Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Seks Pra Nikah

Beberapa tahun terakhir ini, persepsi masyarakat terhadap seks telah mengalami perkembangan (perubahan) yang drastis. Perilaku seks telah beranjak dari posisi nilai moral menjadi budaya. Dengan kata lain, jika sebelumnya seks sarat dengan kaidah moral, sekarang seks telah merambah ke segala penjuru kehidupan sebagai gaya hidup yang nihil moralitas. Seks, yang pada mulanya diidentikkan dengan cinta dan pernikahan, sekarang lebih diasosiasikan dengan suka dan kencan belaka. Salah satu ruang kehidupan yang telah dimasuki oleh perilaku seks adalah masa berpacaran. Seks bukan lagi pergumulan yang harus dilawan dan dimenangkan pada masa berpacaran, namun seks telah menjadi salah satu agenda dalam berpacaran, sama seperti budaya mencium yang kita kenal sampai dua dasawarsa yang lalu. Dewasa ini, seks telah menggantikan tempat berpegangan tangan dan berciuman dalam berpacaran.

Berikut ini, saya akan menjelaskan beberapa alasan, mengapa seks pra nikah itu tidak boleh dan tidak baik.

PERTAMA: Seks pra nikah bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Perjuangan anak-anak Tuhan melawan godaan seksual pada masa berpacaran akan semakin mengendor karena para pejuang kesucian akan semakin langka pula. Tatkala kita dikelilingi oleh 10 rekan sesama pejuang kesucian, semangat juang kita pun akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika 6 dari 10 rekan seperjuangan telah menyerah kalah, godaan untuk angkat tangan semakin besar pula. Pada akhirnya, makin banyak anak-anak Tuhan yang hidup di celah-celah dua dunia yang kotomis, antara "yang diketahui" dan "yang dilakukan". Kita tahu 8 bahwa Tuhan melarang seks pra nikah (atau segala bentuk hubungan seksual di luar pernikahan, Keluaran 20:14; 1Korintus 5:1; 6:12-20; 1Tesalonika 4:3-8), namun kita tetap melakukannya karena tak kuasa membendung nafsu. Kita pun mulai hidup di tengah-tengah kenikmatan sekaligus rasa bersalah. Di satu pihak, kita hidup berpegang pada Firman Tuhan, di pihak lain kita mengampuni perbuatan dosa sendiri.

Dosa menjauhkan si pelaku dari Tuhan, termasuk dosa seksual pada masa pra nikah. Konflik rohani yang muncul akibat dosa seks akhirnya berkobar menjadi peperangan rohani dan membakar setiap energi rohani yang semula ada dalam diri kita. Kehidupan rohani menjadi seperti roda yang berputar tersendat-sendat; rasa tidak layak berhadapan dengan Tuhan, akhirnya mendinginkan animo untuk sama sekali dekat dengan Tuhan. Bagi saya, reaksi seperti ini masih lebih sehat ketimbang membutakan mata rohani dan akhirnya hidup dalam kepura- puraan. Dosa tetap dosa -- betapa pun sulit kita melawannya -- dan lebih baik kita mengakui kelemahan kita daripada mendistorsi realitas rohani ini. Langkah pertama dalam pertobatan adalah pengakuan dosa, yakni mengakui perbuatan itu sebagai pelanggaran terhadap perintah Tuhan yang kudus; pendistorsian dosa menghilangkan esensi pertobatan sejati.

KEDUA: Seks pra nikah mencemari proses dan tujuan berpacaran.

Nafsu dan rasio tidak dapat duduk berdampingan, sebab yang satu akan mengurangi efektivitas kerja yang lain. Hikmat tidak dapat muncul dari nafsu; hikmat hanya bisa tumbuh dari rasio yang jernih. Saya mendefinisikan hikmat sebagai kemampuan melihat dengan jelas dan bertindak dengan tepat. Hikmat bukan saja dimulai dengan pengetahuan yang benar, namun perlu ditindaklanjuti dengan perilaku yang benar pula.

Apabila nafsu (seksual) sudah menjadi bagian dari masa berpacaran, maka ia akan membutakan kejelian dalam menelaah kondisi hubungan kita yang jelas. Tujuan berpacaran adalah untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya akan keadaan pasangan kita dan sekaligus memastikan kecocokan kita berdua. Jadi, proses berpacaran seyogyanya diisi dengan upaya-upaya untuk saling menyesuaikan diri, yakni dalam hal-hal yang berkenaan dengan nilai hidup, pola berpikir, dan gaya hidup kita.

Keberadaan seks pada masa penyesuaian awal ini akan menodai proses berpacaran, sehingga pada akhirnya, tujuan berpacaran pun tidak tercapai. Nafsu meminta pemuasan dan demi memenuhi nafsu, kita rela dan berani membayar harga yang mahal, yaitu mengesampingkan dan meremehkan ketidakcocokan yang ada di depan mata. Seks mengikat kedua insan secara badani, namun seks tidak menyatukan kedua pribadi secara menyeluruh. Seks pada masa berpacaran mendistorsi realita kecocokan karena seks menulikan telinga untuk mendengar perbedaan dan membutakan mata untuk melihat ketidakserasian.

