Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Pandangan yang Salah Mengenai Seks

Edisi C3I: e-Konsel 309 - Pandangan Tentang Seks

Banyak gambaran salah yang diberikan kepada remaja, pemuda, atau bahkan pasangan yang sedang menuju ke pernikahan. Akibatnya, mereka salah menggarap relasi mereka. Mulai dari bagaimana mencari kekasih, sampai membayangkan dan mengonsepkan pernikahan yang berbahagia.

1. Keperkasaan dan Kecantikan Fisik

Mereka menganggap hubungan suami istri akan lebih baik dan lebih bahagia jika sang suami bak pangeran yang gagah perkasa dan ganteng, sementara sang istri seperti putri yang begitu langsing, seksi, dan cantik. Gambaran inilah yang diberikan novel-novel, berbagai cerita film ataupun media lainnya. Namun, dalam realitasnya, keperkasaan dan kecantikan justru menjadi bumerang dalam relasi pernikahan. Sekitar tahun 80-an, dunia dihebohkan dengan pernikahan ideal bak pernikahan negeri dongeng antara pangeran yang begitu gagah dan putri yang begitu cantik, yaitu Pangeran Charles dan Putri Diana. Acara pernikahannya begitu megah dan mewah, memberikan pengharapan dan ikon kepada dunia bahwa inilah pernikahan yang paling bahagia, dan mereka hidup "bahagia selamanya". Namun, semuanya justru berakhir tragis. Sang Pangeran semakin lama semakin tidak sabar dan tidak nyaman dan sang putri merasa hidup bagai di neraka. Pernikahan ini bertahan tidak lebih dari 10 tahun. Dimulai dengan perselingkuhan, perceraian, dan bahkan diakhiri dengan kematian tragis sang putri, serta disusul dengan pernikahan sang pangeran dengan wanita bekas kekasihnya. Namun sebelum semua itu terjadi, pernikahan ini memang tidak didukung oleh orang banyak karena justru dianggap sangat tidak ideal. Akhir kisah pernikahan inilah bukti kebenaran paling nyata dari anggapan tersebut. Demikian juga, perceraian banyak terjadi pada pernikahan aktor ganteng dan aktris cantik. Di sisi lain, pernikahan dari pasangan yang tidak terlalu ganteng dan tidak terlalu cantik justru berjalan jauh lebih bahagia, lebih indah, dan lebih langgeng. Dengan demikian, gambaran pernikahan "Cinderella" ini bukanlah gambaran yang benar secara absolut. Namun, kita juga tidak boleh beranggapan bahwa pernikahan antara pria ganteng dan wanita cantik, pasti akan berakhir dengan perceraian. Dalam pernikahan, yang penting adalah apakah inti dari relasi pernikahan sudah dikembalikan pada kebenaran firman Tuhan dan apakah pernikahan itu sudah sungguh-sungguh mengutamakan Tuhan. Jika semua itu diperhatikan maka relasi seiman dan sepadan akan terbentuk, dan itulah yang membawa kebahagiaan dan kelanggengan ke dalam kehidupan rumah tangga.

Gender seks

2. Seks Adalah Penentu Kebahagiaan Keluarga

Saat ini, banyak buku tentang pernikahan dan relasi keluarga yang sangat berorientasi pada masalah seksual. Berangkat dari pemahaman psikoanalisis Sigmund Freud -- bahwa semua masalah kejiwaan berujung pada masalah seksual, baik pada masa kecil ataupun pada masa kemudian -- maka pada paruh kedua abad XX pergerakan pemikiran ini semakin meluas. Hidup seolah-olah hanyalah untuk seks. Seks yang menjadi penentu kebahagiaan keluarga. Oleh sebab itu, dunia melihat urusan seksual menjadi begitu penting.

Mereka memberikan perhatian khusus terhadap masalah seks melalui latihan-latihan fisik, fitnes, dan olahraga khusus untuk seks. Mereka mementingkan penampilan fisik yang sensual. Baju yang berpenampilan sensual, bukan hanya untuk wanita, tetapi juga pria. Model baju ketat dan seksi dengan dua kancing teratas terbuka, seperti yang dipakai oleh Elvis Presley, sempat menjadi tren yang sangat digandrungi pria. Yang dipikirkan bukanlah mengenakan baju yang rapi, yang anggun, melainkan yang seksi. Hal ini semakin menjadi-jadi pada wanita. Baju wanita semakin berani menonjolkan bagian terbukanya yang memamerkan buah dada, belahan paha, atau bagian tubuh lainnya. Demikian juga model rok mini yang semakin hari semakin kekurangan kain. Semua ini karena adanya anggapan bahwa kebahagiaan dan kehidupan pernikahan akan sangat ditentukan oleh sensualitas pasangan tersebut. Mereka tidak mencari pasangan yang sepadan, tetapi yang seksi. Hal ini menyebabkan pernikahan salah arah dan banyak menimbulkan masalah moral, seperti penyelewengan, perselingkuhan, dan lain-lain. Pernikahan bukan bergantung pada ide-ide dan gagasan empiris, melainkan harus dikembalikan kepada kebenaran firman Tuhan.

