Hukuman Mati

Tanya:

Tindakan-tindakan kriminal sudah ada sejak dahulu. Namun, akhir-akhir ini jumlah dan bobot dari tindakan-tindakan tersebut bisa dikatakan mengalami peningkatan hampir di segala tempat di dunia ini. Cara-cara kejahatan dan pembunuhan yang aneh dan sadis, yang sebelumnya mungkin hampir tidak terpikirkan oleh kita, ternyata ada dan diberitakan dengan hangat dalam media massa.

Melihat kenyataan demikian, maka sebagian orang merasa hukuman mati merupakan hukuman yang setimpal bagi para pelaku tersebut, supaya kesewenangan serupa tidak terulang, dengan kata lain melalui hukuman mati ada suatu kendali terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya tindakan-tindakan kriminal yang membahayakan hidup sesama manusia. Bagaimana tanggapan PZ terhadap alternatif hukuman mati tersebut?

Jawab:

Reaksi emosional kebanyakan orang yang melihat akibat dari pada tindakan-tindakan kriminal tersebut, umumnya setuju jika pada pelaku kejahatan sedemikian dikenakan hukuman mati. Kemarahan dan kejengkelan mereka serasa terlampiaskan melalui hukuman tersebut. Tetapi ada sekelompok orang yang merasa keberatan dengan adanya sanksi hukuman mati tersebut. Misalnya, kelompok yang menyebut dirinya "Hati" (singkatan dari "Hapus Hukuman Mati"). Mereka memprotes adanya hukuman mati karena beberapa alasan, antara lain:

  1. Mati hidup seseorang itu ada di tangan Tuhan. Manusia tak berhak menentukannya melalui hukuman mati yang pada dasarnya merupakan pembunuhan yang disahkan lembaga pemerintah. Jika demikian, kita menjadi "serupa" dengan terpidana. Membalas pembunuhan (oleh terpidana) dengan pembunuhan (oleh pihak yang berwenang) merupakan tindakan yang tidak manusiawi.

  2. Ditinjau dari segi fungsi, maka sanksi hukuman diberikan dengan tujuan:

    • Mengurangi kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan yang serupa/mencegah terulangnya kejahatan yang sama baik oleh orang lain atau orang yang sama.
    • Memberi kemungkinan dan kesempatan kepada terpidana untuk menyesali perbuatannya dan bertobat.

    Hukuman mati meniadakan fungsi hukum tersebut sebab:

    Hukuman mati pada hakikatnya tak berpengaruh terhadap usaha pencegahan maupun pengurangan kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan, karena risiko menderita hukuman bila tertangkap diperkecil/dipersingkat melalui adanya hukuman mati (sakit/menderita cuma sebentar). Berbeda halnya bila dijatuhi hukuman seumur hidup. Setiap orang, sejahat apa pun, perlu diberi kesempatan untuk bertobat. Dengan diberlakukannya hukuman mati, kesempatan tersebut ditiadakan. Sekali lagi ini dianggap tidak berperi kemanusiaan. Pernah ada seorang perampok dalam usaha menyelamatkan diri telah membunuh seorang polisi. Karena hukum di negaranya tidak menyetujui adanya hukuman mati, maka orang tersebut dipenjara seumur hidup. Ternyata beberapa tahun kemudian ia bertobat dan menjadi orang Kristen yang baik. Apa jadinya jika ia dijatuhi hukuman mati?

  3. Ditinjau dari segi psikologi dan pengaruh lingkungan, maka setiap orang adalah "produk" lingkungan. Bila seseorang ternyata menjadi penjahat yang kejam, semua itu ada hubungannya dengan perkembangan psikologis yang dipengaruhi oleh lingkungannya yang tidak baik/merugikan dia sejak kecil. Jadi, tak seharusnya ia menanggung hukuman yang begitu berat (hukuman mati), padahal mungkin ia tidak menjadi seorang penjahat jika mendapat suasana keluarga dan pengaruh lingkungan yang baik sejak kecil.

Bagaimana pandangan Alkitab mengenai hal ini? Mari kita tilik Kejadian 9:5-6: "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambarNya sendiri."

  1. Pada bagian ini ditegaskan kontras antara nilai nyawa manusia dengan binatang. Nilai nyawa manusia yang diciptakan sepeta dan seteladan dengan Allah adalah kudus di hadapan Allah, sehingga siapa menumpahkan darah sesamanya manusia (melakukan pembunuhan) akan dituntut Allah melalui tangan manusia juga. Penumpahan darah pertama merupakan pembunuhan yang tak sah, sedangkan penumpahan darah kedua sah - sebagai akibat dari penumpahan darah pertama (pembunuhan) - dilakukan oleh "lembaga hukum" (tafsiran kemudian hari) sebagai pelindung resmi manusia yang ditetapkan Allah untuk menjalankan keadilan.
  2. Penekanan utama fungsi hukuman (hukuman mati khususnya dan hukuman lain umumnya) adalah pelaksanaan dan penegakan keadilan, bukan rehabilitasi atas pihak terhukum, bukan juga usaha pencegahan terjadinya kejahatan (Keluaran 21:12-36, Imamat 24:17-22, bandingkan Ulangan 19:16-21). Prinsip ini penting dan digarisbawahi dalam Alkitab. Peristiwa Akhan (Yosua 7), Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 15:1-10) menunjukkan ketegasan tindakan hukum Allah, yang tidak menunda/mengulur-ulur pelaksanaan tuntutan keadilanNya (mereka tidak mengakui, menyesali ataupun bertobat pada kesempatan yang yang diberikan).

