Umat Tuhan Akan Mengelola Keuangan Keluarga dengan Baik

Ditulis oleh: John Maruli Situmorang < jmaruli(at)xxx >

Hampir semua kebutuhan hidup keluarga dibeli dengan uang pada masa modern ini, maka mau tidak mau, keuangan keluarga pun harus diperhatikan keberadaannya secara seksama. Bila uang dalam keluarga tidak ditata dengan baik, maka akan muncul banyak masalah. Bahkan, tidak sedikit suami istri bercerai karena alasan keuangan. Di sinilah pentingnya manajemen keuangan dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan keluarga. Manajemen memiliki pengertian mengatur, mengelola, menempatkan, menyusun, dan beberapa pengertian yang sejenis. Tuhan Yesus mengimbau agar murid-murid-Nya memiliki kecerdasan dalam menggunakan uang yang mereka miliki.

Orang-orang percaya seharusnya lebih cerdas dalam menggunakan uang daripada orang-orang yang tidak percaya (Lukas 16:8). Mereka diingatkan Tuhan agar mengikat persahabatan dengan mempergunakan mamon (uang) yang tidak jujur selama mereka berada di dalam dunia ini (Lukas 16:9). Tuhan mengatakan bahwa mamon memang tidak bersifat kekal dan tidak dapat menyelamatkan jiwa, namun selama hidup di dunia ini, mamon harus benar-benar dipergunakan dengan efektif. "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar." (Lukas 16:10)

Dalam 2 Raja-Raja 4 ada sebuah kisah mengenai seorang janda yang miskin yang memiliki banyak utang. Karena utang yang sangat banyak itu, kedua anaknya harus "dijual" sebagai budak untuk membayarnya. Ia datang kepada Nabi Elisa. Nabi Elisa berdoa baginya dan memberikan beberapa "perintah". Perintah tersebut dikerjakan dengan baik oleh perempuan itu dan terjadilah mukjizat -- dari sebuah buli-buli yang minyaknya tinggal sedikit, keluar sangat banyak minyak, hingga memenuhi banyak bejana. Setelah bejana-bejana tersebut penuh, ia tidak segera menggunakannya, namun kembali mendatangi Nabi Elisa sambil bertanya mengenai apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kemudian, Nabi Elisa membimbing perempuan tersebut untuk menjual minyak tersebut dan menggunakannya dengan tepat. Apa yang dilakukan oleh janda tersebut patut diteladani, yaitu bertanya kepada Tuhan agar dapat menggunakan uangnya dengan tepat.

Surat Yakobus berpesan agar "apabila seseorang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintanya kepada Allah yang selalu bersedia memberikannya dengan sukarela" (Yakobus 1:5). Berkat Tuhan bukan masalah jumlah tetapi bagaimana menggunakannya.

Pembicaraan tentang uang di dalam gereja biasanya hanya menyentuh level permukaan semata. Gereja hanya mengajarkan kekudusan dalam mencari uang dan dorongan untuk memberikan sejumlah uang bagi keperluan gereja. Di luar dua aspek ini, keuangan sangat jarang dibahas secara intensif dan mendalam. Mengapa kita perlu membicarakan masalah keuangan, apalagi khusus di dalam hubungan suami istri (keluarga)? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan di atas.

