Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I

Kewalahan Menghadapi Anak

Pertanyaan:

Saya mempunyai 2 orang anak laki-laki, Adi (14 th) dan Ario (12 th). Entah mengapa mereka selalu bertengkar setiap hari dan bermusuhan. Tingkah laku mereka juga tidak sopan dan tidak menghargai kami sebagai orangtua. Kami memang punya andil dalam hal ini, memang 10 tahun pertama pernikahan kami sangatlah berantakan. Kami bertengkar hampir setiap hari terutama karena ibu mertua saat itu tinggal bersama kami dan selalu ikut campur dalam semua hal. Setelah beliau meninggal 2 tahun lalu barulah kami sedikit membaik, pertengkaran kami cepat selesai dan saya lebih lega. Untuk anak-anak sepertinya sudah terlambat, menurut kami mereka kurang ajar dan berani melawan. Apa yang harus kami lakukan Bu, saya dan suami sudah kewalahan.

Jawaban:

Anda perlu memahami bahwa mereka dibesarkan dalam suasana yang kurang sehat. Di tengah "conflict habituated/terus-menerus bertengkar" dari Anda dan suami, anak-anak sebenarnya sudah membentuk pola tingkah laku dengan struktur yang tidak baik. Mereka tidak mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi masalah, sehingga pemicu yang kecil sudah bisa menjadi konflik besar. Untuk menghadapi hal-hal yang semacam ini ada beberapa saran yang dapat Anda pikirkan

  1. Kekompakan

    Anda dan suami, walaupun sudah jarang bertengkar, harus belajar untuk menyatukan sikap dan pikiran. Anda harus kompak dalam menghadapi anak-anak, untuk itu komunikasi yang benar-benar dewasa harus dilatih dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap masalah hendaknya dibicarakan secara matang dan Anda tidak terpancing untuk meresponi secara spontan dan subjektif atas sikap dan kata-kata dari anak-anak Anda. Dengan kata lain, Anda sendiri akan belajar menjadi model yang dapat dilihat dan diteladani dari dua individu yang saling menghormati dan mengasihi.

  2. Pribadi

    Anda dan suami harus belajar membina hubungan pribadi dengan anak-anak kalian. Adakan waktu secara rutin dengan mereka, biasakan berbagi pengalaman dan perasaan Anda. Jangan malu untuk mengakui kesalahan dan kalau memang salah, Anda bisa minta maaf. Bagikan pengalaman dan pergumulan Anda sendiri, mereka sudah bisa diajak berpikir dan tidak boleh diperlakukan sebagai anak kecil.

  3. Rohani

    Sebagai orang-orang beriman, Anda seharusnya menjadikan iman sebagai landasan pengalaman pribadi bersama dengan Tuhan yang nyata. Kita percaya bahwa Allah dalam Tuhan Yesus Kristus adalah Allah yang hidup. Dalam iman kepada Tuhan tidak ada kata terlambat (Yesaya 1:18). Kuasanya yang melampaui segala akal akan hadir dalam kehidupan kita jikalau kita hidup diperkenan oleh- Nya. Mulailah, Anda merenung dan tanyakan pada diri Anda sendiri, bagaimana kondisi kerohanian Anda berdua. Pembaharuan hidup ini bisa dimulai dengan langkah-langkah pertobatan yang nyata yaitu pembaharuan system kehidupan pribadi Anda sendiri. Semoga Tuhan memberkati!

Sumber
Halaman: 
4
Judul Artikel: 
PARAKALEO No. 2 Edisi: April-Juni 2005

Anak tiri dan mantan istri

Saya telah 1,5 tahun menikah dengan duda cerai yang memiliki 2 anak berumur 10 dan 11 tahun.
Anak-anak diasuh secara co-parenting, setiap akhir minggu mereka "pindah" ke rumah orang tua yang lain.

Anak-anak sangat manja dan tidak disiplin.
Mainan dan pakaian dilempar seenaknya. Kalau diminta membereskannya, mereka melengos dan tidak menghiraukan.
Anak yang perempuan gemar bertukar pakaian dan gemar menyembunyikan pakaian kotor di pojok-pojok ruangan. Anak yang laki-laki gemar "memproduksi" gelas kotor, piring kotor, pisau-sendok-garpu kotor :)

Suatu ketika ibu mereka meninggalkan baju kotor anak-anak selama 2 minggu di rumah kami. Saya memang belum bekerja, tapi saya juga tidak tahan terus diperlakukan seperti pembantu...
Ketika saya protes, suami saya malah membela bekas istrinya, dengan alasan "Kamu tidak tahu beratnya menjadi orang tua tunggal, yang harus mengerjakan semuanya sendirian, mulai dari bekerja, mengantar anak sekolah, memasak dll. Sekarang dia sedang membina hubungan baru dengan pria lain, mengertilah.."

