Tidak Ada Keharusan Hidup dalam Dukacita: Rahmat Sukacita

"Inilah hari yang telah diadakan oleh Tuhan; marilah kita bersukacita dan bersorak di dalamnya" (Mzm 118: 24).

Kita diciptakan untuk berbahagia. Jika kita tidak berhasil mencapai kebahagiaan itu, eksistensi kita tidak berarti. Selain itu, Yesus Kristus hidup dan wafat di bumi ini untuk mengembalikan sukacita yang telah hilang. Yesus sendiri menyatakan hal itu kepada kita. Semua sabda Yesus kepada kita bertujuan agar kita mendapat bagian dalam sukacita-Nya. Gereja secara resmi mewartakan Yesus dengan mengajarkan bahwa tujuan akhir manusia adalah untuk memuliakan dan bersukacita di dalam Allah untuk selama-lamanya. C.S. Lewis mengatakan bahwa urusan utama di surga (dan ingin saya tambahkan, juga di dunia!) adalah untuk selalu bersukacita.

Jadi, berbicara tentang kegembiraan dan sukacita berarti berbicara tentang rahasia utama hidup manusia. Kita bukannya berbicara tentang denyut emosi dan kenikmatan fisik. Kita berbicara tentang kesadaran akan kelayakan diterima karena kasih karunia Tuhan.

Jika kebahagiaan menjadi tujuan, maka kebahagiaan itu pula yang kita inginkan. Kita semua merindukan kesenangan, biarpun hanya dalam takaran kecil. Tidak perlu terlalu berpura-pura, seolah-olah kita bersikap serius dan tidak memerlukan kesenangan. Kita mengakui terus terang bahwa yang membuat kita mampu bertahan adalah harapan bahwa suatu saat kita perlu bersukacita. Saya berani mengatakan bahwa orang yang seolah-olah hidup hanya untuk melayani adalah orang yang hidup dalam perbudakan. Tetapi mungkin juga orang tersebut licik.

Seorang penyair zaman dahulu mengajak kita melakukan apa yang telah ditentukan dan apa yang pada dasarnya ingin kita lakukan: "Inilah hari yang telah diadakan Tuhan; marilah kita bersukacita dan bersorak di dalamnya." Dengan tepat penyair ini menyuarakan keinginan dan kerinduan manusia.

Jadi, apakah masalah kita? Masalah kita adalah kekonyolan dalam mengusahakan apa yang telah ditentukan. Kierkegaard menyatakannya sebagai berikut: hampir semua manusia bekerja keras seumur hidup membangun tempat tinggal, tetapi setelah rumah selesai dibangun, mereka memilih mendiami kandang. Atau seperti yang diungkapkan oleh John Bunyan: kita mengurusi diri di dalam sangkar, menempatkan sangkar itu di tengah ruang yang sangat gelap, kemudian berkeluh kesah bahwa Tuhanlah yang telah menempatkan kita di tempat itu. Secara singkat dapat disimpulkan, kita menyempitkan arti dan tujuan sukacita hidup; sedangkan kebahagiaanlah yang harus mengisi hari- hari kita; untuk sukacitalah hidup ini diberikan kepada kita.

Oleh karena itu, cukup beralasan keluar dari gubuk derita. Artinya, melepaskan diri dari perasaan bersalah, perasaan takut, perasaan marah, perasaan kecewa. Keluar dari kekelabuan jiwa dan memasuki kecemerlangan hari ini, yaitu hari yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Baiklah kita bertanya sekaligus juga menjawab tiga pertanyaan tentang sukacita hidup, pertanyaan yang muncul ketika kita merasakan bahwa sukacita telah menjauhi kita. Apakah sukacita hidup itu? Dari manakah kita memperoleh hak akan sukacita hidup? Dan hal-hal apakah yang menghambat sukacita hidup?