    Catatan: Hal "pemberian kesempatan" bagi terhukum untuk bertobat dengan jalan mengubah hukuman mati dengan hukuman seumur hidup kurang tepat, mengingat pada umumnya semua orang takut mati. Dengan demikian, bukan tidak mungkin hukuman mati justru mempercepat kemungkinan/proses penyesalan dan pertobatan terhukum yang bersangkutan.

    Jika pada bagian lain Alkitab melukiskan hubungan antara hukuman dengan hal pencegahan kejahatan (Ulangan 13:11 bandingkan Ulangan 17:13, Ulangan 19:20), maka pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan tetap dalam konteks menjalankan tuntutan peradilan, dimana sebagai konsekuensi logis dari pada pelaksanaan hukuman (secara benar dan adil) timbul "rasa takut" pada manusia yang lain, sehingga mereka dapat "terkendalikan" untuk tidak melakukan kejahatan yang sama/serupa.

    Logika ini lebih tepat dan sejalan dengan fungsi lembaga hukum sebagai pelaksana keadilan Allah yang berhak, berkewajiban untuk menjaga, melindungi, mengusahakan keamanan dan kesejahteraan manusia. Jadi, hukuman bukan diadakan untuk menakuti orang yang akan/mungkin melakukan kejahatan, tapi sebaliknya bagi para pelanggar hukum (bandingkan 1 Tim 1:9, dst.).

  3. Mengenai alasan yang berhubungan dengan faktor psikologi dan pengaruh lingkungan sosial, sebenarnya hal ini bergantung pada konsep tentang manusia. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sejak semula manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah, dibekali kehendak bebas, hak otonomi yang menjadikannya manusia sejati (Kejadian 3). Karena itu tiap manusia dituntut untuk bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya (Ulangan 24:16, bandingkan 2 Tawarikh 25:4, Yehezkiel 18:19-20).

Catatan: M. Brownlee pernah menyinggung masalah tabiat seorang dalam hubungannya dengan pengaruh lingkungan. "Lingkungan hanya bisa memengaruhi seseorang, tetapi bukan secara mutlak membentuk tabiat seseorang". Jadi, tak ada seorang yang semata-mata merupakan "korban lingkungan"; mengingat adanya unsur kesadaran dan tanggung jawab dari orang-orang yang bersangkutan.

Jadi, hukuman mati merupakan suatu yang sah dan alkitabiah. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa tidak berarti hukuman mati tersebut harus selalu digunakan atau tidak semua pembunuh harus menerima hukuman mati.

  1. Alkitab juga menyatakan kebenaran lain dari Allah yakni segi kasih dan kerinduan untuk mengampuni orang-orang yang sudah bersalah, berdosa dan sebagainya (lihat 2 Tawarikh 33:12-13, 2 Samuel 11-12). Jikalau seseorang yang sudah melakukan pelanggaran firman Allah/ketetapan Allah sehingga patut menerima hukuman mati, sungguh menyesal dan bertobat di hadapan Allah. Allah dalam kasihnya rela mengampuninya (ini yang memungkinkan terjadinya keselamatan bagi orang-orang berdosa di dalam Yesus Kristus).
  2. Pelaksanaan hukuman mati harus absah (oleh badan yang berwenang) dan didasarkan pada penelitian dan pertimbangan yang seadil-adilnya dan sebenar-benarnya. Jadi, bukan semata-mata "pelampiasan reaksi emosional perorangan atau massa". Alkitab sendiri dengan jelas menegaskan ketentuan tersebut:

    • Lihat Bilangan 35:30 (perlunya kesaksian yang absah dari minimum 3 orang saksi).
    • Yohanes 8:1-11 (ayat 7 "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu". Bandingkan Imamat 20:10-18 ("Barang siapa kedapatan berzinah keduanya harus menerima hukuman"). Kondisi dan tuntutan hukuman yang belum benar/betul tidak/belum berhak untuk memungkinkan ke pelaksanaan hukuman mati.

    Melalui pertimbangan-pertimbangan di atas kita dapat melihat prinsip-prinsip Alkitab yang menyatakan tuntutan keadilan dan kasih Allah yang terpadu harmonis.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama situs : Alkitab SABDA
Alamat URL : http://alkitab.sabda.org
Penulis : Lily L. Efferin
Tanggal akses : 29 Januari 2013