Keterikatan dan Ketergantungan

Hidup manusia sebagai makhluk sosial memang penuh keajaiban. manusia diciptakan dengan hati nurani yang peka dan kebutuhan akan kedekatan bahkan ikatan dengan sesamanya. Manusia membutuhkan teman juga sahabat yang dicari dan coba ditemukan melalui konteks kehidupan. Kadang-kadang keakraban yang dinikmati dengan pribadi tertentu merupakan keakraban dimensional, artinya hanya pada dimensi-dimensi tertentu. Bahkan tidak jarang situasional atau tergantung mood dan situasinya. Kadang-kadang pula kedekatan dengan pribadi "yang dicintai" betul-betul dapat dinikmati, tetapi tidak jarang kedekatan tersebut menyakitkan. Keakraban dapat dikomunikasikan dalam bahasa verbal, non-verbal, sikap, mimik, pandangan mata, dan perbuatan. Bahkan yang mengherankan, dalam konteks tertentu, silent/diam bisa merupakan bahasa yang sangat kaya untuk mengkomunikasikan hubungan yang akrab antar dua pribadi.

Hubungan sosial antar manusia juga penuh dengan dinamika. Apa yang efektif dalam konteks hidup di masa lampau belum tentu efektif dalam situasi dan kondisi yang baru. Ini nampak jelas dalam hubungan antara orang tua dan anak. Perubahan terus terjadi dan kedua belah pihak harus terus belajar menyesuaikan diri. Pada masa anak-anak masih kecil, keakraban dengan mereka dapat dimanifestasikan dalam dekapan, ciuman, cumbuan, dan kemanjaan. Pada saat mereka sudah semakin dewasa keakraban tersebut cenderung lebih mamakai bahasa verbal yaitu melalui percakapan dari pribadi-pribadi yang dituntut untuk saling memahami dan menghargai. Kedua-belah pihak dituntut untuk saling menyesuaikan diri secara aktif, atau keakraban "yang sehat" sulit terbentuk dan tak pernah berfungsi secara efektif. Kadang-kadang keakraban bahkan menghasilkan ketergantungan dan kekerdilan. Sehubungan dengan itulah berbagai masalah hidup manusia timbul. Coba perhatikan kasus di bawah ini.

A adalah ayah dari dua orang anak yang masih kecil-kecil. Sebagai anak tunggal dari keluarga yang kaya, A tak pernah dilatih untuk mandiri dan memikul tanggung jawab. Pernikahan, kehidupan keluarga dan pekerjaan A semua diatur oleh kedua orang tuanya. Sebagai pewaris perusahaan orang tua yang maju, A tak mempunyai peran yang jelas. Segala keputusan masih di tangan orang tua. Kehidupan rumah tangganya juga unik, dengan dua orang baby-sitter dan seorang pembantu, istrinya tak pernah diberi kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya sendiri. Semua sudah diatur beres oleh orang tua A, sampai makananpun setiap hari dikirim dari rumah orang tua.

Hari ini istri A menemui anda untuk konseling. Ia datang bersama A yang tidak mengerti mengapa istrinya tertekan dan tidak puas. Menurut A kehidupan rumah tangganya baik, dan segala kebutuhan terpenuhi, bahkan kedua orang tuanya sangat mengasihi mereka. A heran dan merasa bahwa istrinya tidak tahu berterima kasih pada orang tuanya. Ia berkata, "Rumah, mobil, baby-sitter, makanan, uang, pekerjaan dan lain-lain semua sudah disediakan orang tua...apa yang kurang?" Bagi istrinya, masalahnya bukan di situ. Ia cuma merasa bahwa hidup yang dihidupinya tidak wajar sehingga kebutuhan batinnya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan mengatur hidupnya sendiri tidak ada. Ia kurang menghargai A oleh karena tak ada peran sebagai suami, ayah, dan kepala rumah tangga. Di kantor ia tak punya peran apa-apa, di rumah ia sehari-harian nonton TV, makan atau tidur, dan dalam segala hal ia minta tolong orang tua, khususnya ibunya. Istrinya mengeluh, merasa putus asa dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Bercerai tak mungkin, karena ia seorang Kristen, tetapi mau terus ia sangat ragu-ragu.

Sebagai teman, anda dapat manjadi konselor untuk keduanya. Mereka kebetulan datang ke rumah anda dan menceriterakan pergumulan dan persoalannya. Kesempatan untuk berperan sebagai konselor sudah Tuhan sediakan. Untuk itu, beberapa prinsip di bawah ini dapat anda pakai.

  1. Hindarkan diri dari orientasi yang cuma melihat pada masalah yang ada dan berpeganglah pada kebenaran Alkitab yang telah digariskan dengan jelas.