  1. Apakah Sukacita Itu?

    Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah setiap dari kita mengingat- ingat waktu tertentu di dalam hidup kita di mana benar-benar berisikan sukacita. Masing-masing mengangkat kesempatan itu dan mengamatinya dengan teliti. Masing-masing mencoba mengenal kembali sukacita yang terkandung di dalamnya. Peristiwa sukacita saya adalah sebagai berikut: ketika itu, saya menyaksikan konser oleh Isaac Stern dan Philharmonic Los Angeles. Saat itu dimainkan salah satu konserto yang benar-benar membakar dan menggerakkan hati saya. Saya sungguh-sungguh tenggelam dan larut. Semua yang hadir pun merasakan hal yang sama. Perhatian kami lekat pada penyaji. Kami benar-benar menikmati sajiannya. Ketika selesai, kami semua bertepuk tangan dan memuji-muji permainannya. Ia merasa senang. Dan ia kembali lagi dengan permainan berikutnya. Kami berdiri menyambut permainannya itu. Kami semua hanyut. Saya tiba-tiba merasa lebih tertarik dan tenggelam dalam suasana bertepuk tangan daripada kesukaan saya akan konser itu sendiri.

    Dengan menerima sajian Stern, dan dengan memberikannya sambutan yang meriah, kami menghadirkan contoh makna hidup dalam Tuhan. Kami benar-benar menerima sajian yang hebat, yaitu pemberian seorang seniman genius dalam diri Stern. Sebaliknya, kami tergerak oleh rasa syukur karena sajian itu dan karena dorongan untuk memuji penyajiannya. Dan pastilah, surga pun dapat sangat menghibur kita, bahkan biarpun terdapat banyak doksologi yang terus-menerus dikumandangkan oleh ajaran manusia tentang surga.

    Kesemarakan hidup merupakan intermezo rasa syukur yang menyelingi rutinitas hidup. Sebagian besar kehidupan kita merupakan gerak dan perjuangan. Sebagian besar orang menggunakan hampir semua waktu yang dimiliki untuk berjuang, melata, meraba-raba dalam gelap, memanjat, bergegas dan tergopoh-gopoh, selalu bergerak tanpa henti-hentinya seperti jarum jam. Tetapi sesewaktu, keceriaan hidup datang menyelingi gerak itu, karena kita merasa telah menerima suatu rahmat besar. Hal ini amat terasa bila kita menyadari bahwa hidup kita adalah pemberian Tuhan. Sikap penasaran yang mendorong kita terus bergerak seakan-akan hidup hanya terdiri atas kekerasan, rasa sakit dan amarah, yang menjadikan kita kecil, polos, dan tidak berarti terasa berkurang. Terasa bahwa hidup hari ini, di sini, dan sekarang ini merupakan hadiah dan rahmat untuk memuliakan Tuhan. Bila hal ini menyelimuti diri kita, muncullah sukacita dalam hidup kita.

    Keceriaan hidup bukan hanya karena mengalami Tuhan. Tak dapat disangkal bahwa berada bersama Tuhan, menyaksikan keagungan-Nya merupakan kebahagiaan puncak. Tidak ada rahmat yang hanya bersifat duniawi. Tuhan demikian agung dan mulia sehingga tidak memerlukan pengagungan oleh manusia. Ada juga kegembiraan manusiawi, keceriaan dari luar maupun dari dalam diri sendiri, keceriaan yang muncul ketika sedang menari atau ketika sedang bertekuk lutut; ketika bermain atau ketika sedang berdoa. Setiap menyadari kebaikan hidup, kita diberi gambaran tentang tujuan akhir hidup kita.

  2. Kita Berhak Hidup dalam sukacita

    Sukacita hidup merupakan warisan sejak lahir. Roh yang memberi kita sukacita. Kita tidak perlu mencari-cari sukacita itu. Apakah kita meragukan hak-hak kita untuk hidup dalam sukacita? Dengarkan lagi, "Inilah hari yang telah diadakan Tuhan bagi kita." Inilah hari dimana Tuhan telah memberikan hak kepada kita untuk menerimanya dengan rasa syukur dan sukacita.

    Inilah hari itu. Baiklah diperhatikan arti sesungguhnya. Hari ini, adalah hari yang berbeda dari hari yang lain. Bukan hari kemarin. Bukan ingatan tentang suatu hari ketika anak-anak masih kecil dan tinggal bersama kita sehingga kita selalu gembira. Bukan ketika kekasih, suami atau istri menyenangkan kita. Bukan ketika kita dapat menampilkan diri dengan penuh kemenangan. Bukan hari esok yang kita bayangkan akan membawa nasib baik, hidup berkecukupan, atau karir yang memuaskan. Bukan hari yang kita khayalkan, tetapi hari ini! Hari yang nyata, yaitu sekarang dan di sini; betapapun pahit terasa, betapapun banyak masalah yang dihadapi, betapapun sulit keadaan kita. Inilah hari itu. Tuhanlah yang mengadakan hari ini. Tuhanlah yang meletakkan kita di dalam hari ini. Dan sukacita yang terdapat di dalamnya adalah hak kita.

