Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Wanita dan Depresi

Ada satu penelitian yang menarik perhatian saya yang terdapat di journal of Personality and Social Psychology, Vol. 70, No. 3 (March, 1996). Penelitian yang diberi judul, A "Feminine" Model of Vulnerability to Depressive Symptoms: A Longitudinal Investigation of Middle-Aged Women disusun oleh Joice T. Bromberger dan Karen A. Matthews. Melalui penelitian ini, kedua periset memperlihatkan bahwa beberapa karakteristik tertentu yang acap kali diasosiasikan dengan sifat kewanitaan ternyata menambah kerawanan wanita setengah baya terhadap depresi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di bawah ini akan diuraikan tiga karakteristik kewanitaan yang memperbesar kemungkinan wanita mengidap depresi, baik wanita usia setengah baya maupun wanita usia kuliah (berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu).

Karakteristik pertama dijuluki kurang instrumental, yang berarti kurang berani bersikap tegas, kurang berorientasi pada tugas dan kurang dominan. Biasanya karakteristik instrumental ini dihubungkan dengan karakteristik kelaki-lakian. Rupanya karakterist instrumental ini berpengaruh positif dalam diri kita, baik pada ma mengantisipasi stres (sebelum stres datang) maupun pada saat menghadapi stres itu sendiri (setelah stres datang).

Ciri instrumental dikaitkan dengan kemampuan bersikar tegas (assertive - Saya indonesiakan, asertif) yang berarti bahwa kita dapat mengungkapkan isi hati secara jelas, langsung, dan tidak dengan nada menyerang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makin mampu kita mengekspresikan diri secara asertif, makin kuat daya tahan kita dalam menghadapi stres, dan makin kecil kemungkinan kita terserang depresi. Secara pribadi saya memandang depresi ibarat penyakit jantung koroner di mana salah satu penyebab umumnya adalah penyumbatan saluran darah ke jantung itu sendiri. Ketidakmampuan kita mengutarakan isi hati secara asertif ternyata menimbulkan "penyumbatan" emosional dalam batin kita. Kalau ini terjadi terus menerus dan dalam kurun yang berkepanjangan, maka rasa ketertekanan kita (stressed) pun makin menumpuk. Beban emosional yang menumpuk akan menyumbat kemampuan kita untuk menjalankan fungsi sehari-hari kita dengan lapang dan segar. Jika ini berlangsung terus, maka kita pun akan membuka pintu terhadap depresi. Kita tidak lagi merasa bergairah menghadapi hidup dan akhirnya perasaan hambar mewarnai pandangan hidup kita. Kita mulai membatasi pergaulan dengan orang lain dan kehilangan semangat memenuhi tanggung jawa kita sehari-hari. Semua ini adalah gejala depresi yang sebenarnya merupakan tanda bahwa kita membutuhkan pertolongan.

Karakteristik instrumental juga dikaitkan dengan kemampuan dan kecenderungan kita terjun ke dalam tugas (taskoriented). Tak dapat disangkal, tugas atau kerja memang menyedot energi kita secara konstruktif sehingga sedikit banyak mengisi kehidupan kita secara positif pula. Tanpa aktivitas yang produktif, kita cenderung mengalami kehampaan dalam hidup dan akhirnya membuat kita kehilangan makna atau tujuan hidup. Lebih lanjut, tugas atau aktivitas membantu kita dalam menghadapi stres, karena melalui tugas itulah kita menyalurkan beban yang menghimpit kita.

Ada orang yang tidak terlalu berorientasi pada tugas dan cenderung santai tanpa arah. Tampaknya karakteristik ini dapat menambah kerentanan kita terhadap depresi. Stres sebetulnya adalah energi yang menekan kita; jadi, energi itu perlu dibuyarkan dan biasanya kita melakukan hal itu dengan cara terjun ke dalam tugas. Energi yang didiamkan akan menimbulkan penyumbatan emosional dan akan diserap masuk ke dalam tubuh dan jiwa. Tidak heran depresi membuat kita merasa terhimpit, seolah-olah ada yang menekan dada kita, karena sebenarnya stres itu merupakan energi atau kekuatan yang mempunyai bobot, sehingga berkemampuan menekan kita.

