Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Bagaimana Mengatasi Rasa Bersalah yang Mendalam?
PERTANYAAN:
Bu, terus terang saja saat ini saya tidak tahu persis yang harus
saya katakan. Saya bingung, takut, sedih, merasa sangat bersalah,
campur aduk.
Saya anak pertama dari 3 bersaudara. Ayah sangat ingin saya menggantikannya dan meneruskan pekerjaan di toko kelontongnya yang cukup laku. Saya tidak mau, bahkan tidak menyukai pekerjaan seperti itu. Kami sering bertengkar, dan untuk menghindarinya saya jarang di rumah, kebanyakan ke gereja atau main dengan teman. Hubungan saya dengan ayah memang tidak dekat.
Bu, tiba-tiba ayah saya meninggal, katanya sih serangan jantung, tetapi saya kira dia meninggal karena saya. Malam itu saya diminta jaga toko, saya tidak mau. Memang dia diam saja, rupanya asyik baca koran dan saya langsung pergi karena sudah ada janji dengan teman. Tahu-tahunya malam itu saya dicari kemana-mana karena ayah masuk rumah sakit. Jam. 22.00 saya baru kembali dan ayah sudah tidak ada.
Bu, saya anak durhaka, ayah meninggal karena saya. Ibu dan adik-adik semua marah kepada saya. Saya tidak tahu bu, saya mesti bagaimana sekarang?
JAWAB:
Saya bisa memahami perasaan campur aduk khususnya rasa bersalah yang
anda alami karena suara hati-nurani yang terus menerus menuduh anda.
Meskipun secara rasionil anda bisa mengemukakan berbagai alasan,
pihak lain anda tahu ada banyak kebaikan yang sebetulnya dapat anda
lakukan untuk menyenangkan hati ayah. Sebagian besar keinginan ayah
sebenarnya dapat anda penuhi, tetapi anda berkeras-hati dan selalu
tidak memenuhinya. Itulah sebabnya anda sekarang merasa sangat
bersalah. Apalagi orang yang kepadanya anda bersalah, tak dapat
dihidupkan lagi. Kemungkinan anda untuk bersujud dan meminta maaf
seolah-olah sudah tertutup selamanya. Bahkan anda merasa ikut andil
dalam kematian ayah.
Meskipun demikian, saya harap anda berhati-hati dengan sikap anda terhadap diri sendiri. Perasaan anda di tengah kondisi yang seperti ini harus diwaspadai karena anda berada di persimpangan jalan. Anda bisa berdukacita dengan "godly sorrow"/dukacita surgawi sehingga menghasilkan pertobatan (II Kor 7:10) atau anda bisa berduka dengan dukacita orang yang tak berpengharapan (I Tes 4:13). Dukacita yang kedua ini hanyalah menifestasi self-blaming/menyalahkan diri seperti yang dikatakan John Donne bahwa,"...any man's death diminishes me, because I am involved in mankind"[1]/setiap kematian menekan saya, karena saya terlibat dalam kehidupan manusia.
Pada akhirnya dengan duka-cita yang keliru ini anda akan tenggelam dalam kesedihan dan menghukum diri sendiri. Semoga anda tidak melakukan hal ini, karena anda bisa membuka diri untuk gejala lain yang lebih buruk yang Freud sebut pathological[2]/tidak sehat lagi. Yang terpenting bagi anda sekarang ini adalah membuktikan diri bahwa anda mencintai ibu dan adik-adik. Kekuatiran dan kebingungan anda memang wajar karena anda masih bingung, peran apa yang akan anda ambil sekarang ini. Anda belum biasa memikul tanggung-jawab seorang dewasa oleh sebab itu mulailah dengan langkah-langkah pertama yang kongkrit dulu yaitu mengisi peran ayah dan mengupayakan supaya toko kelontong yang ayah banggakan itu tidak hancur. Olin & Olin mengatakan dengan tepat bahwa, "the transition from having little awareness and then acceptance of owning up to the responsibility of directing one's life is a gradual process. Bereavement can enhance this process[3]/duka-cita yang sehat seharusnya menghasilkan proses kehidupan yang baik yaitu transisi dari kurangnya kesadaran sampai kemudian bisa menerima serta memiliki tanggung-jawab dalam kehidupan.
Anda belum terlambat, dan jangan menolak kesempatan yang Tuhan berikan pada anda untuk menunjukkan tanggung-jawab pada seluruh keluarga. Kiranya Tuhan menolong dan menguatkan anda pada masa-masa yang sulit ini.
- Donne, J. (1941). Complete Poetry and Selected Prose of John Donne, "Devotion," XVII. New York: Modern Library, p. 332.
- Freud, S. "Mourning and Melancholia" in Collected Papers, Vol. 4. London: Hogarth Press, pp. 152-170.
- Olin, H & Olin, G. (1975). "Bereavement, an Opportunity for Emotional Growth" in Death and Ministry, New York: Seabury Press, pp. 88-91.