    Baiklah kita meneliti lebih jauh untuk menyikapi hari ini dengan baik dan memahaminya dari sudut pandang ilahi. Pemazmur yang dikutip di bagian terdahulu melihat sesuatu yang lebih besar dan lebih mendalam, bukan hanya hari tertentu, hari Selasa atau hari Rabu seperti dalam penanggalan kita. Pemazmur memandang ke hari penebusan, hari Kebangkitan Tuhan, dan setiap kemungkinan yang lahir dari Penebusan dan Kebangkitan Tuhan. Hari ini, dengan demikian berarti hidup yang telah direbut melalui kematian dan kebangkitan- Nya, sehingga Ia meraja setiap hari. Yang dibicarakan adalah terbitnya fajar hari baru; hari yang dicipta baru yang membawa harapan baru. Harapan membawa sukacita. Dan sukacita memang adalah hak kita, karena Tuhan menciptakannya dengan membangkitkan Putra-Nya dari maut dan mentahtakan-Nya untuk merajai semua manusia.

    Dengan mengatakan bahwa Tuhan menjadikan hari ini, pemazmur berbicara tentang sesuatu yang tidak terikat kerangka waktu tertentu seperti waktu dalam rutinitas hidap sehari-hari. Pemazmur berbicara tentang diri setiap orang, tentang hidup hari ini yang telah diadakan oleh Tuhan dan diberikan kepada kita. Tunjuklah diri sendiri dan katakanlah: "Sayalah yang Tuhan ciptakan hari ini. Diri saya adalah berkat dan rahmat Tuhan bagi saya." Inilah arti yang paling mendasar dari "hari yang telah diciptakan Tuhan". Bila kita mengakui bahwa karunia khusus yang Tuhan berikan kepada kita adalah diri kita sendiri, maka pantaslah kita bersukacita.

    Tetapi muncul problema tentang sukacita manakah yang siap kita raih? Benar bahwa sukacita adalah hak kita. Tetapi, apakah sukacita itu tepat dan wajar bagi orang Kristen yang sensitif dan tegang di zaman ini? Apakah sesuai dan apakah mungkin orang Kristen yang kaya mengharapkan sukacita bagi banyak anak miskin yang menderita kelaparan? Baiklah mengharapkan sukacita, sementara kita terseret ke jurang kehancuran karena ancaman nuklir? Bukankah aneh menginginkan sukacita dalam dunia yang penuh penderitaan? Dapatkah sukacita kita, biarpun kecil, menjadi sukacita yang murni?

    Jikalau sukacita kita murni, sukacita kita mesti dapat sejalan dengan tragedi manusia. Hanya dengan cara inilah kita dapat menguji integritas sukacita kita: apakah sukacita kita sejalan dengan penderitaan manusia? Ataukah sebaliknya, sukacita kita merupakan kekeliruan yang melekat dalam masyarakat superfisial yang penuh bunga imitasi?

    Hanya hati yang pernah bersengsara yang berhak atas sukacita. Hanya orang yang dapat merasakan kepedihan sekian banyak anak yang menderita dan mati kelaparan yang berhak memuliakan dan bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang diterima. Kita pantas mensyukuri eksistensi kita, hanya jika kita dapat merasakan kesakitan orang- orang lain yang hidup dalam kesengsaraan dan ketidakadilan. Kita dapat membunyikan genderang dengan nyaring, kita dapat berpidato dengan gaya penuh kharisma, tetapi suara kita hanya merupakan pengelabuan diri sendiri, dan bualan, kecuali bila sukacita itu juga diwarnai pemahaman akan kesengsaraan banyak orang lain di muka bumi ini. Saya selalu merasa cemas tentang sukacita religius kita. Sering kali sukacita religius lebih menyerupai "La Dolce Vita", jiwa yang tertebus, yaitu kehidupan dalam kebahagiaan karena telah tertebus, yang terlepas dari sentuhan tragedi orang lain.