    Pertama, kalau Alkitab melarang perceraian (Mat 19:6; 1 Kor 7) maka apapun dan bagaimanapun keadaan hubungan suami-istri tersebut, tetap subjektivitas kesan pribadi tidak boleh menjadi standar sikap yang anda ambil. Jangan sampai "keinginan untuk memahami dan empati" sebagai sahabat dan konselor, mendahului kebenaran firman Allah. Walaupun perasaan anda membenarkan keinginannya untuk bercerai, anda harus menolong klien anda melihat dari perspektif kebenaran firman Tuhan dan menemukan alasan "mengapa" Tuhan tidak menghendaki perceraian (Mal 2:16). Mungkin selama ini klien anda juga tidak pernah mengerjakan pernikahan yang sudah diijinkan dan dipercayakan Allah kepadanya.

    Kedua, kalau Alkitab mengajarkan prinsip menundukkan diri, dan menjadi penolong yang sepadan bagi suami (Ef 5:22; 1 Pet 3:1), maka anda harus menghidupkan kesadaran akan pentingnya peran yang Allah berikan pada istri A. Sekali lagi, jangan anda bereaksi sesuai dengan insting subjektivitas anda dan membenarkan sikap istri A yang mungkin beralasan "bagaimana mungkin dapat menghargai suami yang tak punya peran dan tanggung-jawab". Sebagai konselor Kristen, anda harus percaya bahwa "takut dan kepatuhan akan kebenaran firman Tuhan adalah permulaan segala kebajikan (1 Sam 15:22; Ams 1:7). Bimbinglah istri A sampai ia benar-benar mengimani bahwa "apa dan bagaimana hasilnya nanti" tak perlu dibicarakan sekarang. Yang perlu adalah ketaatan akan firman Allah oleh sebab itu jadilah seorang istri yang mengasihi, taat dan biarkan Tuhan berkarya (1 Pet 3:1-6).

    Melalui dua hal di atas anda akan mulai betapa kesulitan utama dari konseling adalah diri konselor itu sendiri yang cenderung hanyut dalam simpati (dan bukan hanya " empati"), menjadi humanistik dan ingin berperan sebagai juruselamat, yaitu mengambil-alih tanggung- jawab klien dengan segera membebaskannya dari gangguan hidupnya. Dalam proses konseling yang tidak sehat itu, tempat dari Allah tidak ada, dan kebenaran firman-Nya hanya menjadi simbol yang kosong (bandingkan dengan Yak 4:13-17). Peran konselor Kristen sebenarnya hanya menjadi pencipta "suasana yang kondusif" yang memungkinkan kebenaran firman muncul dan berperan secara maksimal. Tugas konselor Kristen hanyalah membuka pintu dan mempertemukan klien anda dengan Allah sumber kebenaran, tetapi apa dan bagaimana itu bisa terjadi, adalah suatu art/seni tersendiri. Konseling adalah "mempersiapkan jalan untuk Tuhan ...dimana setiap lembah dalam jiwa manusia harus ditutup, gunung dan bukit yang terjal diratakan...tanah yang berlekuk-lekuk diluruskan...sehingga klien dapat melihat kemuliaan Tuhan (Yes 40:3-5)."

  2. Fahamilah natur dari kedewasaan pribadi. Semakin dewasa pribadi seseorang, ia semakin mampu menempatkan diri di tengah situasi dan kondisi apapun juga. Sumber kebahagiaan orang yang dewasa biasanya berasal dari dalam jiwanya sendiri. Semakin dewasa jiwa seseorang semakin ia mampu mencipta kebahagiaan yang dapat dinikmati orang- orang di sekitarnya dan ia tidak menimba kebahagiaan dari luar dirinya.

    Sebagai konselor, anda memang harus dapat berempati atas ketidak- bahagiaan istri A, karena memang kebutuhan primernya tidak terpenuhi. Meskipun demikian, anda harus menyadari bahwa empati dan pemahaman yang sempurnapun tidak berfaedah jikalau klien anda tidak ditolong untuk memahami dirinya sendiri. Ia harus dapat mengerti bahwa dirinya tidak berbahagia oleh karena jiwanya yang tidak dewasa sehingga sumber kebahagiaannya tergantung dari hal-hal di luar dirinya sendiri yaitu pada suami dan orang-orang lain. Sebagai istri, menantu, dan ibu, ia tidak mampu mencipta dan mengubah situasi dan kondisi kehidupannya sendiri.

    Jadi, konseling adalah menolong klien tersebut menghargai potensi yang ada pada dirinya, sehingga ia dapat berfungsi dengan lebih baik dalam kehidupannya.