3. Uji Coba Relasi

Banyak pasangan muda yang begitu dikuasai oleh pemikiran seksual. Berbagai media memengaruhi mereka untuk memiliki kepedulian yang berlebihan terhadap masalah fisik. Mereka beralasan bahwa jika tidak terjadi kecocokan dalam relasi seks, maka kehidupan keluarga mereka akan menjadi rusak. Oleh sebab itu, di tengah-tengah abad yang semakin gila ini, banyak pasangan muda yang memutuskan untuk "mencoba" terlebih dahulu relasi seks mereka. Kalau cocok, barulah mereka maju menuju ke jenjang pernikahan. Pemikiran ini sangat bertentangan dengan berita Alkitab. Justru uji coba seksual ini membuat setiap pribadi memasuki pengalaman seksual yang inklusif dan tidak eksklusif lagi. Malahan, pengalaman ini membuat pernikahan tidak bisa berjalan baik karena setiap anggota pasangan sudah memiliki pengalaman lebih dalam relasi seksual, yang menyebabkan mereka selalu merasa tidak puas dan memberikan peluang untuk mencari pengalaman yang lebih baru lagi. Inilah awal kerusakan dan pecahnya kehidupan keluarga. Alkitab menyatakan bahwa hubungan fisik harus ditunda selama dalam relasi pacaran, sampai nanti memasuki kehidupan pernikahan. Di saat itulah, kita boleh membuka cadar fisik yang selama ini tertutup dan menikmatinya dengan begitu indah. Tuhan menyediakan keindahan luar biasa bila dipergunakan sebagaimana mestinya.

4. Pengembangan Keintiman Fisik

Bahwa semua masalah kejiwaan berujung pada masalah seksual, baik pada masa kecil ataupun pada masa kemudian.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Telah disinggung di atas bahwa pengembangan keintiman fisik hari ini merupakan masalah yang sangat serius. Seorang anak kecil bisa berkata, "Wah, Andi belum pacaran dengan Ita karena belum ciuman bibir." Betapa mengerikan jika pacaran ditandai dengan "ciuman bibir". Inilah gambaran umum yang dipasarkan dengan sangat luas oleh pemikiran yang berdosa pada masa kini. Sulit sekali orang Kristen atau pendeta untuk berkata, "Kalau pacaran, jangan ciuman bibir dulu. Boleh cium di pipi atau di kening." Maka langsung dijawab, "Wah, itu kuno sekali." Pengembangan keintiman fisik sudah terbukti membawa masalah seksual yang sangat serius di kalangan remaja. Begitu banyak terjadi kehamilan remaja akibat hal yang sedemikian dianggap remeh dan biasa, "Kalau pacaran pasti harus ciuman bibir." Ciuman bibir merupakan titik awal dari rangsangan seksual. Ciuman bibir membawa satu pasangan, khususnya pihak wanita, terbuai dengan rangsangan seks. Kemudian hal itu mengakibatkan kebutuhan akan dosis yang lebih tinggi lagi. Mulai dari ciuman sedetik, lalu menjadi 5 detik, kemudian akan menjadi bermenit-menit. Dan ketika rangsangan naik, si wanita semakin ingin dipeluk, diraba, dan rangsangan rabaan ini akan berlanjut terus menuju ke daerah-daerah yang sangat pribadi dan sensitif. Mungkin sebagai gadis baik-baik, ia akan merasa bersalah, tetapi rangsangan kuat akan menelan perasaan dan teguran itu. Ia hanya dapat berkata "Jangan," tetapi tidak mampu melawan keinginannya. Rangsangan yang terjadi membawa dia pada kondisi tidak berdaya, sehingga penentunya ada di pihak pria. Jika si pria kurang ajar dan memang rusak, ia akan memanfaatkan keadaan itu untuk terus melakukan rangsangan dan menekan pihak wanita yang akan semakin menyerah, sampai semuanya terjadi. Setelah semua terjadi, wanita itu marah, kecewa, sedih, tetapi semua sudah terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Selanjutnya, perasaan yang timbul adalah ketakutan ditinggal oleh sang kekasih yang telah merenggut keperawanannya. Di kemudian hari, ia akan semakin takluk jika kekasihnya meminta hal yang lebih, sampai berakibat kehamilan yang tidak dikehendaki. Masalah seksual bukan sesuatu yang boleh diumbar dan ditumbuhkan. Kita justru harus menumbuhkan komunikasi yang sehat, saling pengertian, dan kerelaan berubah demi kekasih kita. Sayangnya, hal-hal ini tidak dilakukan, sementara hal yang tidak boleh justru dilakukan. Gejala kehidupan berdosa inilah yang banyak memengaruhi pergaulan dan pikiran anak muda kita, termasuk anak muda Kristen.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku : Indahnya Pernikahan Kristen
Judul bab : Seksualitas dalam Pernikahan
Penulis : Sutjipto Subeno
Penerbit : Penerbit Momentum, Surabaya 2010
Halaman : 78 -- 84

Komentar