    Bila kita meragukan apakah sukacita merupakan hal wajar di dunia kita yang penuh tragedi, kita terpengaruh oleh mereka yang menderita. Saya merasakan adanya sukacita yang penuh misteri dalam diri Ibu Theresa, yang hidup mengabdikan diri untuk kepentingan orang-orang yang memerlukan kasih sayang dan pertolongan. Saya merasa adanya sukacita sempurna dalam diri Dom Helder Camara yang mengabdikan hidupnya untuk orang miskin dan sengsara di Amerika Selatan. Saya merasakan adanya sukacita yang mengental dalam diri Allan Boesak yang merasakan tekanan yang diderita oleh saudara- saudaranya kulit hitam di Afrika Selatan.

    Sukacita orang-orang itu mengingatkan kita bahwa tragedi bukan akhir. Bagaimanapun juga, dunia ini tetap merupakan dunia Tuhan. Matahari terbit di timur adalah matahari Tuhan, kelincahan simphoni Mozart "Yupiter" adalah kelincahan musik Tuhan. Sentuhan tangan yang penuh kasih adalah sentuhan Tuhan. Tangan yang terentang di kayu salib yang menawarkan awal yang baru bagi setiap kegagalan adalah tangan Tuhan sendiri. Kehidupan kita adalah kerinduan akan kebebasan dari mereka yang tertindas. Kita berhak bersukacita walau di tengah penderitaan dunia.

    Sukacita harus dapat berdampingan dengan penderitaan diri sendiri. Mengharapkan sukacita tanpa penderitaan merupakan kepura-puraan dan kebohongan. Sukacita yang sempurna mesti berdampingan dengan penderitaan. Keberdampingan itu bukan hal yang mustahil. Dalam penderitaan, sukacita akan lebih terasa. Mungkin, sukacita dalam hidup ini harus merupakan "harga dari sesuatu". Sukacita seseorang yang menderita kanker otak parah tak dapat dibandingkan dengan kepuasan melakukan tendangan yang menghasilkan gol.

    Semalam, sementara berusaha untuk dapat tidur, saya membayangkan dan mengingat-ingat saat-saat yang paling menyenangkan dalam hidup saya. Saya membiarkan pikiran saya menari-nari dengan bebas dari satu waktu ke waktu lain. Terasa seakan-akan saya terjun dari atap. Saya membayangkan terjatuh ke atas jerami yang baru ditumpuk. Saat itu saya rasakan sebagai saat yang paling menyenangkan. Tetapi sementara itu saya juga teringat akan suatu saat beberapa tahun lampau, yaitu saat yang paling menyakitkan dalam hidup saya. Anak kami yang pertama yang baru lahir direnggut dari kami oleh satu kekuatan ilahi. Saya merasa diri diperlakukan sewenang-wenang oleh seorang pelaku "duniawi". Waktu itu saya merasa tak akan dapat lagi tersenyum.

    Tetapi setelah itu, tanpa mengingat bagaimana kejadiannya, dengan berubahnya perspektif pandangan saya, terasa ada suatu perasaan aneh merayapi diri saya. Perasaan itu sulit saya gambarkan. Saya merasa hidup saya masih tetap memiliki kecemerlangan, masih tetap baik, karena hidup diberikan dan bahwa masih tetap terbuka kemungkinan yang sangat luas. Jauh dari rasa ditinggalkan, rasa sakit itu menimbulkan rasa syukur karena diberi karunia Tuhan. Perasaan ini sukar dijelaskan. Perasaan ini hanya dapat diterima sebagai berkat, kasih karunia Tuhan. Karena merasa dilindungi dan dikasihani, muncul dorongan dalam hati untuk bersyukur kepada Tuhan, untuk semua kebaikan dan kemanisan yang dikaruniakan kepada saya. Dan terasa sebagai sukacita besar, meskipun di samping itu saya juga merasakan penderitaan. Dengan melihat kembali semua yang telah saya alami, tak dapat lagi saya temukan rasa syukur dan sukacita atau kesetiaan yang lebih tajam, atau kesedihan yang paling dalam dan rasa terselamatkan yang paling mendalam.

    Oleh karena itu kita harus menyadari bahwa sukacita tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan; bahwa kita senang karena suatu keberhasilan, tetapi lebih dari itu kita hidup untuk bersukacita. Oleh karena itu sukacita tetap merupakan hal yang dapat kita nikmati, biarpun kesenangan hancur seperti patung abu. Bila kita dapat memiliki kesenangan dan sukacita sekaligus, peliharalah keduanya dengan baik. Tetapi, dalam zaman kita, sukacita hidup seatap dengan penderitaan. Jika dirasakan dengan seksama, sukacita adalah perasaan bahwa pada dasarnya keadaan kita masih tetap baik, masih memberikan harapan meskipun kita memiliki banyak kesalahan dan kekurangan.