  3. Untuk suaminya, anda perlu menemukan sumber masalahnya dan membedakan antara faktor penyebab dan faktor pencetusnya. Kemungkinan besar, si A tidak berperan dan tidak berfungsi oleh karena sistem yang telah dicipta, diteruskan dan dinikmati oleh kedua orang tuanya. Mungkin tanpa disadari, mereka mempunyai kebutuhan "keterikatan dan ketergantungan dari A anak tunggal mereka." Kebutuhan neurotik tersebut menjadi faktor penyebab dari kelumpuhan peran dan tanggung-jawabnya. Oleh sebab itu, fokus konseling harus pada faktor penyebab tersebut dan bukan pada faktor pencetus yaitu hubungan dengan istri, anak, kehidupan praktis dan pekerjaan, meskipun hal-hal ini selalu menjadi konteks praktis dimana pengaruh faktor penyebab dapat lebih disadari.

    Dalam hubungan dengan faktor penyebab tersebut, anda sebagai konselor perlu menyadari: (a) Apa yang sudah terbentuk selama proses bertahun-tahun tak mungkin dapat diubah dalam waktu singkat melalui nasehat. Walaupun mungkin si A mengerti dan bertekad untuk memperbarui hidupnya, kemungkinan besar ia tidak mempunyai dorongan dan kekuatan untuk melakukannya. Oleh sebab itu, yang perlu adalah menolong dia masuk dalam proses kehidupan dalam sistem hidup yang baru secara bertahap. Mulai dengan menemukan dan menyadari diri sendiri melalui sistem nonjudgemental open-sharing/sharing secara terbuka tanpa menilai dan kehidupan sehari-hari. Biasanya, melalui pengalaman sharing yang tidak menakutkan inilah, pribadi-pribadi dengan sendirinya akan mampu meningkatkan kesadaran diri mereka. Barulah secara terpisah, anda bertemu dengan A membicarakan topik yang sempat menghangat dalam open sharing tersebut, dan biarkan A menemukan kesimpulan-kesimpulannya bahkan menentukan sendiri strategi untuk mengaplikasikan dalam kehidupan praktisnya. (b) Tempat dari istri A di tengah hubungan antara A dengan kedua orang tuanya selama ini tidak jelas. Oleh sebab itu, untuk memudahkan buatlah bagan yang menjadi pola interaksi yang ada. Mintalah A menjelaskan "di mana tempat dan peran istrinya dalam pengambilan keputusan dan mengapa demikian?" Kemudian diskusikan secara lebih mendalam sekitar "prinsip-prinsip" yang selama ini dipegang, apa yang seharusnya, dan mengapa demikian?

    Mudah-mudahan dengan usulan diatas, anda dapat berperan sebagai konselor bagi teman anda tersebut. Tuhan memberkati.


 
Oleh: Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Sarang yang Kosong

Di dalam bukunya, Turning Hearts Toward Home sebuah biografi tentang kehidupan dan pelayanan Dr. James Dobson, Rolf Zettersten menuliskan perjumpaannya dengan Dr. Dobson sedang terduduk dengan mata merah dan pipi yang basah dengan air mata. Sehari sebelumnya, Dr. Dobson baru saja melepas putra bungsunya, Ryan, untuk pergi berkuliah ke tempat yang jauh kepergian yang mengawali fase "sarang yang kosong" di keluarga Dr. Dobson. Di dalam surat yang ditulisnya sendiri untuk melukiskan perasaan kehilangannya itu, Dr. Dobson menggambarkan rumahnya setelah ditinggal oleh putra-putrinya bak "biara - rumah makam - musium." Secara lebih grafik Dr. Dobson menggambarkan masa "sarang yang kosong" itu sebagai waktu di mana "ban sepeda akan kempes, skateboard menjadi bengkok dan tergeletak begitu saja di garasi, ayunan terdiam sunyi, dan ranjang kosong ditinggal penghuninya."

Sarang yang kosong merupakan istilah yang melukiskan periode dimana orang tua akan tinggal sendiri lagi tanpa anak yang telah akil balig. Ibarat induk burung yang membesarkan anaknya dalam sarang, pada suatu ketika ia harus membiarkan anaknya terbang meninggalkan sarang...untuk selamanya. Saya belum memasuki fase itu dan tidak bisa berkata banyak tentang masa yang belum saya lalui. Namun, dalam kurun 3 tahun, jika Tuhan kehendaki, saya dan istri saya akan mulai harus melepas anak pertama kami. Kadang, meski belum mengalaminya secara langsung, pemikiran bahwa saya akan berpisah dengan anak-anak sudah cukup meresahkan dan membawa kesedihan yang dalam.

Seperti keluarga lainnya, setiap hari kami melakukan hal-hal yang rutin bangun tidur, menyediakan air untuk anak mandi, istri saya menyiapkan sarapan untuk kami semua, anak-anak pergi ke sekolah dan akhirnya pulang dari sekolah menonton kartun, belajar, latihan piano, menonton televisi lagi, saat teduh, dan tidur. Namun dalam kerutinan itulah terletak bonding ikatan batiniah dan familiarity pengenalan dan keterbiasaan.

