Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Hubungan Tanpa Restu Orang Tua
Edisi C3I: e-Konsel 130 - Tatkala Tidak Direstui Orang Tua
oleh Christiana Ratri
Menjalin hubungan tanpa restu orangtua bukanlah hal yang diinginkan setiap pasangan. Saat memutuskan untuk menikah pastilah mereka membutuhkan orangtua sebagai pembimbing dan "guru cinta" untuk menjalani lika-liku kehidupan berumah tangga. Artinya, restu orang tua terhadap hubungan dengan pasangan sangat diharapkan. Kenyataannya, banyak orang tua menolak untuk memberikan restu itu kepada anak dan pasangannya dengan dilandasi berbagai alasan.
Ada banyak perbedaan yang sering kali menjadi alasan mengapa orang tua menyatakan ketidaksetujuan mereka. Karena menikah bukan hanya menyatukan dua pribadi saja, tetapi juga dua keluarga. Masing-masing pihak mungkin memiliki perbedaan-perbedaan yang dianggap amat prinsip bagi orang tua dan dianggap tidak dapat membawa anaknya kepada rumah tangga yang bahagia kelak.
Orangtua dapat mengungkapkan ketidaksetujuan mereka melalui kata-kata, sikap tidak peduli atau sikap campur tangan yang berlebihan, dan bisa juga melalui tindakan-tindakan yang dengan jelas menunjukkan penolakan mereka.
Ketidaksetujuan orangtua terhadap hubungan anaknya selalu dilatari oleh sejumlah alasan. Mari melihat alasan-asalan tersebut.
1. Perbedaan agama
Salah satu perintah Tuhan dalam hal pasangan hidup adalah supaya kita memiliki pasangan hidup yang seimbang, dalam arti yang seiman, seperti yang tertulis dalam surat 2 Korintus 6:14-16. Akan tetapi, anak muda yang mengabaikan firman Tuhan, yang tetap menyebut diri Kristen, di zaman ini tidaklah sedikit. Alhasil, tak jarang muda-mudi kita banyak yang menjalin hubungan justru dengan pasangan yang tidak seiman. Tayangan televisi pun seolah menegaskan bahwa pasangan tidak seiman pun dapat tetap bersatu.
Perbedaan agama inilah yang sering menjadi alasan kebanyakan orangtua untuk tidak merestui hubungan anaknya. Penolakan tersebut bukan karena mereka tidak ingin melihat anaknya bahagia, tetapi tentu saja karena mereka merasa bertanggung jawab untuk membimbing anak mereka turut pada perintah firman Tuhan, termasuk dalam hal memilih pasangan hidup.
2. Perbedaan usia
Secara psikologis menikah dengan orang yang usianya terpaut sangat jauh memang dapat menimbulkan beberapa kendala. Hal itu juga dianggap tidak lumrah dan dapat menimbulkan pandangan yang kurang baik dari masyarakat. Hal-hal seperti ini sering kali dijadikan alasan orangtua untuk tidak merestui hubungan anaknya dengan orang yang berusia jauh lebih tua atau lebih muda dari anaknya. Selain tidak mau mendengar komentar negatif dari masyarakat, alasan yang paling kuat biasanya karena mereka tidak ingin banyak masalah terjadi dalam rumah tangga anaknya kelak karena perbedaan usia yang sangat jauh tersebut.
3. Latar belakang keluarga
Azas bibit, bebet, bobot (istilah Jawa) masih sangat memengaruhi pengambilan keputusan orangtua untuk merestui hubungan anaknya atau tidak. Artinya, dalam memilih pasangan hidup, orangtua ingin anak-anaknya memilih pasangan hidup dari keluarga baik-baik, sederajat dengan keluarga mereka, memiliki status sosial yang jelas dan baik dalam masyarakat, serta sehat jasmani dan rohani. Dari segi ekonomi pun masih banyak orangtua yang tidak ingin anaknya menikah dengan orang yang bertaraf ekonomi lebih rendah. Begitu juga dengan pendidikan, jabatan, dan lain sebagainya. Semuanya harus setara, jika bisa memilih yang lebih baik dari yang telah dimiliki sang anak. Tidak direstuinya hubungan anak karena alasan ini lebih banyak menyangkut harga diri keluarga, untuk menghindari tanggapan miring dari masyarakat, dan adanya ketakutan dari orangtua apabila anaknya kelak tidak bahagia jika bibit, bebet, dan bobotnya tidak seimbang dengan pasangannya.