  • Alkitab banyak membicarakan tentang materi: uang, kekayaan, utang, dsb.. Data statistik ini dapat diperpanjang jika memasukkan binatang ternak, perhiasan, tanah dan rumah, yang semuanya ini merupakan indikator kekayaan orang pada masa kuno. Perumpamaan Yesus juga banyak berkaitan atau mengajarkan tentang uang seperti Matius 18:23-35; 13:44-46; 20:1-16; Markus 4:18-19; 12:1-2; Lukas 7:41-43; 10:29-37; 11:5-8; 18:1-8; 12:16-21; 14:12-24; 16:1-13, 19:11-27). Dalam khotbah di bukit, Yesus tidak lupa membicarakan tentang harta (Matius 6:1-4, 19-6:34). Kita dapat menyimpulkan bahwa pemuridan yang sejati melibatkan konsep dan penggunaan uang yang benar.
  • Uang merupakan salah satu godaan terbesar bagi orang percaya. Bileam tergiur dengan uang (Bilangan 22:1-34; Ulangan 23:4-5; Yosua 24:9-10; Nehemia 13:2; 2 Petrus 2:15-16; Yudas 1:11; Wahyu 2:14). Gehazi, asisten Elisa, jatuh dalam dosa ketamakan (2 Raja-raja 5:20-27). Demas, rekan sekerja Paulus, memilih untuk mencintai dunia (2 Timotius 4:10). Yesus sendiri pernah dicobai iblis berkaitan dengan materi (Matius 4:3, 8-9), namun Dia berhasil bertahan. Paulus bahkan menyebut akar segala kejahatan adalah cinta uang (1 Timotius 6:10a).
  • Kita hidup dalam dunia yang materialistis dan konsumtif. Orang mengagungkan kekayaan dan kenyamanan hidup. Kesuksesan diukur dengan jumlah kekayaan. Tanpa sadar kita juga terus dibombardir dengan berbagai macam iklan yang menarik kita pada kehidupan yang konsumtif. Serangan ini dapat kita jumpai di rumah (TV, surat kabar, majalah) maupun di jalan (radio, papan reklame, dsb.). Di sisi lain, kita yang miskin semakin terjepit. Harga barang yang mahal dan tuntutan untuk terus hidup "secara normal" (dalam arti mengikuti standar hidup mayoritas orang) membuat kita yang miskin semakin sulit menempatkan diri.
  • Hampir setiap hari orang bersentuhan dengan uang. Tanpa disadari kita selalu memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan uang. Kita harus mengambil keputusan tentang keuangan, dari pengeluaran yang sifatnya rutin dan kecil, sampai yang insidental dan besar. Situasi ini menjadi lebih serius ketika kita hidup pada zaman semuanya "tidak ada yang gratis".
  • Masalah keuangan telah menjadi faktor signifikan dalam perceraian. Banyak konselor keluarga meyakini bahwa lebih dari 50 persen perceraian di Amerika disebabkan oleh masalah keuangan (Ed Young, Sepuluh Perintah Pernikahan, 126). Howard Dayton (presiden Crown Ministry) dan Larry Burkett (presiden Christian Financial Concepts) sepakat bahwa 50 persen perceraian memang disebabkan masalah keuangan (Don & Sally Meredith, Keduanya Menjadi Satu, 278). Angka ini melebihi faktor perselingkuhan (seks).

Masalah Keuangan dalam Keluarga

Masalah yang berkaitan dengan keuangan keluarga sangat beragam. Uang yang terlalu banyak sering kali mengubah pola relasi suami istri menjadi relasi yang berorientasi pada materi. Uang yang melimpah juga menggoda suami istri untuk hidup dalam dunia dan kesenangan sendiri-sendiri, karena mereka memiliki berbagai alternatif aktivitas yang mampu mereka dapatkan dengan uang tersebut. Dengan uang yang melimpah orang cenderung untuk melakukan aktivitas di luar rumah atau memuaskan diri dengan barang-barang tertentu di rumah. Akibatnya, materi dan kenyamanan hidup menjadi prioritas utama dalam keluarga. Relasi dalam keluarga (kasih, perhatian, pemahaman, dsb.) menjadi terpinggirkan. Orang cenderung berpikir bahwa uang yang melimpah tersebut dapat menjamin kebahagiaan dalam keluarga. Sebaliknya, uang yang sedikit juga sering menimbulkan kekhawatiran dan pertengkaran. Dalam keluarga yang sangat miskin, pertengkaran ini menyentuh hal-hal yang sangat fundamental untuk hidup, misalnya kontrak rumah dan makanan sehari-hari. Dalam keluarga yang sederhana atau menengah, masalah ini merupakan pertentangan antara "idealisme hidup" dan situasi keluarga. "Idealisme hidup" mendorong orang untuk memiliki alat-alat kenyamanan hidup (TV, VCD/DVD player, kendaraan bermotor, dsb.), memberikan makanan yang terbaik bagi anak-anak (makanan yang baik sering kali disalahartikan dan diidentikkan dengan makanan yang mahal), pendidikan yang maju untuk anak-anak, dsb.. Ketidakmampuan mencapai "idealisme hidup" ini sering kali dipahami sebagai "hidup dalam kekurangan", sehingga pemahaman ini bisa berpotensi menimbulkan pertengkaran dalam sebuah keluarga. Situasi ini akan menjadi semakin parah apabila istri secara eksplisit menyatakan penyesalannya mengapa dia menikah dengan orang yang salah. Dalam beberapa kasus kekurangan ekonomi keluarga bahkan dapat memicu berbagai tindakan kriminal. Jika ini yang terjadi, maka berbagai masalah lain akan segera menyusul dan membuat keadaan keluarga menjadi semakin parah.

