Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Tips: Penyesalan: Menolong atau Menghambat?
Edisi C3I: e-Konsel 059 - Dosa yang Membelenggu
Coba perhatikan pernyataan yang tidak umum ini: Penyesalan tidak seluruhnya buruk.
Pada zaman kita ini ketika orang didorong untuk merasa senang, tidak peduli apa pun yang terjadi, penyesalan dipandang sebagai satu emosi yang negatif, satu halangan bagi mental yang sehat, satu beban yang harus dibuang.
Susahnya adalah penyesalan merupakan akibat perbuatan yang salah. Demikianlah Allah menciptakan kita. Saya ingat beberapa waktu yang lalu ketika mengucapkan kata-kata tajam dalam satu percakapan-- pilihan kata-kata itu baik sekali, tetapi mengandung sengat. Perkataan itu melukai hati orang lain dan saya menyesal telah mengatakannya. Seharusnya saya tidak berkata sepedas itu dan bersikap lebih baik lagi.
Penyesalanlah yang mendorong saya untuk meminta maaf pada orang yang terluka hatinya. Penyesalanlah yang mendorong saya untuk mengakuinya kepada Tuhan. Penyesalan yang mendorong saya untuk menjaga lidah ini dengan lebih seksama pada masa yang akan datang.
Jikalau saya menolak untuk menghadapi rasa penyesalan, maka saya tidak dapat hidup terus sebagai orang Kristen.
Dalam sebuah buku yang berjudul, "Another Chance: How God Overrides Our Big Mistakes", saya menguraikan secara ringkas empat tahap dalam menghadapi dosa:
Pertama-tama kepercayaan diri timbul kembali, dengan pengertian Allah dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang buruk ini.
Kemudian timbul keinginan untuk menghadapi kesalahan itu. Apa yang terjadi tidak dapat dilupakan, disembunyikan dalam tumpukan kayu, atau di bawah karpet ataupun di tempat lainnya. Kita tetap bertanggung jawab.
Berikutnya, tibalah saatnya untuk mengaku -- mengutarakan kesalahan itu. Biasanya kita enggan untuk membicarakan dan melakukan hal ini. Tetapi kita harus berbuat demikian. Kita harus mengatakan hal yang sama yang Tuhan katakan -- bahwa hal yang terjadi itu melanggar perintah-Nya.
Akhirnya, kita dapat bergerak maju kepada hal-hal yang baru, harga diri yang diperbaharui, masa depan yang terbuka. Kita bisa tersenyum lagi sebab kita telah diampuni dan diperbaharui oleh Dia yang kasih setia-Nya itu untuk selama-lamanya.
Penyesalan adalah kekuatan pendorong, yang mendesak kita untuk masuk ke tahap yang kedua. Ini merupakan satu bagian yang penting dalam proses ini.
Akan tetapi, kita tidak boleh berhenti pada tahap kedua ini. Beberapa orang Kristen mengalami kesulitan untuk maju ke tahap yang berikutnya. Berulang-ulang mereka membangkitkan kembali dosa-dosa masa lalu, membesarkan, dan memutarbalikkan ceritanya. Allah tidak bermaksud demikian.
Setelah kita menyelesaikan tahap pengakuan ini, "sekarang tidak ada
penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus," (
Paulus menuliskan hal-hal di atas dari pengalaman pribadinya tentang penyesalan. Masa lalu Paulus mungkin akan membuat seorang ahli penyakit jiwa sibuk selama bertahun-tahun. Sewaktu-waktu Paulus dapat menutup matanya dan melihat dirinya sedang menjaga setumpukan jubah, sedangkan hanya beberapa meter saja dari tempatnya ia melihat Stefanus sedang dilempari dengan batu. Malah ia bisa mengingat sejumlah penggerebekan pada tengah malam terhadap keluarga-keluarga Kristen - mendobrak pintu, menyentak para suami, istri dan anak-anak dari tempat tidur mereka, dan menggiring mereka ke penjara. Ia telah menteror seluruh daerah mulai dari Yerusalem sampai Damaskus, sehingga tidak ada satu orang Kristen pun yang tidak gemetar ketika mendengar namanya disebutkan.
Bagaimana ia dapat mengatasi rasa bersalah itu? Penyesalan? Mimpi yang mengerikan?
Kepada gereja di Filipi ia menulis, "Bukan seolah-olah aku telah
memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya,
kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah
ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak
menganggap bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan:
aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri
kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk
memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus
Yesus" (
Seorang penasihat rohani di Akron, Ohio yang juga seorang mantan pendeta, Dr. Richard Dobbins, bercerita tentang seorang wanita yang berumur empat puluhan yang datang kepadanya. Sepanjang dua kunjungan, Evelyn (bukan nama sebenarnya), berbicara secara umum mengenai persoalan dan hidupnya, tetapi pada kunjungannya yang ketiga kebenaran pun timbul. Pada waktu berumur belasan tahun ia telah hamil dan telah menikah dengan pimpinan kelompok pemuda di gereja mereka tiga bulan sebelum anak mereka lahir.
Yang mengherankan ialah mereka tetap tinggal di daerah yang sama selama tahun-tahun itu dan hidup baik-baik sehingga akhirnya orang melupakan perbuatan yang tercela itu. Mereka pun masih terus menjadi anggota gereja yang sama. Tetapi Evelyn selalu ragu-ragu apakah suaminya sungguh-sungguh mencintainya atau telah mengawininya karena merasa berkewajiban berbuat itu. Suaminya mengatakan bahwa ia mengasihinya, ia seorang suami yang baik, tetapi toh ....
Sekarang terjadi suatu komplikasi yang menakutkan. Sahabat baiknya di SMA, yang mengetahui seluruh persoalannya, segera setelah kejadian itu pindah ke kota lain - tetapi sekarang ia akan kembali lagi ke kota itu. Dalam pikiran Evelyn, waktu dan keadaan seakan- akan tetap sama saja. Ia dan sahabatnya itu menjadi remaja kembali, dan hanya beberapa minggu saja kisah ini akan tersebar lagi ke seluruh kota.
Di kantor Dr. Dobbins ia mulai menangis tersedu-sedu. Dengan tenang Dr. Dobbins berkata, "Evelyn, sudahkah engkau memohon Tuhan mengampunimu?"
"Apa?" ia menjawab dengan air mata membasahinya. "Sudahkah aku meminta pengampunan Tuhan? Seratus kali!"
"Baiklah, sekarang percayakah engkau bahwa Ia telah mengampuni hal ini?"
"O, ya tapi bukan itu yang menjadi masalah. Masalahnya adalah bagaimana saya bisa mengampuni diri saya sendiri?"
Dobbins berdiam diri beberapa saat. Kemudian ia berkata, "Katakan padaku, apakah kau lebih suci daripada Allah?" Dobbins berhenti. "Haruskah Allah mengorbankan Anak-Nya lagi di salib demi hati nuranimu?"
Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Jika kematian Kristus cukup baik untuk memberi pengampunanmu di hadapan Allah, apakah itu tidak cukup baik untukmu?"
Evelyn tidak bisa berbicara. Kebenaran itu mulai meresap ke dalam rohnya. Selama sepuluh menit ia tidak bisa apa-apa kecuali menangis. Akhirnya ia mengangkat kepalanya, dan damai terbayang di wajahnya. Mereka berdoa bersama-sama, lalu Evelyn berkata, "Inilah pertama kali dalam waktu lebih dari dua puluh tahun saya tidak merasa terhukum."
Yesus telah mati agar umat Tuhan tidak berpegang terus pada rasa
bersalah dan penyesalannya. Itulah sebabnya