  3. Hal-hal yang Menghambat Sukacita

    Apakah sukacita memang dicapai dalam kehidupan yang keras dewasa ini? Adakah yang dapat dilakukan untuk mencapai sukacita itu? Dapatkah kita mempersiapkan diri untuk menerima sukacita itu? Ataukah sukacita itu merupakan karunia kejutan? Mungkin kita tidak dapat menciptakan sukacita. Tetapi sekurang-kurangnya kita dapat menentukan sikap untuk siap menanti datangnya sukacita itu. Kita dapat mendekatkan diri kepada sukacita, tetapi dapat juga sebaliknya, kita menjauhinya. Setiap waktu kita dapat terperangkap dalam arus kehidupan yang tidak pernah berhenti. Kita dapat tetap sibuk, sehingga menghancurkan sukacita hari-hari kita. Kita mungkin memandang hidup sebagai suatu yang sakral sehingga kehilangan kesempatan dan keinginan untuk meraih sukacita.

    Setiap orang dengan caranya sendiri menghancurkan sukacita. Selain itu, kita dapat juga menghancurkan sukacita orang lain. Misalnya, kita menghilangkan sukacita orang lain setiap kali kita menolak pemberian mereka, apa pun yang mereka berikan kepada kita. Kita dapat merusak sukacita orang dengan merintangi mereka menerima pemberian dari orang lain, sehingga mereka tidak berkesempatan untuk berterima kasih kepada orang lain itu. Kita merusak sukacita orang lain bila kita membuat mereka merasa pemberian mereka tidak cukup pantas sebagai pemberian.

    Saya ingin menggambarkan hal ini dengan sebuah pengalaman pribadi. Pengalaman saya ini menyangkut saudari tertua saya. Ia memberikan kepada saya sebuah hadiah. Dalam keluarga kami hanya dialah yang dikaruniai keterampilan tangan yang baik. Ia mahir merajut pakaian yang bagus. Saya berkunjung kepadanya di Michigan beberapa waktu lalu. Dan ketika itu saya melihat dan kagum pada jaket indah yang dikenakan anaknya. Ketika saya menyatakan kekaguman dan kesukaan saya akan jaket itu, ia mengatakan, "Ibu merajutnya sendiri." "Hebat," kata saya. Saudari saya bertanya, "Maukah saya rajutkan untukmu seperti itu?" "Apakah bisa?" tanya saya. "Mudah, tak ada masalah," kata saudari saya. Maka ia mengambil ukuran badan saya dan mengatakan rajutnya sudah akan selesai di saat saya datang lagi ke Michigan. Ia meminta kepada saya untuk mengirimkan sejumlah benang wol yang sesuai dengan selera saya. Maka saya pun melakukan seperti yang dikatakannya, meskipun saya agak ragu apakah kelak cocok dengan badan saya.

    Beberapa bulan kemudian saya ke Michigan untuk suatu keperluan. Tanpa sebab-sebab yang jelas, saya selalu berpikir tentang jaket yang dirajut saudari saya dan cemas jika kelak ternyata jaket itu kebesaran atau kekecilan karena tentu akan sangat mengecewakan saudari saya. Ketika sedang duduk di rumah ibu, saudari saya datang. Ia keluar dari mobil sambil menenteng jaket yang indah di tangannya. Ia masuk, bertukar sapa selamat datang dan bercakap-cakap sebentar. Tetapi hati saya tak tenang karena selalu memikirkan jaket itu.

    Saya pun mencoba mengenakan jaket itu. Saya berputar-putar di depan cermin meneliti badan saya yang telah terbungkus jaket dari segala arah. Dan saya tahu, jaket rajutan saudari saya sangat tepat dan pas melekat di badan saya. Syukurlah, jaket itu pas. Syukur, saudari saya tak perlu kecewa. Mata saudari saya bersinar-sinar senang. Ia telah dengan baik menyelesaikannya dan menghadiahkannya kepada saya. Saya ingin sekali menggandengnya dan menari-nari berputar-putar di ruangan itu. Akan tetapi, saat itulah terjadi bagian yang paling menyedihkan dari keseluruhan cerita ini. Ibu saya berkata dari kursinya, "Tapi, warnanya kurang bagus!"