Terlepas dari jumlah uang yang dimiliki, masalah paling serius dalam keuangan keluarga berhubungan dengan cara pengelolaan keuangan yang buruk. Pengelolaan yang buruk pasti akan membuat jumlah berapa pun tampak tidak pernah cukup. Yang termasuk pengelolaan keuangan yang buruk antara lain gaya hidup yang terlalu pelit (sehingga anggota keluarga tidak bisa menikmati hidup), gaya hidup yang boros (sehingga tampak selalu berkekurangan dan tidak ada pertumbuhan finansial dalam keluarga itu), penggunaan kartu kredit yang tidak bijaksana (sehingga terjebak pola hidup konsumtif), keputusan yang tidak tepat ketika meminjam uang di bank (sehingga bunga bank semakin menambah masalah keuangan yang sudah ada), eksperimen bisnis yang kurang matang (sehingga menimbulkan kerugian finansial yang tidak sedikit dan keluarga bisa terjerat utang di mana-mana), dsb.. Masalah keuangan yang lain adalah penghasilan istri yang lebih besar daripada suami. Dalam sebuah kultur yang meletakkan tanggung jawab ekonomi terutama dan hanya pada suami sebagai kepala keluarga, penghasilan istri yang besar bisa berpotensi mengganggu keharmonisan pernikahan. Istri bekerja bukan sebagai sebuah panggilan Tuhan yang unik bagi dia, namun sebagai usaha untuk membantu suami mencari uang. Motivasi bekerja yang salah seperti ini dapat menumbuhkan benih ketidakpercayaan atau ketidakhormatan terhadap suami. Dari pihak suami sendiri -­ terutama yang berpenghasilan kecil dan harus "dibantu" oleh istri -­ situasi seperti ini sudah mengganggu harga dirinya. Dia merasa takut tidak dihargai lagi, sehingga cenderung mencari cara-cara pelampiasan tertentu untuk dihargai, misalnya sikap yang kasar terhadap istri dan anak-anak.

Uang Bukan Masalah

Dari penjelasan sebelumnya kita mungkin mendapat kesan bahwa uang pada dirinya sendiri merupakan masalah dalam keluarga. Kita melihat uang sebagai sesuatu yang sangat sekuler, berbahaya dan harus dihindari. Dari perspektif Alkitab, uang sebenarnya adalah netral dan bukan sumber masalah. Inti masalah terletak pada cara pandang kita terhadap uang. "Akar segala kejahatan bukanlah uang, tetapi cinta uang." (1 Timotius 6:10) Hal ini sangat terkait dengan realita bahwa "di mana harta kita berada di situ hati kita berada" (Matius 6:21). Dengan kata lain, seberapa tinggi kita meletakkan uang dalam prioritas hidup kita, hal itu akan memengaruhi pengelolaan keuangan kita. Godaan untuk mencintai harta bertumbuh subur dalam budaya modern yang mengagungkan materialisme dan konsumerisme. Bagi orang Kristen, situasi ini pasti menimbulkan ketegangan yang tidak mudah, karena konsep Alkitab sangat bertentangan dengan materialisme dan konsumerisme. Tabel berikut menggambarkan perbedaan sudut pandang antara budaya modern dan Alkitab.

Sudut Pandang Modern

  1. Uang adalah pusat hidup.
  2. Uang menentukan kebahagiaan.
  3. Memiliki uang banyak akan memberikan kepuasan.
  4. Kekayaan adalah jaminan masa depan.
  5. Kepala keluarga yang baik adalah yang mampu mencari uang sebanyak-banyaknya.
  6. Rasa cukup didasarkan pada jumlah kekayaan yang dimiliki.
  7. Batasan hidup berkecukupan adalah terpenuhinya "idealisme hidup" modern.

