Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs C3I
Keindahan Kebersamaan Keluarga
Edisi C3I: e-Konsel 286 - Hubungan dalam Keluarga
Dalam keluarga, kita dapat mengalami hal yang indah melalui "fellowship" (hubungan) -- pada saat bersekutu hidup bersama, aslinya kelihatan. Emas bila dicampur logam menjadi karat yang berbeda-beda. Tetapi waktu dibakar dengan api, logamnya musnah, sisanya tinggal yang asli -- emas murni.
Siapa diri kita sebenarnya, dalam istilah psikologi: "The Real I" (Siapa saya yang sesungguhnya)? Tanpa topeng.
Bila kita becermin dan mengetahui siapa sesungguhnya diri kita, kita mungkin akan ketakutan setengah mati. Kitab Suci mengatakan bahwa kita adalah manusia yang berdosa, dari dalam hati muncul pikiran jahat, fitnah, percabulan, hujatan, dan iri hati. Waktu keadaan asli kita dibuka, terlihat sangat menakutkan.
Intisari Kitab Suci adalah Tuhan Yesus mati di kayu salib demi kita; diri ini seperti sampah yang baunya busuk, tetapi dengan kematian Kristus, Dia membawa kita ke tempat yang mulia, tempat yang indah.
Pada dasarnya, manusia menutupi dirinya dengan topeng yang berlapis-lapis. Kita ingin dikenal sebagai orang baik, ramah, dan supel, maka dari itu kita senang menebar senyum ke sana ke mari.
Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa (1 Yohanes 1:7-8).
Orang biasanya berlagak baik di depan orang lain, tetapi dalam keluarga kelihatan seperti apa dia sesungguhnya. Kita bisa berlaku ramah di gereja, toh hanya satu sampai dua jam. Latihan paduan suara, melayani Tuhan, beribadah, rapat, kita mampu bersikap seperti seorang yang baik. Namun, ketika kembali ke habitat sebenarnya, orang rumahlah yang paling tahu siapa Anda. Nanti yang bersaksi tentang kita di hadapan Tuhan bukan orang lain, tetapi anggota keluarga kita.
Mengutamakan Keaslian
Ini bukan berarti "be yourself" (menjadi diri Anda sendiri), sebagaimana adanya aku. Istilah "be yourself" memiliki kesan keras kepala -- aku mau menjadi diriku seperti ini, memang kenapa?
Hanya Tuhan dalam kesempurnaan-Nya yang berhak berkata "I AM that I AM" (Aku adalah Aku). Dahulu, sekarang, dan selamanya, Aku tidak berubah.
Sebaliknya, kita harus berubah menuju kesempurnaan. Keluarga berfungsi sebagai cermin. Memantulkan siapa sesungguhnya diri Anda. Waktu kita becermin, kelihatan semua jerawat kita. Cermin memantulkan apa adanya, bukan ada apanya.
Pasangan menjadi cermin, hanya istri yang berani berkata pada suami, "Kamu jadi orang kok kasar amat!" Di sisi lain, suami jadi cermin karena suamilah yang berani berkata pada istrinya, "Kenapa akhir-akhir ini kamu kok suka marah?"
Dalam keluarga, Anda bisa menunjukkan keaslian. Keluargalah yang menjadi bengkel, diri yang buruk "diservis" dan "di-tune-up" supaya lebih baik lagi.
Mengalami Kesalingan
Saling membantu, saling mendoakan, dan saling menopang. Selamanya manusia membutuhkan tiga hal: ditolong, diperhatikan, dan dikasihi.
Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi, pastilah frustrasi, susah hati, dan ujung-ujungnya kegilaan sudah menanti. Siapa yang memerhatikan kita? Siapa yang mau menolong kita? Siapa yang bisa mengasihi kita? Tetangga? Teman kantor? Tidak mungkin, bukan?
Jika anggota keluarga tidak memperoleh hal di atas, dia akan mencarinya di luar. Banyak remaja terlibat pergaulan bebas dan dunia narkoba, karena mencari pengakuan dari teman-temannya. Mengapa demikian? Karena di rumah, ia tidak mendapatkannya.
Papa sibuk bekerja. Mama beraktivitas di luar rumah terus. Akhirnya, anak remaja ini merasa dikasihi dan diterima saat dia berada di tengah teman-temannya. Apa kata temannya pasti dilakukan. Kalau melakukan yang baik, ini tidak masalah; kalau melakukan yang buruk? Sungguh menyedihkan. Karena itu, jangan egois, kita harus membangun semangat kesalingan di dalam keluarga.
Semangat kesalingan adalah simbiosis mutualisme. Lawannya, parasitisme -- aku memakan kamu. Sampai kurus kering, aku tidak peduli, yang penting aku tetap hidup.
Ada dua tipe egois:
1. Hanya bisa menerima saja.
Kebahagiaan, emosi, dan keputusan harus didapat dari orang lain. Orang lain yang harus membuatnya bahagia.