    Ada sesuatu dalam diri ibu yang menghancurkan sukacita yang muncul. Jikalau ibu dapat menghancurkan sukacita orang yang paling dicintainya, tentu saya pun mungkin melakukannya. Cobalah mencari suatu alasan yang nyata mengapa seseorang yang kita kenal tidak mau turut bergembira dengan memberikan atau menerima sesuatu dengan senang hati. Gunakanlah alasan itu, dan ubahlah suasana memberikan dan menerima itu, maka sukacita yang terkandung di dalamnya pasti akan hancur. Dan bila sukacita itu telah rusak, kita merusak pemberian atau rahmat hidup yang paling berharga.

    Kini baiklah kita berbicara tentang pengrusakan sukacita kita sendiri. Setiap orang mempunyai cara sendiri untuk merusak sukacita. Meskipun kurang tepat, tetapi, marilah kita melihat tiga cara yang paling merusak sukacita dalam diri kita.

Damba dan Kebajikan

Orang menduga bahwa untuk dapat bersukacita mereka harus berusaha supaya pantas disebut baik dengan melakukan kebajikan. Mereka membutuhkan rasa yakin bahwa diri mereka memang baik. Tetapi kebajikan bukanlah jalan menuju sukacita. Kebanyakan orang secara kurang sadar berpendapat bahwa keunggulan perilaku dalam berbuat kebajikan itu sendirilah yang menjadi tujuan. Saya sendiri pun berpendapat demikian. Karena itu saya berani mengatakan bahwa keinginan demikian bukanlah jaminan. Keunggulan berbuat baik untuk meraih sukacita hanya merupakan ilusi, dan selalu berada di luar jangkauan manusia. Dan bila kita terus berusaha untuk mencapainya, kita hanya akan jatuh frustrasi.

Karena itu, yang ingin dicapai dengan keunggulan berbuat baik, pada dasarnya bukanlah kebaikan itu sendiri. Tetapi reputasi. Dan karena tidak pernah yakin akan reputasi sendiri, kita selalu merasa cemas bahwa orang lain akan melihat dan menemukan kelemahan serta kekurangan kita. Mengejar keunggulan dalam berbuat baik merupakan sumber kebohongan. Terlebih lagi, kita dapat menjadi seperti orang tolol sehingga percaya akan keunggulan dan kebaikan kita, dan karena terpengaruh ilusi, kita merebut kebaikan bagi diri sendiri dan tidak pedulikan orang lain.

Perburuan akan kebaikan merupakan pengingkaran terhadap sukacita, yaitu rahmat yang terdapat di dalam diri kita. Pengingkaran seperti ini merupakan pemusnahan sukacita yang amat berbahaya.

Mengandalkan Diri

Kita memelihara ilusi bahwa kitalah yang harus diandalkan mengatasi seluruh keburukan dan kesalahan yang terdapat di bumi ini. Dengan pongah kita berpikir bahwa Tuhan mengharap kita menanggung beban berat yang hanya tertanggung oleh Yesus. Pandangan ini dapat menjadi perangkap bagi orang yang ingin menonjolkan bahwa dirinya adalah orang yang bermoral. Sikap ini mendorong kita merasa bertanggung jawab penuh terhadap setiap orang yang hidup dalam tekanan, terhadap setiap anak yang kelaparan, dan terhadap setiap orang yang menjadi korban perbuatan sara. Sebagai orangtua, kita bersikeras bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang diperbuat anak-anak kita yang sedang bertumbuh; menerima salah karena kegagalan anak-anak dan berbesar hati serta bangga akan keberhasilan anak-anak kita. Semakin kita sensitif akan penderitaan orang lain dan tanggungjawab sendiri, semakin rapuhlah diri kita, serta menjadi korban dari rasa mengandalkan diri secara total. Kita mungkin semakin melupakan bahwa hanya Tuhan yang Mahasempurna dan tidak terbatas, sedangkan manusia selalu terbatas.

Ada cerita yang menarik tentang Paus Yohanes XXIII. Seorang Kardinal mendesak Paus agar mengambil keputusan untuk mengatasi berbagai tragedi di dunia. Paus mengatakan bahwa beliau sendiri pun ingin bertanggung jawab sepenuhnya atas dunia. Paus mengatakan, bahwa untunglah ia dibantu oleh seorang malaikat yang pada malam hari memberitahukannya: "Jangan terlalu serius." Secara jujur, saya harus mengakui bahwa saya pun sering kali memerlukan malaikat jenius seperti yang dikatakan oleh Paus.