4. Ras/suku
Di beberapa suku tertentu, menikah dengan orang bukan dari suku yang sama dianggap sebagai pelanggaran adat yang berat. Selain itu, pernikahan sesama suku ditujukan untuk menjaga kemurnian darah kesukuan mereka. Suku-suku tertentu bahkan menerapkan aturan jika ada anak yang menikah dengan pasangan yang bukan dari suku yang sama, warisan nenek moyang tidak akan jatuh ke tangan mereka. Biasanya hal seperti inilah yang sangat dihindari. Alasan yang lebih modern mengenai pernikahan antarsuku adalah perbedaan budaya kelak dapat menjadi pemicu perselisihan dalam rumah tangga anaknya.
5. Tidak sehat jasmani atau rohani
Inilah alasan lain mengapa orangtua tidak menyetujui hubungan anaknya. Adanya penyakit yang diidap oleh calon menantu, misalnya AIDS, kanker, cacat fisik, ataupun penyakit terminal lainnya dijadikan alasan kuat orang tua untuk tidak merestui hubungan sang anak. Kebanyakan orang tua akan berpikir bahwa penyakit atau cacat yang dimiliki oleh calon menantunya ini akan menjatuhkan harga diri keluarga serta hanya akan membuat anaknya menderita karena harus terus merawat pasangannya. Selain itu, mantan pencandu obat-obat terlarang pun sering kali tidak luput dari konsekuensi ini.
6. Masih ada hubungan keluarga
Ungkapan bahwa cinta dapat tumbuh kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja mungkin ada benarnya juga. Tidak sedikit terjadi kasus seseorang jatuh cinta pada saudara dekat (misalnya, kepada sepupunya, keponakannya, pamannya, dll.). Jika hal seperti ini terjadi, bukan saja orang tua tidak merestui, tetapi juga keluarga besar. Memang ini bisa menjadi alasan yang sangat kuat karena berdasarkan pernyataan yang sudah umum di masyarakat, pernikahan dengan saudara dekat dapat menghasilkan keturunan yang cacat. Untuk menghindari hal tersebut biasanya orangtua sangat berusaha memutuskan hubungan anak dengan pasangannya.
Jika orangtua tidak menyetujui dan tidak akan memberi restu akan hubungan ataupun pernikahan anak mereka, apakah reaksi yang diberikan sang anak? Reaksi yang paling aman sampai yang paling ekstrem dapat menjadi respons mereka menanggapi penolakan tersebut.
1. Menuruti keinginan orangtua
Saat orangtua mengatakan tidak pada hubungan si anak dengan pasangannya, biasanya hal ini dijadikan tanda bagi si anak bahwa hubungan ini bukan hubungan yang dikehendaki Tuhan. Selain itu, anak juga ingin menuruti firman Tuhan untuk selalu menghormati ayah dan ibunya. Memutuskan hubungan dengan pasangan dan menuruti kehendak orangtua merupakan salah satu bentuk pengorbanan anak. Si anak ingin menunjukkan baktinya kepada orang tua meskipun harus mengorbankan kebahagiaannya. Bisa pula ketika anak melakukan ini karena alasan yang dipakai orang tua untuk tidak merestui mereka adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan lapang dada oleh anak. Misalnya, calon menantunya ini tidak memiliki pekerjaan yang jelas atau bukan orang yang seiman.
2. Trauma untuk berhubungan kembali
Saat anak memilih menuruti kehendak orangtua untuk memutuskan hubungan dengan pasangannya, bukan tidak mungkin timbul trauma dari diri anak sebagai salah satu bentuk kekecewaannya yang terpendam. Anak menjadi trauma untuk berhubungan kembali dengan lawan jenis dan memutuskan untuk tidak menikah (melajang) seumur hidupnya.
3. Nekat melanjutkan hubungan meskipun tidak direstui
Banyak pasangan yang tetap bertahan dan memperjuangkan hubungan mereka walaupun orang tua tidak merestuinya. Mereka masih berharap orang tua dapat memberi restu di kemudian hari, meskipun akan banyak halangan dan pengorbanan untuk itu. Biasanya jika tetap tidak mendapatkan restu, mereka memutuskan untuk tetap menikah (kawin lari). Yang lebih membahayakan lagi jika mereka tetap melanjutkan hubungan dengan hidup bersama layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan yang sah (kumpul kebo).
4. Bunuh diri
Reaksi ini adalah reaksi yang bisa jadi paling tidak diinginkan orangtua. Tetapi bukan tidak mungkin hal ini menjadi keputusan anak. Saat merasa tidak mendapat restu dari orang tua dan segala perjuangannya untuk mempertahankan hubungan sudah gagal, si anak akan menunjukkan pemberontakannya dengan mengakhiri hidup. Kemungkinan ini bisa semakin terbuka lebar apabila dalam menyatakan penolakan orangtua hanya terus menerus menyalahkan anak, tidak mau mendengar pendapat anak, bertindak kasar, dan gelap mata terhadap anaknya.
