistin. Mengapa?

"Mungkin Tuhan akan bertindak untuk kita, sebab bagi Tuhan tidak sukar untuk menolong, baik dengan banyak orang maupun dengan sedikit orang." (1 Samuel 14:6)

Perhatikan bahwa ia tidak berjanji apa-apa. Tidak meramalkan apa-apa. Ia hanya menyatakan fakta.

Kedua pemuda itu dengan hati-hati sekali memerlihatkan diri kepada musuh yang angkuh itu. "Naiklah kemari, maka kami akan menghajar kamu," teriak pengawal. Tetapi sebelum hari itu berlalu, keadaan malah berbalik. Yonatan dan bujang pembawa senjatanya telah membalikkan keadaan dan orang Israel memeroleh kemenangan yang menggemparkan.

Itulah yang bisa dilakukan oleh pengharapan. Orang yang berada dalam kesusahan sering berkata, "Saya tidak mau berharap." Ya! Berharaplah! Pengharapan itu bukan kebodohan. Pengharapan adalah bisikan lembut di dalam hati orang Kristen yang mengatakan, "Ya ..., itu bisa terjadi."

Seorang pembicara bernama Doug Wead, yang darinya saya telah banyak belajar tentang masalah ini, kadang-kadang menggoda para pendengarnya dengan berkata, "Tahukah Saudara ayat kesukaan saya dari seluruh Alkitab? Yohanes 3:16? Tidak. Mazmur 23? Tidak. Roma 12:1, 2? Tidak."

"Ayat kesukaan saya adalah Pengkhotbah 9:4." Orang-orang kelihatan ingin tahu dan mulai membuka halaman demi halaman di Perjanjian Lama. Sebelum banyak orang menemukannya, Wead mengutip ayat itu, "Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati!"

Ia selalu membuat tertawa, tetapi pendapatnya serius. Lebih banyak di antara kita yang sama dengan anjing daripada dengan singa. Kita tidak berharap untuk menjadi raja di hutan modern. Tetapi anjing pun bisa memiliki pengharapan.

Dan di mana ada pengharapan, di sana ada optimisme. Ada jaminan bahwa Allah belum kehabisan pilihan, demikian pula kita.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Sumber
Halaman: 
307 -- 310
Judul Buku: 
Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen
Pengarang: 
Dean Merrill
Penerbit: 
Penerbit Gandum Mas, Yayasan Kalam Hidup, dan YAKIN
Tahun: 
2002