Anak dan Perceraian

Masalah perilaku anak akibat perceraian seringkali disalahkan pada konflik keluarga, tekanan, dan beban dari orang tua tunggal. Tetapi laporan pada edisi bulan juli dari Developmental Psychology menyatakan bahwa gen juga memainkan peranan penting pada penyesuaian anak setelah perceraian.

Bagian dari penelitian jangka-panjang, the Colorado Adoption Project mengikuti 398 keluarga angkat dan biologis selama 12 tahun dan membandingkan kemungkinan kesehatan sosial, akademis, perilaku dan emosionil dari anak-anak dengan orangtua yang bercerai.

Dalam keluarga biologis, 28 persen dari orangtua telah bercerai ketika anak mereka berusia 12 tahun. Setelah perceraian, anak-anak ini menunjukkan masalah-masalah perilaku dan emosionil, memperoleh nilai akademis yang lebih rendah dan penyesuaian sosial yang kurang, demikian menurut para guru mereka.

Dibanding dengan anak-anak dari keluarga biologis yang orangtuanya masih bersama, anak-anak dari perceraian juga melaporkan penggunaan narkoba dini. "Penggunaan narkoba pada anak-anak di usia ini biasanya dianggap sebagai ekspresi dari kesulitan emosionil, jadi kita menganggapnya sebagai bagian dari gambaran umum masalah si anak," kata Dr. Thomas O'Connor dari Institute of Psychiatry di London, dan merupakan peneliti utama penelitian ini.

Diantara keluarga angkat, 13 persen dari para orang tua telah bercerai ketika anak-anak mencapai usia 12 tahun, dan anak-anak ini juga menunjukkan lebih banyak masalah perilaku dan penggunaan narkoba dini dibanding anak-anak yang orangtuanya tidak bercerai. Namun, anak-anak yang diangkat dari keluarga bercerai maupun yang utuh tidak menunjukkan perbedaan pada perolehan akademis dan kemampuan sosial, menunjukkan bahwa faktor-faktor ini mungkin dipengaruhi oleh genetika, paling tidak sebagian.

"Ada perbedaan besar pada cara anak-anak menyesuaikan diri terhadap perceraian orangtuanya," kata Dr. O'Connor. "Kami perlu berhati-hati dalam mengkaitkan penyebab masalah penyesuaian anak-anak ini kepada perceraian."

Walaupun perceraian yang sesungguhnya menerangkan sebagian dari masalah seorang anak, masih ada banyak faktor penyebab lainnya, kata Dr. O'Connor, seperti stres sebelum dan setelah perceraian, baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Sebuah faktor penting dalam penyesuaian perceraian adalah kecenderungan emosionil si anak untuk memberi reaksi dengan cara tertentu - yang mungkin dipengaruhi, sedikitnya oleh genetika.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Milis Ayah Bunda, Kamis 13 Juli 2000
Penerbit: 
--

Comments

rasa bersalah

saya sudah 3 tahun menjalani hubungan dengan pacar saya. pada tahun ke 3 ini kami harus mengkhiri semua karena perbedaan agama. saat masih berhubungan saya sering sekali memukul, menampar, menjambak, menendang, mencekik, mengantukkan kepalanya, meninju, membanting, mencaci, memaki, menghina dan semua hal yang buruk pernah saya lakukan. namun dia selalu memaafkan saya...sampai sekarang kami harus diperhadapkan dengan perpisahan karena beda agama. saya masih terus merasa bersalah walaupun telah dimaafkan. saya juga selalu ketakutan dan ingin bunuh diri mengingat semua kelakuan saya...bagaimana saya dapat menghilangkan rasa bersalah ini?tolong saya...

Rasa bersalah

Rasa bersalah menurutku merupakan alat yang sering dipakai iblis agar kita tidak merasakan sukacita. Firman Tuhan dalam 1 Yohanes 1:9 mengatakan bahwa ketika kita mengaku dosa kita dan mohon ampun kepada Tuhan, maka Dia akan mengampuni dosa kita. Percaya deh, kalau kita sungguh-sungguh mohon ampun kepada Tuhan dan sesama, kasih Kristus jauh lebih sanggup menguduskan kita. Jangan dengerin kata-kata dakwaan yang timbul dari hati maupun dibisikkan iblis.

Terimalah pengampunan dan mintalah pertolongan Tuhan untuk hidup lebih baik.

Kasus ini sudah lama

Kasus ini sudah lama terjadi.. tapi saya tetap ingin memberikan respon atas share yang anda telah berikan..

menurut saya rasa bersalah yang anda miliki merupakan salah satu bukti bahwa hati nurani anda bekerja.. yang anda harus lakukan sekarang adalah bagaimana menggunakan pengalaman anda tersebut agar menjadi berkat bagi orang lain.. share dari saya adalah kematian merupakan jalan yang paling mudah dilalui.. lebih berat hidup dengan memikul salib... saya harap anda bukan orang yang menginginkan jalan yang salah dan mudah... walaupun berat hidup dengan memikul salib tapi dengan kekuatan NYA bukan hanya dengan kekuatan kita pribadi maka hal itu akan di mudahkan..
saran yang paling pertama adalah berserah pada Nya..
saran kedua adalah share kan dengan org yg menurut anda dapat menjadi payung bagi anda dan tentu nya orang yg seiman.. karena kasus anda harus d konsultasi kan secara pribadi...
Terima kasih

Setuju

Hidup bagi Kristus lebih sulit dibanding mati bagi Dia.

Selama kita masih hidup di dunia, berarti kita masih memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyia-nyiakan hidup yang telah Allah anugerahkan kepada kita.

Terima kasih untuk saran yang diberikan Sdr. Jou. :)