Mitos Tentang Pernikahan

Edisi C3I: e-Konsel 192 - Khayalan dalam Pernikahan

Sayangnya, masalah yang ditimbulkan mitos adalah mitos-mitos itu jadi melekat erat dalam benak orang banyak dan, untuk semua maksud dan tujuan, dianggap sebagai kebenaran. Ini berbahaya ketika menyangkut masalah penting seperti pernikahan.

Statistik sekarang ini menunjukkan bahwa kira-kira setengah dari seluruh pernikahan berakhir dengan perceraian. Tak seorang pun berjalan di lorong antara bangku gereja sambil berpikir bahwa hubungan mereka akan gagal, tetapi banyak orang yang memang memiliki gagasan-gagasan dengan pemahaman yang keliru tentang apa artinya bagi dua orang untuk bersama.

Mari kita menggali tiga mitos umum tentang pernikahan.

Mitos 1: Pernikahan tidak harus untuk selamanya.

Hari-hari ini, pernikahan ganda sangatlah umum. Kalau tidak berhasil, pikir orang-orang, keluar saja, tidak apa-apa lagi pula, ini hanya secarik kertas. Sebaliknya, beberapa orang yang tidak ingin menjalani pernikahan demi pernikahan akhirnya memilih untuk hidup bersama, menghindarkan diri dari menandatangani segala sesuatu yang sah atau dari menikah di hadapan Tuhan.

Pernikahan

Kedua pandangan tersebut pada dasarnya salah karena mengizinkan pasangan untuk datang dan pergi sesuka hati ketika mereka mulai merasa tidak puas dengan suatu hubungan. Tuhan merencanakan pernikahan sebagai lembaga yang permanen.

"Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." (Kej. 2:23-24)

Adam dan Hawa mungkin tidak menandatangani dokumen apa pun, tetapi mereka menikah dan diberkati di hadapan Tuhan. Pernikahan mereka adalah suatu anugerah. Ikatan semacam ini tidak dapat dan tidak boleh dianggap enteng. Beberapa pasangan mengemukakan "perbedaan yang tidak dapat didamaikan" sebagai alasan untuk meninggalkan pernikahan. Dengan kata lain, mereka merasa tidak dapat bersama-sama lagi. Tetapi kita harus mengerti bahwa tidak ada dua orang yang akan menjadi pasangan yang sempurna.

Jadi, apa yang berperan serta dalam pembentukan sikap menganggap remeh pernikahan ini? Salah satu alasan utamanya adalah banyak pasangan yang tidak menempatkan Tuhan sebagai kepala rumah tangga mereka. Agar suatu pernikahan dapat berhasil, Tuhan harus ada di dalamnya. Dia mengajarkan bagaimana mengasihi, menjaga, dan bekerja bersama-sama sebagai satu kesatuan. Dia memberi kita hikmat rohani untuk membuat keputusan yang tepat dan memenuhi kita sehingga dapat menghasilkan buah-buah Roh Kudus.

Kita semua dapat mengingat suatu masa ketika kita membutuhkan kesabaran, kelembutan, atau pengendalian diri ekstra. Kasih yang tidak mementingkan diri sendiri dan penuh penyerahan diri semacam ini hanya dapat datang dari Kristus sendiri. Sebelum kita melepaskan suatu hubungan, kita harus berlutut dan berdoa kepada Tuhan kita untuk memohon kekuatan dan bimbingan. Ketika kita dapat menyerah pada Roh Kudus dan membiarkan Dia memimpin kita, kita akan melihat permasalahan dengan sudut pandang yang baru.

Efesus 5:21 menyatakan, "Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus." Ketika kita menghadapi masalah yang tampaknya sangat pelik, kita harus ingat untuk merendahkan diri dan saling mengasihi dengan lebih dalam lagi karena rasa kasih dan hormat kita kepada Tuhan. Tentu saja, merendahkan diri itu tidak mudah karena biasanya hal itu berarti kita harus melepaskan sesuatu yang kita yakini kebenarannya. Tetapi apa untungnya bersikukuh dan bersikap keras kepala kalau pernikahan menjadi retak?