2. Hanya bisa memberi saja.
Ada motivasi tersembunyi ketika memberi, dia ingin dipuji. Jadi, sering kali ia memberi tanpa melihat kebutuhan orang yang diberi.
Yang paling sehat adalah serba bisa (interdependent) -- bisa memberi, bisa menerima, bisa mengasihi, bisa dikasihi, bisa memberi pendapat, dan bisa diberi masukan.
Mengalami Pengampunan dan Belas Kasihan
Apa yang membuat seseorang menjadi egois? Apa yang membuat seseorang tidak peduli kepada orang lain? Jelas, karena dalam hidupnya tidak pernah mengalami pengampunan dan belas kasihan. Dia menjadi orang yang keras di dalam hatinya, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain. Saat melihat orang lain, tidak muncul rasa mengasihi. Kemungkinan, dia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang kering kasih sayang.
Dalam keluarga, jika bisa mengampuni dan diampuni setuntas-tuntasnya adalah pengalaman yang agung dan indah. Istri yang bersalah tetapi diampuni setulus-tulusnya oleh sang suami, akan mengalami sebuah pengalaman mengharukan dan tidak terlupakan.
Jika ada pengalaman diampuni, maka seseorang akan menjadi murah hati dan berbelas kasihan kepada orang lain. Keluargalah konteks yang paling tepat untuk mempraktikkan pengampunan dan saling mengasihi.
Hanya orang egoislah yang tidak bisa mengampuni orang lain. Orang egois mungkin mengampuni, tetapi kemudian berkata, "Tapi saya tahu kok, di antara kita sudah tidak bisa bergaul lagi." Dia tidak mau belajar bahwa melalui konflik ada kesempatan makin dekat.
Konflik yang sehat setelah pertengkaran, orang yang berseteru malah akrab. Konflik yang tidak sehat adalah setelah bertengkar langsung terjadi perpisahan selama-lamanya.
Mengapa saat ini ada suami istri tidak bicara berhari-hari? Setelah berhari-hari dilanjutkan sampai berminggu-minggu? Bahkan, ada istri yang mengatakan sudah bertahun-tahun tidak akrab dengan suaminya. Suaminya malah akrab luar biasa dengan teman kantornya. Ia bisa mengobrolkan banyak hal berjam-jam dengan temannya, tetapi sangat dingin dengan istrinya. Mengapa bisa begini?
Kemungkinan mereka pernah mengalami konflik, lalu saling menyakiti dan tidak ada pengampunan. Seperti sedang membangun bata demi bata, pelan-pelan tanpa terasa menjadi sangat tinggi. Antara suami dan istri terpisah oleh bata tersebut, sehingga walaupun mereka masih bersama tetapi mereka tidak bisa bercakap-cakap lagi. Suami ada, istri ada, tetapi sudah tidak digubris karena tidak bisa melihat. Batanya terlalu tinggi!
Firman Tuhan berkata, "sehingga kamu sebaliknya harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat." (2 Korintus 2:7)
Seperti apa rasanya dicuekkan pasangan berhari-hari? Aduh... rasanya sakit hati sekali! Saya juga mau mengaku dosa. Saya pernah mendiamkan Liana (istri saya) berhari-hari (dua hari). Saat ada konflik yang tak terselesaikan, rasanya ingin menghukum pasangan dengan mendiamkannya. "Aku sudah malas bicara denganmu, lebih baik aku diam saja." Sebenarnya ini sangat menyakitkan, tetapi sekarang saya sudah bertobat, lagi pula saya tidak tahan mogok bicara (diam-diaman).
Jangan egois, jika sekarang Anda saling mendiamkan pasangan. Mari kita merendahkan diri di hadapan Tuhan. Jumpai pasangan Anda. Ajaklah bicara pasangan Anda baik-baik, sambil membawa bendera putih tanda menyerah.
Jika kita memelihara kekecewaan, maka sesungguhnya kejahatan ada di dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita berkata kepada Tuhan, "Tuhan, hadirkanlah kasih itu kepadaku!" Saat itu juga marah dan dosa hilang.
Di mana ada dosa, kasih hilang. Di mana ada kasih, dosa hilang. Kehadiran Tuhanlah yang membuang semua keinginan dosa dalam diri kita, maka peliharalah kasih, terutama kepada pasangan dan anak-anak.
Setelah menikah, mari kita menurunkan ego serendah-rendahnya, agar kekasih kita mendapat ruangan yang layak dalam hati kita. Jika tidak demikian, pastilah kekasih kita sudah diusir ke luar oleh si ego yang menguasai diri kita.
Selamat merendahkan ego kita!
Diambil dan disunting seperlunya dari: | ||
Judul buku | : | Garam dan Terang bagi Keluarga |
Judul bab | : | Not Egocentric (Tidak Egois) |
Penulis | : | Chang Khui Fa |
Penerbit | : | Pionir Jaya, Jakarta 2009 |
Halaman | : | 317 -- 321 |