Retrospeksi

Walter Trobisch dalam bukunya The Misunderstood Man menceritakan tentang seorang kepala suku di Afrika yang pada suatu hari mengumpulkan semua pria yang sudah menikah di rumahnya. Ceritanya, ia mengkhawatirkan kalau-kalau the real man (pria sejati) sudah tidak ada lagi karena kekuasaan istri di rumah mereka masing-masing. Ia meminta semua pria yang hadir memilih. Yang merasa dikuasai oleh istrinya boleh meninggalkan rumah tersebut lewat pintu sebelah kanan, sedangkan yang lain lewat pintu sebelah kiri. Heran, ternyata cuma satu orang yang berjalan keluar lewat pintu sebelah kiri. Dengan suara keras, kepala suku itu berseru, "Nah, akhirnya kita berhasil menemukan the real man." Lalu ia mendekati orang tersebut dan bertanya, "Man, could you please share with us your secret?" ("Dapatkah Anda menceritakan rahasianya sampai Anda berhasil menguasai istri Anda?") Dengan malu-malu orang tersebut menjawab, 'Chief, when I left home this morning, my wife said to me, 'Husband, remember, never follow the crowd!"' ("Pak Kepala, sebelum saya meninggalkan rumah tadi pagi, istri saya mengatakan kepada saya: 'Suamiku, ingat, jangan ikut-ikutan orang banyak!")

Drama tragedi yang terus menerus dimainkan manusia tercermin melalui ilustrasi di atas. Pria bagaimanapun tangguh, matang dan bijaksananya, senantiasa bergumul dengan perasaan gagal dan keinginannya untuk menyerahkan seluruh beban tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Dan wanita bagaimanapun lemah lembutnya selalu bergumul dengan ketidakrelaan menerima panggilannya sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. Dosa telah merusak rencana kekal Allah yang berkaitan dengan penciptaan dan pembentukan keluarga. Keunikan peran pria sebagai suami-kepala keluarga, dan wanita sebagai istri-penolong sepadan makin lama makin tidak dipahami, apalagi di tengah pergeseran-pegeseran nilai zaman ini. Apa sebenarnya yang Alkitab ajarkan?

  1. Allah menciptakan pria dengan natur yang berbeda dari wanita, dan perbedaan itu menjadi dasar dari perbedaan panggilan untuk suami dan istri. Hanya wanitalah yang mengalami menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Oleh sebab itu, meskipun pria dan wan ita bisa melakukan jenis pekerjaar4 yang sama (menggendong, menyuapi, dsb.) dan bisa mengembahgkan kualitas kerja yang sama (pria bisa merawat anak sebaik wanita dan wanita bisa memimpin perusahaan sebaik pria), mereka seharusnya mempunyai motivasi dan tujuan kerja yang berbeda. Mengapa? Karena panggilan Allah untuk mereka berbeda. Pria tidak dipanggil Allah untuk menjadi ibu dan penolong yang sepadan, dan wanita tidak dipanggil untuk menjadi bapak dan kepala keluarga.

  • Panggilan Allah untuk pria dan wanita tidak terpisah bahkan menyatu dengan talenta, kesempatan, bakat dan kematangan life structure-nya (watak dan kepribadian). Meskipun demikian, panggilan untuk pria sebagai suami - kepala keluarga dan wanita sebagai istri - penolong yang sepadan tak pernah berubah. Banyak suami-suami yang lemah dan istri-istri yang mempunyai talenta dan kepribadian yang lebih kuat, tapi bakat dan kepribadian tidak mengubah panggilan Allah atas mereka. Bahkan makin lemah si suami, makin besar tanggung jawab istri untuk mendemonstrasikan panggilannya sebagai penolong yang sepadan, yang mampu menciptakan "suasana dan kondisi yang condusif untuk pertumbuhan suaminya". Dengan kelebihannya ia tidak terpanggil untuk mengambil alih tugas dan panggilan suami - kepala keluarga. Begitu juga bagi si suami, makin kuat ia, makin besar tanggung jawabnya untuk mendemonstrasikan pengorbanan dan pelayanannya kepada istrinya, teman pewaris kasih karunia Allah tersebut (Matius 23:11; I Petrus 3:7).
  • Memang salah satu tujuan Allah membentuk keluarga (Kejadian 1:26-28) adalah untuk mengerjakan mandat budaya ilahi, tapi sukses mencapai tujuan tersebut bukanlah merupakan objektif/target panggilan Allah. Allah lebih berkenan kepada hati yang hancur, patah, tulus dan dengar-der.garan. Tidak heran jikalau kasih yang mula-mula lebih berharga di mata Allah daripada achievements yang dicapai (Wahyu 2:1-7).
  • Sering kali prinsip kebenaran ini diabaikan suami-istri. Untuk target (mis: keberhasilan studi anak-anak, sukses dalam bisnis, dsb.) mereka rela berkelahi, menang-menangan, saling memperebutkan hak dan saling melukai. Mereka lupa bahwa hidup dengan target-target hanyalah sarana yang dipakai Allah untuk membawa mereka masuk ke dalam proses pertumbuhan yang dikehendaki Allah. Bagi orang percaya, proses lebih penting daripada goals dan achievements yang akan dicapai.

    Kiranya berkat Tuhan dilimpahkan pada mereka yang mengasihi Tuhan dengan tulus dan benar.

    Sumber
    Halaman: 
    4
    Judul Artikel: 
    Parakaleo, April Juni 1996, Vol.III, No. 2
    Penerbit: 
    Departemen Konseling STTRII
    Kota: 
    Jakarta
    Editor: 
    Dr. Paul Gunadi, Dr. Yakub B.Susabda
    Tahun: 
    1996