Jiwa yang Sehat

Ada pelbagai cara untuk mendefinisikan sehat mental; atau, kita dapat mengatakan ada pelbagai ciri jiwa yang sehat. Bagi Freud, jiwa yang sehat adalah jiwa yang dipandu oleh ego - komponen rasional dalam kepribadian yang kuat. Bagi Maslow jiwa yang sehat adalah jiwa yang beraktualisasi diri yaitu jiwa yang tidak lagi terikat pada dirinya sendiri melainkan pada hal-hal yang melampaui dirinya. Bagi Aliport diri yang sehat adalah diri yang integral terintegrasi menjadi satu keutuhan oleh intensi atau arah hidup di depannya. Scott Peck menawarkan satu lagi: Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersentuhan dengan realitas. Jika kita balik definisi Peck, kita akan menemukan bahwa jiwa yang tidak sehat adalah jiwa yang tidak bersentuhan dengan realitas.

Lebih dari setengah abad sebelum Peck menelurkan gagasannya, Freud sudah menjabarkan cara-cara yang kita gunakan untuk menepis realitas, misalnya melalui penyangkalan, penguburan memori, memutarbalikkan fakta, melupakan, dan lainnya. Cara-cara ini - dipanggil mekanisme pertahanan ego - bertujuan lumayan mulia yaitu melindungi diri atau ego dari kecemasan yang terlalu tinggi. Masalahnya terletak bukan pada tujuannya; masalah terletak pada penyebab dan harganya. Penyebabnya adalah diri tidak lagi sanggup menghadapi realitas dan harga yang harus kita bayar adalah, menjauhnya kita dari realitas.

Tidak selalu saya bisa menghadapi realitas; kadangtanpa saya sadari-saya memanfaatkan salah satu mekanisme pertahanan itu untuk memberi saya ketenangan - walau sejenak - daripada terus menerus hidup dalam ketegangan. Sebagian dari kita bersembunyi sebentar saja; sebagian dari kita bersembunyi terlalu lama. Semakin lama kita bersembunyi, semakin lama dan jauh kita terpisah dari realitas. Memang ada di antara kita yang justru berkeinginan untuk selamanya tidak usah lagi menatap realitas. Masalahnya adalah, agar dapat hidup terlepas dari realitas, kita terpaksa harus mengubah diri. Semakin besar hasrat untuk keluar dari realitas, semakin berubah diri kita-secara tidak alamiah dan tidak sehat.

Ada satu peristiwa menarik yang terjadi setelah manusia kali pertama jatuh ke dalam dosa. Tuhan memanggil Adam dan Hawa namun keduanya bersembunyi karena takut (Kejadian 3:9-10). Di sinilah untuk pertama kalinya kata "takut" muncul di Alkitab dan memang takut adalah respons yang seharusnya dialami manusia pada saat itu. Mereka telah melanggar perintah Allah dan mereka takut perbuatan mereka diketahui; mereka takut dihukum realitas yang mesti mereka hadapi.

Seyogianya, dalam konteks Adam dan Hawa, bersentuhan dengan realitas berarti mereka menerima fakta bahwa mereka ciptaan dan bukan pencipta; jadi, mereka tidak perlu memikirkan atau bermimpi menjadi Allah. Dengan memakan buah pengetahuan baik dan jahat, mereka mendeklarasikan kemandirian mereka dari Allah. Seharusnya, jika mereka bersentuhan dengan realitas, mereka pun tidak usah melakukan hal seperti itu karena mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka terlepas dari Allah. Napas dan keberadaan mereka berasal dari Allah, bagaimana mungkin mereka mandiri dari Allah. Bila mereka bersentuhan dengan realitas, mereka pun tidak perlu bersembunyi dari Allah. Siapakah yang dapat melarkan diri dari pengawasan Allah dan siapakah yang bisa lolos dari penghukuman-Nya? Sayang, mereka tidak bersentuhan dengan realitas; sebaliknya, mereka takut menghadapi realitas. Ketakutan mereka menghadapi realitas memaksa mereka mengubah diri-menyemat daun untuk menutupi aurat, bersembunyi, berbohong, mempersalahkan dan lari dari tanggung jawab - secara tidak alamiah dan tidak sehat.

Menerima realitas berarti menerima kesanggupan dan keterbatasan diri sendiri, mengakui dan menghargai keterbatasan dan keberhasilan orang lain, memikul tanggung jawab atas perbuatan dan pilihan yang kita ambil, dan menerima ketidaksempurnaan hidup dengan segala kebingungannya. Menerima realitas juga berarti mengakui diri sebagai orang berdosa, mengakui ketidakmungkinan untuk melepaskan diri dari dosa dengan kekuatan sendiri, dan mengakui bahwa hanya Tuhanlah dalam Kristus yang bisa melepaskan kita dari jerat dosa. Bersentuhan dengan realitas berarti mengakui bahwa Tuhan menguasai dan mengatur hidup, tidak ada yang terjadi di luar kehendak-Nya, dan kita aman dalam kedaulatan-Nya. Dan, karena kita tahu bahwa kita aman, kita tidak lagi takut menghadapi realitas.

Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa makan buah secerdas apa pun tidak akan membuat kita tahu segalanya. Terlalu banyak yang tidak kita ketahui, bahkan tentang diri kita sendiri. Pada akhirnya kita pun harus mengakui bahwa daun yang kita pakai untuk menutupi diri tetaplah daun, yang suatu hari kelak akan keying, Iayu, dan robek. Tidak ada pertahanan diri yang sempurna dan kekal; semua akan sirna dan lapuk. Pada akhirnya, kita menjadi lebih sehat - tanpa buah dan tanpa daun - hanya diterima dan bersama dengan Tuhan.

Sumber
Halaman: 
3 - 4
Judul Artikel: 
Parakaleo, Januari Maret 2003, Vol. X No. 1
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Paul Gunadi Ph.D., Yakub B.Susabda Ph.D., Esther Susabda Ph.D.
Tahun: 
2003