Sudut Pandang Alkitab

  1. Carilah dahulu Kerajaan Allah (Matius 6:33).
  2. Berjaga dan waspada terhadap ketamakan (Lukas 12:15).
  3. Yang mencintai uang dan kekayaan tidak akan pernah puas (Pengkhotbah 5:10).
  4. Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (Mazmur 46:1-2).
  5. Kepala keluarga yang baik adalah bukan hamba uang (1 Timotius 3:3).
  6. Rasa cukup adalah hasil dari proses belajar (Filipi 4:11).

Bagaimana ciri-ciri orang yang termasuk kategori hamba uang? Pertanyaan ini sulit dijawab. Asal ada makanan dan pakaian cukup (1 Timotius 6:8); dengan kekuatan Tuhan kita bisa cukup sekalipun dalam kekurangan (Filipi 4:12-13) berdasarkan 1 Timotius 6 saja. Penyelidikan Alkitab yang menyeluruh memberikan gambaran orang yang menjadi hamba uang sebagai berikut:

  1. Prinsip hidupnya adalah memburu, bukan sekadar mencari uang (1 Timotius 6:10). Dia tidak pernah merasa cukup.
  2. Mencintai uang lebih daripada Tuhan (Matius 19:16-26).
  3. Menganggap uang sebagai penentu kebahagiaan hidup dan kepastian masa depan (Lukas 12:15-21).
  4. Terlalu khawatir dengan uang (Matius 6:25-34).
  5. Hidupnya lebih memikirkan hal-hal duniawi daripada yang bernilai kekal (Matius 6:19-24; Yohanes 6:27).

Prinsip Alkitab Tentang Materi (Keuangan)

Hal terpenting yang harus kita pahami adalah isu tentang kepemilikan. Kita kadang berpikir atau menggunakan uang kita seolah-olah 90 persen milik kita dan 10 persen milik Tuhan. Kita menganggap bahwa kita bebas menggunakan yang 90 persen sesuka hati kita. Allah hanya menuntut dan mengurusi yang 10 persen. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ulangan 8:17-18; 1 Tawarikh 29:14,16) dan tetap menjadi milik Tuhan (1 Tawarikh 29:11,16). Konsep selanjutnya yang perlu kita pahami adalah fungsi utama materi yang kita miliki. Sama seperti semua hal yang lain, kekayaan juga dari, oleh, dan untuk Allah (Roma 11:36). Segala sesuatu harus melayani Tuhan (Mazmur 119:91). Kita harus memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9).

Dari dua konsep di atas kita belajar bahwa kita hanyalah pengurus atau penatalayan (steward). Di satu sisi, Allah memang memberikan ruang bagi kita untuk menikmati apa yang kita miliki selama kita menyadari bahwa hal itu adalah kesenangan dari Allah (Pengkhotbah 3:13). Artinya, kita tetap melihat kenikmatan itu sebagai milik Tuhan yang diberikan kepada kita untuk dinikmati. Yesus pun beberapa kali menghadiri pesta (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9; Lukas 15:1-3; Yohanes 2:1-11). Pendek kata, kesenangan yang kita nikmati harus berupa ucapan syukur atas kebaikan Tuhan di dalam hidup kita.

Di sisi lain, kita harus memikirkan uang kita untuk memuliakan Allah. Memuliakan Allah di sini bukan sekadar memberikan perpuluhan (Maleakhi 3:10; Matius 23:23) dan persembahan khusus lainnya untuk mendukung pelayanan (Lukas 8:1-3), tetapi bagaimana kita mengaitkan semua yang kita miliki dengan Allah. Kita harus ingat bahwa memiliki kekayaan bukanlah tujuan, tetapi sarana. Abraham diberkati supaya ia memberkati orang lain (Kejadian 12:1-3). Yusuf diberi jabatan dan kekayaan supaya ia dipakai Tuhan memelihara hidup banyak orang (Kejadian 45:5,7).