Problema Katastropis

Cara ketiga yang merusak sukacita adalah membesar-besarkan masalah, sehingga tampak teramat besar. Setiap menghadapi problem, hilanglah kesantaian. Setiap problem menjadi bencana. Ada sesuatu di dalam diri kita yang melipatgandakan persoalan kecil yang dihadapi sehingga tampak sebagai persoalan raksasa. Ini benar-benar menghilangkan sukacita. Kesalahan kecil dalam menghitung uang tampak seakan-akan kebangkrutan. Seorang anak kedapatan merokok, dan kita mengatakan bahwa anak-anak telah terjerumus ke kehancuran. Pertengkaran kecil dengan istri atau suami dianggap sebagai alasan untuk bercerai. Bila ketiga perusak sukacita telah muncul, kita pun kehilangan keseimbangan. Diri kita rusak karenanya.

Ada orang terlampau diliputi kecemasan. Setiap ada rasa sakit di dada, dibayangkan sebagai serangan jantung. Kecemasan yang berlebih- lebihan ini mengikis dan menghilangkan sukacita dan menanamkan kepanikan.

Ketika masih kecil, anak sulung saya cenderung mencemaskan segala hal. Suatu hari, pipinya terluka dan berdarah. Darah menetes ke lantai. Ia panik dan mengaduh, "Mati aku! Bagaimana ini, bagaimana ini, mati aku!" Kemudian, setelah beberapa saat ia pun agak tenang terbiasa dengan keadaan berdarah itu. Pikiran normal kembali jalan. Mungkin ia sadar bahwa bila masih mempunyai rasa takut, berarti ia masih hidup. Tetapi rasa cemas yang berlebihan pada dasarnya terdapat pada hampir setiap orang; dan kalau ini terjadi, rasa cemas ini melenyapkan sukacita.

Sementara orang merupakan perusak spiritual. Kita bukan saja melakukan kesalahan, bukan saja tidak merasa puas bila harus mengakui telah merusak kehidupan spiritual kita. Tetapi ketika terjatuh ke dalam dosa, kita merasa terjatuh ke tanah tandus. Kita terhadang kegagalan, dan langsung merasa layak digantungi batu dan diceburkan ke dalam laut. Ketika terbentur pada kenyataan yang tidak menguntungkan ini, saya teringat perkataan King James: "Wahai kamu pengecut, benarlah tiada kekuatan spiritual di dalam dirimu. Orang yang tidak berguna, dan pengecut seperti kamu tak ada guna dan tak dapat diharapkan!" Tetapi setelah itu terbayang Tuhan mendatangi dan menghibur, "Lihatlah sobat, sikapmu itu merugikan, mengertikah kamu? Coba, marilah kita mengatasinya bersama-sama." Perusak sukacita menganggap setiap kesalahan spiritual sebagai keburukan yang final. Setiap problema sebagai kehancuran yang tidak dapat diperbaiki lagi. Tuhan mengubah malapetaka dan kehancuran serta menjadikannya masalah biasa yang dapat kita atasi.

Oleh sebab itu, jauhilah ketiga perusak sukacita itu. Memperparah kehancuran berarti menuju kepada kekacauan yang semakin meningkat, dan mengingkari karya Tuhan di dalam hidup kita. Roh Allah memanggil kita agar percaya bahwa malapetaka dapat diubah dengan bantuan Tuhan menjadi masalah biasa. Oleh sebab itu, tidak perlu merasa sebagai orang tidak berguna hanya karena kita menghadapi hidup yang keras dan pahit.

Pada hemat saya, kita tidak berhak menuntut sukacita. Sukacita senantiasa merupakan rahmat; sukacita bersumber dan datang dari Roh Kudus. Kita dapat mengenal beberapa perusak sukacita dan memohon Tuhan untuk mengalahkannya.