Saya jadi jengkel dan menjawab, "Bukan saya yang membuat kalian bercerai, bukan saya yang menyuruh dia meninggalkan rumah untuk pria lain, bukan saya yang menyuruh dia bercerai, bukan saya yang minta dia melahirkan anak-anak... Lagipula, mengapa harus terasa berat mengurus anak sendiri? Bukankah itu kewajiban orang tua? Apalagi anak kandung sendiri!"

Hari itu kami bertengkar meski tidak di depan anak-anak. Saya memutuskan untuk pulang ke rumah saya sendiri (di kota lain), bahkan mengepak beberapa koper.

Di minggu yang sama, anak-anak melempar pakaian kotor dan mainan hampir di seantero rumah. Saya minta berkali-kali supaya mereka membereskannya, tapi mereka melengos dan cuek saja nonton TV.
Masih kesal dan sedih dengan kejadian sebelumnya, saya katakan saja (sambil menangis karena ngga mau marah) daripada saya jadi pembantu di sini, saya pulang saja... Di rumah saya sendiri, saya tinggal sendiri, tidak punya cucian kotor sebanyak ini. Koper sudah siap, saya bisa pulang kapan saja, kembali bekerja dan bertemu dengan keluarga dan teman-teman saya.

Anak-anak kaget. Mereka menangis dan mengadu ke ayah mereka.
Kemudian mereka membereskan pakaian kotor mereka yang bergeletakan.
Satu jam kemudian, mereka mendekati saya dan bertanya apa saya benar-benar mau pulang. Saya jawab, tidak; kalau mereka menjadi anak-anak yang baik dan tidak memperlakukan saya seperti pembantu.

Menurut suami saya salah jika "menyalahkan" anak-anak karena hubungan kami yang sedang tegang. Anak akan merasa bersalah dan bisa terbawa sampai dewasa. Anak tetap anak, walaupun saya tidak ada di sini mereka akan tetap berantakan.
Saya tahu itu, tapi saya tidak suka perlakuan mereka yang seenaknya. Mereka tidak bertingkah seenaknya di rumah ibu mereka. Wajar kalau saya merasa mereka sengaja "memperbabukan" saya. Terlebih sang ex istri baru saja memperbabukan saya.. Dan sang ayah membela.

Saya akhirnya berpikir kembali apa tujuan saya menikah, apakah ini tujuannya? Untuk menjadi upik abu?
Saya tidak memiliki anak dengan suami saya. Sebelum terlanjur jauh, saya pikir sebaiknya saya pulang saja. Masa depan saya lebih baik di tempat tinggal saya sendiri. Cinta tidak sepenting masa depan..
Suami saya cukup baik dan pengertian, malah terlalu baik dan terlalu perhatian sampai begini :)

Mungkin saya tidak objektif?

Formulir Konseling

Gagagaga 708,

Anda bisa memanfaatkan fasilitas konseling melalui Formulir Konseling yang sudah disediakan atau kirim email ke konsel(at)sabda.org. Konselor kami akan menjawabnya secara pribadi ke email Anda.

kerjaan

shalom mau tanya pak bgmn sebagai istri yang mau membantu meringankan biaya hidup dgn bekerja/usaha.tapi blm ada jln.apa yg hrs dilakukan?dibawa doa sdh pdhal rajin mau berusaha(sering jualan tp tdk hasil bagus)tolong hrs bgmn.tks.gbu.ditgg jwban nya

kerjaan

jd bgmn pak?

memberkati

terima kasih
sangat memberkati sekali

sore pak sy mau tanya mgenai

sore pak
sy mau tanya mgenai batasan dlm berpacaran yg mbuat bgung bbrp teman2 sya.
batasan apa saja?
apakah pegang tangan,cium pipi,pelukan........
hal2 spt itu berkenan di hadapan Tuhan???
mohon jawabannya..
terima kasih byk
sy tunggu jawabannya agar dpt menolong bbrp tman sy

Komentar