Kalau memang kekayaan adalah berkat Tuhan dan bukan hasil usaha kita (Amsal 10:22) serta kita diberi kekayaan yang melebihi orang lain, bukankah seharusnya kita perlu bertanya, "Apa maksud Tuhan memberkati aku secara berlebihan?" Dalam setiap pengeluaran kita, bahkan yang paling kecil sekalipun, kita harus mulai belajar untuk bertanya, "Apa hubungan hal ini dengan Allah?", "Apakah ini akan memuliakan Allah?", "Haruskah aku memakai uang untuk keperluan ini atau hal yang lain yang mungkin lebih memuliakan Tuhan?"

Sebagai seorang penatalayan kita juga harus menyadari bahwa Tuhan sering kali memakai kita untuk memelihara hidup orang lain. Yang tidak boleh kita lupakan adalah orang tua atau keluarga kita. Beberapa orang Kristen sangat loyal terhadap pekerjaan Tuhan maupun sesama orang Kristen, tetapi mereka justru melupakan orang tua. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh orang Farisi dan mereka sudah dikecam oleh Yesus (Matius 15:4-6). Paulus mengajarkan bahwa tanggung jawab utama terhadap janda-janda miskin seharusnya terletak anak atau cucu mereka yang sudah beriman, setelah itu baru gereja (1 Timotius 5:4). Mereka yang tidak mau memerhatikan keluarga bahkan disamakan dengan orang murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak percaya (1 Timotius 5:8).

Selain orang tua (dan keluarga), kita juga perlu mengutamakan mereka yang tidak memiliki sandaran hidup. Di dalam Alkitab Tuhan memberikan perhatian khusus kepada orang miskin, para janda dan anak yatim piatu, karena mereka hanya mengandalkan kemurahhatian Tuhan melalui orang lain (Keluaran 22:22,24; Ulangan 10:18; 14:29; 16:11,14). Khusus dalam konteks tubuh Kristus, kita harus memerhatikan prinsip keseimbangan: yang kuat menanggung yang lemah (2 Korintus 8:13-14). Kita perlu mengutamakan saudara seiman daripada orang luar (Galatia 6:10). Bagaimana dengan keluarga Kristen yang miskin? Apakah mereka tetap harus belajar memberi? Jawabannya adalah "iya". Kemiskinan kita bukanlah halangan untuk bermurah hati terhadap orang lain. Memberi adalah suatu karunia dan tidak hanya dikhususkan bagi orang kaya (Lukas 21:1-4; 2 Korintus 8:1-9). Semua harus berprinsip bahwa "terlebih berkat memberi daripada menerima" (Kisah Para Rasul 20:35). Kalau kita merasa selalu tidak cukup, kita harus belajar mencukupkan diri (Filipi 4:11) melalui kekuatan Tuhan (Filipi 4:13), sehingga kita bisa belajar memberi untuk orang lain. Sikap ini memang tidak mudah dan membutuhkan proses, tetapi paling tidak kita harus mulai mengarah ke sana sampai kita bisa berkata "asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu." (1 Timotius 6:8).

Aplikasi Praktis

Berdasarkan pemahaman teologis di atas, kita perlu mengatur ulang dan merencanakan pengeluaran kita sebaik-baiknya. Berikut ini adalah beberapa hal praktis yang perlu kita atur.

  1. Alokasi keuangan secara baik. Pedoman yang paling sederhana dan bisa diaplikasikan oleh banyak orang adalah seluruh penghasilan kita dipotong 10 persen untuk perpuluhan (Maleakhi 3:10; Matius 23:23). Berikan ucapan syukurmu yang kita kenal dengan tanda kasih kita kepada Tuhan sesuai dengan imanmu (persentasinya terserah kepada keputusan keluargamu), kalau boleh sisihkan 10 persen untuk disimpan. Setelah itu kita bisa menggunakan yang sisa untuk kehidupan kita sehari-hari dan untuk berbagi dengan sesama. Persentasi ini sifatnya tidak mengikat (kecuali perpuluhan karena itu adalah milik Tuhan, kita hanya mengembalikannya kepada Tuhan). Bagaimanapun, kita harus terus belajar agar semakin hari semakin tidak egois.
  2. Tuliskan dan evaluasi ulang semua pengeluaran yang ada. Apakah ada pengeluaran yang bisa ditiadakan, dihemat, dan dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat?
  3. Buatlah perencanaan keuangan untuk beberapa tahun ke depan (target) yang menurut kita paling ideal dari banyak sisi (Alkitab, keharmonisan keluarga maupun prinsip humanitas).
  4. Pikirkan cara tertentu untuk meningkatkan penghasilan tanpa mengorbankan waktu bersama keluarga, pengawasan terhadap anak maupun waktu untuk Tuhan.
  5. Berdoalah bersama pasangan untuk kelemahan kita yang khusus di bidang keuangan, misalnya terlalu khawatir, terlalu mengingini milik orang lain, terlalu konsumtif, boros, pelit, dsb..