Karakteristik dominan dihubungkan pula dengan ciri instrumental. Ciri dominan adalah kebalikan dari ciri menerima atau menyerap sehingga makin dominan'kita, makin besar kemungkinannya kita akan mengambil inisiatif menghadapi stres. Sebaliknya, makin pasif, makin besar pula kemungkinannya kita hanya menyerap stres, yang akhirnya menumpuk dan menyumbat perasaan kita.

Karakteristik kedua yang dikonfirmasikan melalui riset ini ialah kecenderungan yang tinggi untuk tenggelam dalam diri sendiri. Tampaknya ciri ini lebih diasosiasikan dengan sifat kewanitaan dibanding dengan sifat kelaki-lakian. Lebih lanjut, ciri ini ternyata memberi sumbangsih terhadap kerawanan kita terhadap depresi. Salah satu gejala depresi ialah rasa putus asa dan sikap negatif terhadap hal-hal yang terjadi di sekeliling dan di hadapan kita. Dalam keadaan depresi kita merasa bahwa perjalanan yang pahit ini akan berlangsung terus tanpa akhir dan kita cenderung menepis uluran tangan yang menawarkan harapan. Perkataan kita bersumbu negatif dan muncul dalam bentuk, "Semua sama, tidak ada yang bisa menolongku."

Akibat langsung dari sikap negatif ini adalah kita makin tenggelam dalam kubangan stres. Kita gagal melihat aspek-aspek lain dari suatu permasalahan dan akhirnya kita hanyut dibawa arus keputusasaan. Tidak bisa tidak, kecenderungan kita untuk hanya memfokuskan perhatian pada diri kita saja akan makin mendorong kita terperosok masuk ke lembah depresi. Sebaliknya, apabila kita tidak terlalu banyak menghabiskan waktu menatapi dan meratapi kemalangan kita, kita pun akan lebih terbuka terhadap dunia luar dan lebih mudah melihat serta menyambut harapan.

Karakteristik ketiga yang menambah kerentanan terhadap depresi adalah menyimpan kemarahan. Ada yang meyimpulkan bahwa depresi sesungguhnya adalah kemarahan yang tak terekspresikan dan akhirnya berbalik arah menuju ke diri sendiri. Hasil riset ini ternyata mendukung kesimpulan tadi. Ketidakmampuan kita mengungkapkan isi hati biasanya mencakup kesukaran mengeluarkan emosi marah. Kemarahan ini bisa bersumber dari pelbagai tema, namun yang umum adalah tema ketidakadilan. Kita menganggap bahwa hidup ini (beserta para manusianya) tidak adil dan kita tak berdaya mengubah ketidakadilan ini. Hasil akhirnya, kita pun merasa terperangkap dalam situasi yang menyakitkan ini. Kita tak berdaya membela diri dan bersikap pasrah secara terpaksa. Perlahan-lahan kita merasa marah bUkan lagi terhadap mereka yang di luar kita, namun terhadap diri sendiri. Kita berhenti menyalahkan orang lain, malah kita mulai menyerang dan mempersalahkan diri sendiri. Pada puncaknya kita membenci diri sendiri karena menyaksikan betapa lemahnya (dan bodohnya, tak berdayanya) kita. Kunci kesembuhan adalah sikap asertif, agar kita bisa belajar mengutarakan diri dan terbuka terhadap ban tuan orang lain.

Hasil riset ini tidak memberi kita informasi yang baru dan mengejutkan, namun meneguhkan apa yang telah kita ketahui sebelumnya. Kita tak dapat hidup bebas dari stres atau lepas dari kesulitan. Kita hanya bisa memastikan agar kita hidup sehat agar kita lebih siap menghadapi stres tatkala is datang. Perkataan Tuhan yang dicatat di Yohanes 14:27 sungguh menyejukkan sukma; Ia sudah memberi kita damai sentosa. Mintalah kepada-Nya agar Ia membangkitkan kemampuan untuk mengalami damai sejahterasekali lagi dan sehari lagi.

Sumber
Halaman: 
2 - 3
Judul Artikel: 
Parakaleo, April Juni 1996, Vol.III, No. 2
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRII
Kota: 
Jakarta
Editor: 
Dr. Paul Gunadi, Dr. Yakub B.Susabda
Tahun: 
1996

Komentar