Mungkin kesalahan kita yang terbesar adalah bahwa kita hanya berbicara tetapi tidak membuka peluang bagi sukacita. Dostoevski menyinggung hal ini dalam karangannya mengenai "Impian seorang Konyol". Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut: suatu waktu, seorang yang agak tolol dan lugu memutuskan untuk membalas dendam kepada semua orang di sekitarnya dengan bunuh diri. Ia berpikir, dengan cara itu ia dapat menciptakan kedudukan seimbang. Ia menentukan suatu malam untuk menjalankan niat itu. Ketika malam yang ditentukan tiba, ia pun mengisikan peluru ke pistol. Ia duduk bertopang dagu di meja dapur dengan sedih, dan mempersiapkan diri untuk saat yang "menentukan". Tetapi ia jatuh tertidur. Pistol masih dalam genggamannya. Ia tidur amat pulas. Dalam tidur ia bermimpi.

Ia merasa seolah-olah berada di suatu dunia yang mirip dunia kita. Tetapi orang-orang di sana selalu bergembira tanpa kecuali: semua orang bergembira. Pemimpi itu memperhatikan penduduk dunia itu dan ia merasa sangat kagum. Bagaimana mungkin mereka semua demikian bergembira dan bersukacita? Ia bertanya kepada seseorang tentang rahasia kegembiraan mereka. Orang itu menjawab, "Apa? Sukacita? Apakah itu? Kami tidak mengetahui apa arti sukacita itu!" Ia kemudian bertanya lagi kepada seorang wanita, yang kemudian menjawab, "Saya harus menjawab apa? Saya tidak mengerti apa yang kaubicarakan!" Ia kemudian mendatangi sekelompok anak dan mengajukan pertanyaan yang sama pula, "Mengapa kamu semua selalu merasa gembira?" Anak-anak itu hanya terseyum dan mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak mengerti kata-katanya yang aneh itu.

Maka ia pun mengerti bahwa mungkin orang yang bersukacita tidak perlu mengetahui dan tidak perlu mengerti tentang sukacita itu sendiri; mereka bersukacita, dan itu telah cukup. Akan tetapi terjadilah hal yang menakutkan. Ia mendorong dan mendesak dengan pertanyaan yang sama tanpa henti-hentinya, sehingga pada akhirnya orang-orang di situ pun mulai berpikir tentang hal "sukacita" itu. Mereka mulai berbicara dan mendiskusikannya hingga larut malam. Mereka membayar ahli untuk mengupas dan memberikan seminar tentang sukacita. Mereka mulai kerasukan pemikiran tentang sukacita. Mereka menulis syair tentang sukacita. Pemimpi itu mulai memperhatikan bahwa sementara mereka berbicara tentang sukacita, hilanglah sukacita dari lingkungan hidup mereka. Dan, dirinyalah yang menghilangkan sukacita itu!

Maka pemimpi itu, karena melihat dampak besar yang telah ditimbulkannya, mulai berkhotbah kepada orang-orang itu, bahwa mereka telah melakukan kesalahan, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam malapetaka. "Jangan berbicara tentang sukacita; cukuplah bila Anda kalian telah bersukacita. Tidak perlu menulis tentang sukacita. Yang terpenting bukanlah bagaimana pendapat kita tentang sukacita itu. Sukacita telah tersedia di depan kita, kita hanya perlu meraihnya."

Dan orang-orang itu yang memiliki pikiran yang lugu, dan dikuasai sukacita mengatakan kepadanya, "Anda konyol. Impian-impian Anda pun semuanya konyol." Mereka segera tenggelam dalam perdebatan tentang sukacita. Mereka menukar sukacita dengan pembicaraan mengenai sukacita itu.

Pada waktu-waktu tertentu, seseorang lain datang kepada kita dan memberitahukan banyak hal. Dialah Yesus. Menjelang meninggalkan dunia ini Yesus bersabda, "Semua itu Kukatakan kepadamu supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh" (Yoh 15:11). Dan kini, Roh Kudus telah datang kepada kita dan memberi kita kekuatan untuk percaya bahwa sukacita adalah hak kita: Tuhan menjadikan hari ini bagi kita. Bila kita memiliki kekuatan untuk menerima hari-hari kita sebagai rahmat Tuhan, itu berarti kita memasuki sukacita dan menemukan bahwa keadaan kita tetap terjamin, meskipun kita berbuat banyak kesalahan dan memiliki banyak kekurangan serta kelemahan.

Diambil dari:

Sumber
Halaman: 
23 -- 37
Judul Artikel: 
Tidak Ada Keharusan Hidup dalam Dukacita: Rahmat Sukacita
Judul Buku: 
12 Karunia Tuhan
Pengarang: 
Lewis B. Smedes
Penerbit: 
Kanisius
Kota: 
Yogjakarta
Tahun: 
1995