Sebanyak apa pun uang yang kita miliki, jika kita tidak mengelolanya dengan baik, pasti akan cepat habis. Begitu juga sekecil apa pun uang yang kita miliki, jika kita tidak mengelolanya dengan baik, maka akan cepat habis juga. Kedua hal tersebut sama-sama membutuhkan sentuhan terampil dari si pemilik uang.

Salah satu sumber pertikaian dalam rumah tangga adalah uang. Kurang uang kita bertengkar; kelebihan uang kita pun bertengkar. Bagaimanakah caranya mengatur masalah keuangan sehingga tidak harus menjadi penyebab perselisihan?

  1. Kita harus menyamakan persepsi terhadap uang dan sudah tentu kita harus kembali kepada Firman Tuhan. Amsal 11:24, "Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa namun selalu berkekurangan." Kesimpulannya adalah bahwa Tuhan adalah pemberi berkat dan bahwa usaha manusia terbatas dan tidak menentukan pemasukannya. Jadi, kita harus selalu menyadari keterbatasan diri dan bergantung pada Tuhan, bukan pada kekuatan sendiri.
  2. Kendati berkat berasal dari Tuhan, kita diminta untuk hidup rajin dan tidak malas. Firman Tuhan mengingatkan, "Janganlah menyukai tidur supaya engkau tidak jatuh miskin; bukalah matamu dan engkau akan makan sampai kenyang." (Amsal 20:13) Dengan kata lain, kemalasan adalah jalan tercepat menuju kepada kemiskinan.
  3. Uang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga sendiri sebelum digunakan untuk kepentingan orang lain. Firman Tuhan mengingatkan, "Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman" (1 Timotius 5:8).
  4. Setelah memenuhi kebutuhan pokok keluarga, kita harus memikirkan kebutuhan sesama. Tuhan menjanjikan berkat bagi orang yang murah hati. Amsal 22:9 berkata, "Orang yang baik hati akan diberkati karena ia membagi rezekinya dengan si miskin."
  5. Menyimpan uang adalah sebuah kebiasaan hidup yang bijaksana untuk mengantisipasi pengeluaran tak terduga dan merupakan tanda hidup berdisiplin. Itu sebabnya, firman Tuhan mengajak kita untuk belajar dari "semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas." (Amsal 30:25)
  6. Setelah menyisihkan uang untuk pengeluaran tak terduga, hiduplah sebagai orang beriman, bukan seperti orang tak beriman. Jangan sampai kita menumpukkan harta demi berjaga-jaga seakan-akan tidak ada Tuhan yang memerhatikan dan memelihara kita. Firman Tuhan mengingatkan, "Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?" (Matius 6:30) Melalui perumpamaan orang yang kaya yang bodoh yang membangun lumbung yang lebih besar untuk menyimpan gandum dan barang-barangnya, Tuhan Yesus mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya" (Lukas 12:15).
  7. Singkat kata, uang adalah titipan Tuhan kepada kita untuk digunakan terutama untuk kepentingan-Nya, bukan kita. Jadi, janganlah kita menggenggamnya sebagai milik pribadi.
  8. Akhirnya buku Kolose 3:17 mengatakan, "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Kolose 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Bandingkan dengan Maleakhi 3:8-12).

Semoga tulisan ini menambah perbendaharaan kita untuk mengelola keuangan yang kita miliki baik dalam rumah tangga kita masing-masing.

Catatan: Tulisan ini telah disunting seperlunya oleh Redaksi e-Konsel.