Sebagian dari keindahan pernikahan adalah mampu bertahan dalam badai. Ketika kita dapat bertahan dalam badai, kita akan mendapati hubungan kita lebih kuat dan lebih baik lagi daripada sebelumnya.

Mitos 2: Pernikahan seharusnya mudah.

Faktor lain yang menyebabkan angka perceraian yang tinggi adalah banyak orang yang masuk ke dalam suatu pernikahan dengan harapan yang tidak realistis.

Ketika 2 orang berpikir untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama-sama, mereka mungkin berkhayal tentang menyiapkan makanan bersama-sama atau berjalan-jalan menyusuri pantai. Tetapi segera setelah bulan madu berakhir, mereka menemukan bahwa pernikahan bukanlah hanya tentang berbagi tempat tidur atau uang sewa. Ada keuangan yang harus diseimbangkan, anak-anak yang harus dibesarkan, dan pertengkaran yang terus-menerus timbul. Ditambah lagi, apa yang dahulu merupakan masalah yang tidak penting sekarang menjadi perkara yang sangat besar. Ada pertengkaran mengenai tempat duduk toilet atau rambut di lantai kamar mandi.

Tiba-tiba, mengusahakan agar pernikahan berjalan lancar tidaklah sesederhana yang mula-mula dibayangkan oleh pasangan itu. Karena banyak pasangan yang tidak siap untuk mengurus "masalah" mereka, sering kali salah satu atau kedua-duanya memilih untuk mengabaikan saja hubungan mereka. Kenyataannya adalah pernikahan membutuhkan banyak usaha dan setiap pasangan pasti menghadapi masalah.

Apakah ini berarti kita tidak boleh menikah sebelum menerima gelar tertentu dalam bidang pernikahan dan sudah dipersiapkan untuk menghadapi masalah apa pun yang mungkin muncul? Tentu saja tidak -- ini tidak mungkin dan juga tidak praktis. Tidak ada cara bagi kita untuk dapat mengantisipasi segala hal yang mungkin tidak berjalan dengan baik dalam suatu pernikahan. Sebaliknya, jawabannya terletak pada bersedia atau tidaknya serta siap atau tidaknya 2 orang dalam membuat komitmen seumur hidup untuk tinggal bersama, tak peduli ada hal-hal yang mungkin tidak diketahui.

Tentu saja, tidak akan menyakitkan kalau kita sebelumnya sudah membicarakan masalah-masalah yang penting. Dahulu waktu saya kencan dengan suami saya, kami menghabiskan beberapa acara-keluar-bersama pertama kami untuk membicarakan hal-hal yang penting bagi kami. Karena kami masing-masing pernah terlibat dalam hubungan yang gagal sebelumnya, kami berdua sadar bahwa ada beberapa perkara yang sangat berharga bagi kami dan kami ingin membuat persoalan tersebut jelas sebelum terlalu jauh terlibat secara emosional. Kami bukannya datang ke meja perundingan dan mencoret daftar perkara, melainkan, melalui diskusi biasa, kami membahas kebutuhan-kebutuhan dan rencana masa depan kami.

Walaupun masih ada hal-hal yang tidak kami sepakati, kami telah belajar bahwa komunikasi benar-benar adalah kunci untuk membuat hubungan langgeng. Dengan berbicara tentang apa saja, kami jadi merasa "nyambung" dan memiliki kedekatan yang tidak dapat dirasakan dengan orang lain. Hal ini juga membuat masalah-masalah jadi sedikit lebih teratasi. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya komunikasi biasanya menyebabkan gangguan dalam keakraban fisik dan emosi, padahal kedua-duanya sangat penting bagi suatu pernikahan yang sedang bertumbuh.