Seks pada masa berpacaran merusak kerja rasio dan mematikan hikmat untuk melihat dengan jelas dan bertindak dengan tepat. Seks pra nikah merupakan investasi yang terlalu dini, sehingga tidak jarang ada pasangan yang melanjutkan hubungan yang tidak sehat itu hanya karena telanjur sudah berhubungan seks. Singkatnya, seks pada masa berpacaran membuka kemungkinan yang lebar akan terjadinya bencana di masa mendatang. Tepatlah Firman Tuhan yang mengingatkan kita, "Tetapi siapa mendengarkan aku (hikmat), ia akan tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka." (Amsal 1:33) Hikmat dari Tuhan akan melindungi kita dari bencana yang ada di depan kita, sedangkan nafsu hanya akan memastikan kita berjalan ke arah kehancuran.

KETIGA: Seks pra nikah mengurangi respek terhadap pasangan kita.

Respek dibangun bukan di atas kegagalan, melainkan di atas kemenangan. Penguasaan diri yang kuat adalah salah satu karakteristik yang mengundang kekaguman dan membuahkan respek. Hubungan pernikahan yang sehat perlu dilandasi dengan respek; tanpa respek, relasi pernikahan akan berkualitas buruk serta membuka pintu masuk bagi problem yang lebih banyak. Seks pada masa berpacaran tidak akan membangun respek, justru secara diam-diam malah menciptakan rasa kurang respek. Bayangkan, suatu situasi hipotesis yang menempatkan kita pada sisi yang berseberangan. Misalkan, kita yang telah menjaga kesucian mendengar pengakuan dari pasangan kita bahwa ia sudah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya yang terdahulu. Saya sadar bahwa sebagai orang Kristen dengan cepat kita akan memaafkan perbuatannya, namun yang perlu saya tanyakan adalah "Apakah pengakuannya itu menambah respek kita terhadapnya atau tidak?" Saya khawatir bahwa di balik pemberian maaf, hati kita terluka dan citra tentang dirinya yang telah terbentuk mulai berubah menjadi negatif. Kita bisa berdalih dan mencoba meyakinkan diri kita bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua bisa melakukan kesalahan, termasuk pasangan kita yang telah berhubungan seks. Namun demikian, kesalahan seksual tidak dapat disamakan dengan kesalahan lainnya, misalnya berkelahi atau mencuri uang. Kesalahan seksual menohok jantung hati kita karena seks secara kodrati adalah suatu bagian hidup yang sakral -- sebagaimana dimaksudkan oleh penciptanya, yaitu Tuhan sendiri.

KEEMPAT: Seks pra nikah menciptakan keraguan akan penguasaan dirinya dengan orang lain.

Alasan keempat ini berkaitan erat dengan hal kepercayaan dan kepercayaan merupakan salah satu tonggak pernikahan. Satu pertanyaan yang membutuhkan jawaban teguh dan positif adalah, "Dapatkah saya mempercayainya, jika dia bersama dengan orang lain?" Saya kira, rasa percaya akan sulit bertumbuh jika kita menyaksikan kelemahan pasangan kita dalam menguasai dirinya. Dalam benak kita mungkin akan muncul keragu-raguan, "Dapatkah dia menguasai dirinya, jika bersama dengan orang lain?" Pertanyaan ini timbul karena kita sudah menjadi salah satu "korban" dari kelemahannya itu. Apalagi jika ia pernah berbuat hal yang sama dengan pacarnya yang terdahulu. Kepercayaan tidak diberikan dengan cuma-cuma; kita harus membuktikan diri terlebih dahulu sebelum layak untuk menerimanya. Seks pra nikah mencemari kepercayaan kita dan menumbuhkan keraguan akan daya tahannya dalam menghadapi pencobaan seksual di masa mendatang.

KELIMA: Seks pra nikah melebarkan kemungkinan adanya kehamilan dan kehamilan sebelum pernikahan menciptakan pernikahan yang belum matang.

Pernikahan yang didahului oleh kehamilan berisiko tinggi menghadapi perceraian karena tidak adanya kesiapan pernikahan pada saat itu. Atau, kalau pun tidak bercerai, pernikahan ini rawan dirundung masalah karena kurangnya kesiapan pernikahan. Masalah mudah muncul, sebab mungkin saja, hubungan berpacaran tidak pernah mencapai tujuannya oleh karena campur tangan seks. Dengan kata lain, pernikahan ini bermasalah karena penyesuaian diri tidak pernah tuntas dan dalam keadaan tidak tuntas ini, kita terpaksa menikah karena telah hamil terlebih dulu.

Sumber:

Judul Buku : Seri Psikologi Praktis -- Seks Pra Nikah
Penulis : Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D.
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 2001
Halaman : 1 - 6

Komentar