Reaksi yang diberikan anak memang bisa berbeda-beda dan kadang di luar dugaan orangtua. Sebenarnya, jika ketidaksetujuan bisa disampaikan dengan baik disertai alasan yang sungguh masuk akal dan menyentuh hati si anak, reaksi yang ditimbulkan mungkin bukan reaksi yang merugikan (Kolose 3:21). Sebaliknya, orang tua pun harus bijak dengan mendengarkan terlebih dahulu alasan anak mengenai pasangannya tersebut, mencernanya, lalu menjelaskan alasan ketidaksetujuannya. Duduk bersama untuk tukar pikiran sebagai sesama orang dewasa tentu akan lebih membantu untuk mencari jalan keluar bersama. Berdoalah bersama-sama agar masing-masing pihak mengetahui kehendak Tuhan dalam hidup si anak (Efesus 5:17).
Untuk anak, jika berbagai macam usaha untuk berkompromi dengan orangtua menemui jalan buntu, itu bukan alasan untuk mengambil jalan lain dengan cara memberikan reaksi negatif. Jika pasangan kita tidak seiman, alasan orang tua untuk tidak merestui hubungan kita sebenarnya merupakan alasan yang baik. Firman Allah pun telah memberikan rambu-rambu ini pada kita (2 Korintus 6:14-16). Di sisi lain, walaupun kita sudah seiman jangan pula menutup telinga terhadap ketidaksetujuan orangtua kita. Kita juga perlu mendengarkan pendapat mereka sebagai salah satu pertimbangan bagi kita dalam mencari kehendak Tuhan.
Selain merugikan diri sendiri, reaksi-reaksi negatif yang ditunjukkan dengan tidak menjaga kekudusan, selain merugikan diri sendiri juga membawa kita jauh dari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Harapan agar dengan memperoleh kehamilan orangtua akan merestui hubungan merupakan hal yang tidak benar. Memang pada beberapa kasus, orangtua dengan terpaksa mengizinkan pernikahan anaknya daripada menanggung malu. Tapi itu bukan restu melainkan keterpaksaan. Namun, tidak jarang pula orangtua justru meminta anak untuk pergi jauh-jauh dari mereka dan hal itu dapat membawa masalah yang lebih kompleks lagi.
Kawin lari terkadang juga menjadi pilihan sebagai reaksi negatif anak terhadap ketidaksetujuan orangtua terhadap hubungan yang dijalinnya dengan pasangan. Dengan kawin lari (perkawinan yang sah walaupun tanpa restu orangtua) anak dan pasangannya berharap bisa mendapat restu dari orangtua ketika suatu saat mereka kembali pada orangtua. Pada beberapa kasus memang ada orang tua yang akhirnya merestui pernikahan anaknya karena ternyata menantunya memiliki sifat yang baik. Apalagi ketika pihak orang tua melihat rumah tangga anaknya yang bahagia.
Meskipun restu orangtua dan kebahagiaan rumah tangga bisa saja terjadi setelah kawin lari, bukan berarti hal sebaliknya tidak jarang terjadi. Segala perbedaan di antara keduanya, yang mungkin menjadi alasan orangtua untuk tidak merestui, bisa menjadi bumerang dalam rumah tangga. Malahan, tak jarang yang akhirnya bercerai.
Apa pun alasan orangtua untuk tidak merestui hubungan sepasang kekasih, jangan dijadikan sebagai alasan untuk tidak lagi menghormati orangtuanya (Efesus 6:1-3). Baik Anda maupun pasangan Anda, tetaplah menunjukkan rasa hormat dan sikap positif kepada mereka. Selain itu, tetaplah menjaga jalinan hubungan dan komunikasi yang baik dengan orangtua. Hal ini penting karena perbedaan pandangan yang ada mudah sekali menjadi konflik yang berkepanjangan.
Tetaplah bertekun dalam doa; satu hal yang tidak boleh kita tinggalkan di saat-saat membingungkan ini. Jika kita yakin hubungan ini benar dan dia memang pasangan hidup yang Tuhan sediakan bagi kita, bawalah permasalahan ini ke dalam tangan Tuhan. Doakan orangtua kita yang belum bisa memberikan restu, minta Tuhan supaya memberi pencerahan kepada mereka. Selain itu, dukungan doa dari saudara-saudara seiman juga akan menolong kita dalam menghadapi masalah ini (Matius 21:22; Roma 12:12; Filipi 4:6).