Tidaklah mudah membuat komitmen seumur hidup terhadap orang lain, tetapi hal itu tidak perlu membuat kita kewalahan asalkan kita memiliki harapan yang sehat dan realistis. Pernikahan adalah proses belajar dan membutuhkan usaha. Tidak ada orang yang dilahirkan dengan keahlian dalam bidang pernikahan atau tiba-tiba siap untuk menikah begitu berada pada usia emas.

Agar pernikahan dapat langgeng, kita perlu tetap bertahan untuk menuai hasilnya.

Mitos 3: Tidak apa-apa menganggap pasangan kita memang sudah seharusnya begitu.

Kapan terakhir kali kita mengucapkan terima kasih kepada pasangan kita atas makan malam yang terhidang di meja atau mengutarakan penghargaan karena dia tinggal di rumah menemani anak-anak ketika kita memiliki kepentingan pribadi?

Ada orang yang mengatakan bahwa hal semacam ini adalah untuk pasangan yang baru menikah; kita tidak perlu bersikap seperti pasangan muda setelah kita tinggal bersama begitu lama. Memang benar kita harus dapat merasa sepenuhnya tenteram bersama pasangan kita. Lagi pula, mereka melihat kita pada pagi hari sebelum kita menggosok gigi dan memaklumi kita ketika kita sakit.

Tetapi apakah hal-hal yang pada awal hubungan terasa penting, sekarang harus berangsur-angsur dikesampingkan? Kadang kala, sikap sembarangan terhadap pasangan dapat menggagalkan pernikahan. Setelah hidup bersama selama bertahun-tahun, kita menganggap bahwa pasangan kita mengenal diri kita dengan baik dan hal-hal tertentu tidak perlu diucapkan. Tetapi ketika masalah muncul, kita mengemukakan banyak tuduhan. Kita berharap pasangan kita lebih banyak membantu urusan rumah tangga. Kita mengeluh bahwa pasangan kita tidak cukup berkomunikasi. Kita merasakan kurangnya keakraban emosi.

Agar suatu hubungan dapat bertumbuh, penting untuk menunjukkan rasa menghargai. Mengutarakan penghargaan juga adalah cara yang baik untuk menjaga hubungan antara 2 orang.

"Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada TUHAN, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya Yang Mahatinggi, untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi, dan kesetiaan-Mu di waktu malam." (Mzm. 92:2-3)

Seperti halnya kita menaikkan pujian syukur kepada Tuhan setiap hari, kita akan mendapati bahwa tingkah laku kita juga akan lebih gembira dan lebih mengasihi ketika kita melihat pasangan kita dengan "penuh syukur" dan "pandangan yang menghargai".

Baru-baru ini, suami saya terbangun pada suatu pagi dan tidak dapat tidur lagi. Sebagai orang yang gampang terbangun, saya tahu dia guling kiri guling kanan dan membolak-balikkan badan, jadi saya menanyakan apakah ada masalah yang dia pikirkan. Dia memandang saya dan berbisik, "Aku mencintaimu. Aku tahu kau bekerja keras di rumah."

Walaupun suatu pernikahan tidak dapat bertahan hanya dengan mengandalkan kata-kata ini, kata-kata ini tentu saja membuat hari jadi lebih indah. Kata-kata manis ini agaknya berhubungan erat dengan kenyataan bahwa pada malam sebelumnya saya berkeluh kesah tentang sakit punggung yang luar biasa. Tetapi kata-kata ini keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, dan untuk itu saya sangat bersyukur.

Kadang kala, tugas-tugas sehari-hari kita menyebabkan kita tersesat dalam kehidupan yang membosankan dan kita benar-benar tidak berhenti sejenak untuk memikirkan apa yang telah disumbangkan pasangan kita pada hubungan kita. Kelihatannya biasa saja dan sesuai dengan harapan kalau salah satu membuat sarapan dan yang lain membawa anak-anak ke sekolah.

Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Pikirkanlah tiga hal yang akan paling kita rindukan jika pasangan kita pergi selama sebulan. Kapankah terakhir kalinya kita memberitahu dia bahwa kita menghargai hal-hal ini? Mungkin mengatakan atau melakukan sesuatu untuk menunjukkan rasa cinta dan terima kasih kita itu kelihatannya sepele, tetapi janganlah membuat pasangan kita menebak dengan cara apa kita merasa bersyukur menjadi milik mereka.

Banyak orang meratapi kenyataan bahwa api cinta telah hilang dari pernikahan mereka dan menggunakan hal itu sebagai alasan untuk berselingkuh. Mereka menyatakan bahwa mereka merasakan hubungan yang lebih erat secara fisik, intelektual, dan emosi dengan cinta yang baru. Jika kita memberikan daya sebanyak itu pada pernikahan yang ada, kita juga akan merasakan adanya api cinta di sekitar kita sebanyak itu pula. Jika kesibukan sehari-hari mengikis hubungan baik kita, cobalah beberapa saran berikut untuk menambah bumbu dalam pernikahan Anda:

  1. Jadwalkan suatu kencan dan bersenang-senanglah.
  2. Kirimkan kartu ucapan tanpa alasan tertentu selain untuk mengucapkan "aku cinta padamu".
  3. Tempelkan catatan kecil di kotak makan siang.
  4. Kejutkan pasangan Anda di tempat kerjanya dan ajak dia keluar untuk makan siang bersama.
  5. Masakkan hidangan spesial di rumah dan tawarkan diri untuk mencuci piring.
  6. Saling menggosok/memijat punggung.
  7. Bawa pulang beberapa kuntum bunga atau hadiah yang tidak mahal.

Apa pun yang kita pilih, hal yang paling penting adalah membuat pasangan kita mengetahui perbedaan yang dia buat dalam hidup kita.

Kesatuan yang Indah

Ketika Tuhan mendirikan pernikahan, Dia merencanakan agar pernikahan itu permanen. Dapat dipersatukan dengan orang lain sebagai satu kesatuan dan dapat memiliki hubungan yang begitu akrab adalah seindah misteri. Walaupun Tuhan telah berjanji untuk membimbing setiap langkah kita, pernikahan akan menemui titik-titik tertinggi dan terendahnya. Di dalamnya, kita terikat untuk mengalami sukacita, kemarahan, kesakitan, dan kegembiraan -- semua bergabung menjadi satu. Namun demikian, pada saat kita bertengkar atau mendapati bahwa kita tidak selalu sepakat, kita tidak perlu mencari jalan keluarnya pada menit itu juga. Melainkan, mohonlah agar Roh Kudus menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi lebih kuat lagi sebagai satu kesatuan. Lagi pula, pernikahan adalah tentang bahu-membahu bertumbuh di dalam anugerah Tuhan kita Yesus Kristus.

Renungan

Apakah Anda siap menghadapi realitas pernikahan? Menurut pikiran Anda, seperti apakah kehidupan pernikahan itu seharusnya? Mitos tentang pernikahan apa yang Anda percayai?

Ikhtisar

Saat ini dan zaman ini, dengan pengaruh film, buku, dan media lainnya, banyak orang yang membayangkan tentang pernikahan dan kehidupan pernikahan dengan persepsi yang keliru. Penulis artikel ini mengungkapkan beberapa mitos yang banyak diyakini orang, dan dari situ dia mengutarakan beberapa kebenaran tentang pernikahan dan juga saran untuk menjaga keutuhan pernikahan.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama majalah : Warta Sejati, Edisi 41/Mei-Juni 2004
Judul artikel : Mitos Tentang Pernikahan
Penulis artikel : Jennifer Lu
Penerbit : Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia, Jakarta 2008
Halaman : 30 -- 35
Sumber
Halaman: 
30 -- 35
Judul Artikel: 
Mitos Tentang Pernikahan
Nomor Edisi: 
41/Mei-Juni
Tahun Edisi: 
2004
Judul Buku: 
Warta Sejati (Majalah)
Penerbit: 
Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia
Kota: 
Jakarta
Tahun: 
2008