Bolehkah Bercerai Karena Suami Punya WIL?

Edisi C3I: e-Konsel 369 - Konseling Pasutri

Tanya:

Suami saya ternyata punya WIL dan mereka sudah punya anak dari hubungan itu. Meski sudah dibina dalam gereja dan konselor, suami saya masih menjalin komunikasi dengan wanita tersebut dengan alasan anak mereka. Apa yang harus saya perbuat? Apakah karena saya sudah mengampuni, saya harus mengizinkan mereka tetap berlaku seperti itu? Apakah saya boleh/harus bercerai?

Jawab:

Memang rasanya berat sekali mendapatkan perlakuan seperti itu. Secara emosi, kita berhak marah dan bersikap acuh, dan meninggalkan dia. Rasanya ingin sekali membalas dan tidak lagi memiliki hubungan dengan pria yang sudah membohongi kita selama bertahun-tahun. Namun, kita tahu bahwa perceraian bukanlah kehendak Tuhan dan perceraian tidaklah menyelesaikan masalah.

Mungkin ada kebutuhan suami yang tidak terpenuhi oleh Ibu. Coba tanyakanlah kepada suami Ibu mengapa ia mengatakan bahwa anaknya dengan WIL itu yang menjadi alasannya tetap menjalin hubungan dengan wanita tersebut? Jika ia tidak melakukan hubungan suami istri lagi dengan WIL-nya, kemungkinan ia memang menginginkan seorang anak yang lain. Akan tetapi, jika suami Ibu berbohong dan masih melakukan hubungan suami istri dengan WIL-nya, berarti anak yang dimilikinya bukanlah alasan yang sebenarnya. Ia membutuhkan sosok wanita lain yang mampu memenuhi kebutuhannya. Apa pun alasannya, perselingkuhan adalah dosa di mata Tuhan. Alkitab tidak pernah menyarankan/memperbolehkan orang bercerai. Jika seseorang bercerai, itu karena suami/istri berzina, dan setelah itu mereka tidak boleh menikah kembali karena siapa pun yang menikah dengan orang yang bercerai dikatakan juga sudah berzina dan berzina itu adalah dosa (Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:11; dan Lukas 18:20).

Apakah hubungan yang dilakukan suami itu diperbolehkan dalam kekristenan? Tentu saja TIDAK, apa pun alasannya. Saya tidak tahu apakah suami Ibu sudah bertobat atau belum, tetapi tetap berhubungan dengan wanita pernah melakukan zina dengannya adalah dosa dan tidak dapat dibenarkan. Selain masih akan memunculkan ikatan emosi, perbuatan tersebut juga dapat memunculkan keinginan seksual yang berulang dan berujung pada dosa yang sama. Saya tidak akan pernah menyarankan Ibu untuk bercerai, tetapi jika itu adalah keputusan Ibu, biarlah itu menjadi pertimbangan yang matang. Dan, hidup pascaperceraian sangatlah tidak nyaman karena selain ada pergunjingan, Ibu juga harus mencukupi kebutuhan Ibu dan anak sendirian. Hal ini juga berdampak buruk bagi anak. Figur ayah yang tidak tinggal bersamanya akan membuat emosinya tertahan dan memunculkan kemarahan yang berkepanjangan.

Jika masih ada yang dapat diperbaiki, alangkah baiknya jika Ibu dan suami berkonseling kepada hamba Tuhan dan membuat kesepakatan atau perjanjian untuk memperbaiki pernikahan. Langkah apa yang akan dapat diterima oleh semua pihak, tanpa mengabaikan perintah Tuhan. Tetap doakanlah suami Ibu, jika perlu lakukanlah doa puasa. Ungkapkan keluhan Ibu kepada-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Percayalah bahwa kasih Tuhan menyertai kita dan akan melindungi kita. Yesus telah menyembuhkan kita dengan bilur-bilur-Nya, dan Ia telah mengampuni kita ketika kita masih berdosa (Yesaya 53:5 dan Roma 5:8). Tuhan tidak akan membiarkan kita sendirian, Ia akan menguatkan kita. Bersandarlah kepada-Nya dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Saya yakin Ia akan memberikan jalan keluar atas cobaan-cobaan yang kita alami ketika kita sudah tidak mampu lagi menanggungnya. Tuhan Yesus menyertai.

Sumber: Redaksi