Gordon Allport mengemukakan bahwa diri manusia terbangun dari kepingan-kepingan psikofisik yang disatukan oleh intensi tujuan atu arah hidup. Psikofisik menandakan bahwa pribadi manusia merupakan kombinasi dari pengalaman atau bentukan yang bersifat psikologis dan bawaan yang berkodrat biologis. Semua itu bercampur menjadi diri dan diri itu menjadi utuh oleh karena adanya tujuan hidup yang mengarah ke masa depan.

Kehadiran anak dan pengalaman hidup bersamanya hari lepas hari sudah tentu merupakan kontribusi terhadap diri kita pula kontribusi yang membentuk diri kita. Keberadaan anak juga merupakan bagian dari intensi tujuan dan arah hidup yang membuat kita melangkah ke depan dalam kepastian. Kepergian anak menuntut kita untuk menciptakan ulang intensi atau tujuan dan arah hidup kita. Anak-anak yang telah menjadi bagian diri kita sekarang dan arah hidup di masa mendatang akan terbang meninggalkan sarangnya dan sesuatu pada diri kita akan turut terbang pula bersamanya. Ikatan itu akan lepas, segalanya yang begitu dikenal dan terbiasa akan berubah menjadi asing ban sepedanya kempes, ayunannya terdiam sunyi, ranjangnya kosong. Kepingan psikofisik kita tidak utuh lagi dan intensi kita goyang.

Saya tidak sedang membicarakan pengalaman pribadi melewati sarang yang kosong itu sebab saya belum mencapainya. Sebetulnya saya tengah membagikan pengalaman saya sekarang yang sedang dibayang-bayangi oleh gambaran terbangnya anak kami satu per satu. Buat sebagian saudara, saya mungkin terlalu sentimental; buat saya sendiri, saya hancur dan sedih melewati batas sentimental. Berbelasan tahun saya membagi hidup dengan mereka dan sekarang kepergian yang tadinya nun jauh di sana mulai tampak. Bagaimanakah saya dapat hidup tanpa mendengar derai tertawanya, memegang tangannya, mengecup pipinya sebelum tidur, dan memeluk tubuhnya?

Beberapa waktu yang lalu di tengah malam buta, kami dikejutkan oleh suara panggilan salah seorang anak kami. Rupanya ia terjaga karena sakit kepala dan saya langsung memapahnya ke kamar mandi serta menolongnya untuk muntah. Setelah itu istri saya membawakan minyak kayu putih yang langsung saya oleskan pada tubuhnya. Dalam waktu sekejap, ia pun terlelap kembali. Malam itu saya tidur di sampingnya dan untuk sejenak saya merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. 'I want to be there when you throw up." Itulah kata-kata yang keluar dari hati saya sewaktu saya memandanginya tidur dengan pulas. "I want to be there when you throw up."

Saya ingin bersamanya sewaktu ia muntah sebuah permintaan yang musykil dan lebih merupakan sebuah protes terhadap kodrat alamiah yang telah Tuhan tetapkan. Kepingan itu harus lepas dengan bebas; tatapan ke masa depan itu mesti berganti arah walau dengan berat hati. Saya tidak boleh turut terbang meninggalkan sarang yang kosong itu. Sarang yang kosong itu untuk saya.

Sayup-sayup saya mendengar, "Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk." ...betapa susahnya...!

PERTANYAAN ANDA
Oleh: Esther Susabda, Ph.D

Kedua anak kami (dua-duanya wanita) sudah di SMU. Tanpa terasa hidup begitu cepat, dan mereka segera akan meninggalkan kami. Mereka sedang dalam proses mempersiapkan diri untuk sekolah di Amerika. Suami saya sibuk dengan usahanya sehingga sulit untuk diajak bicara; saya sendiri akhir-akhir ini rasanya tegang sekali, dan kadang- kadang muncul pertanyaan-pertanyaan dan keraguan, apakah saya sudah memilih jalan yang tepat untuk mereka?

Mengamati tingkah laku anak-anak saya, rasanya mereka tidak atau belum siap untuk mandiri. Dalam banyak hal mereka kelihatannya masih sangat kekanak-kanakan. Mengatur kamarnya sendiri saja tidak bisa, Bu. Makan, tidur, pemakaian uang, mengisi waktu libur, d.l.l...masih harus disupervisi. Juga yang sangat mencemaskan adalah pergaulan dengan teman-temannya. Sulit dinasehati, bahkan seringkali tidak suka kalau saya bertanya darimana atau mau kemana dengan siapa. Saya juga baru sadar, pengenalan mereka tentang Tuhan minim sekali.

Saya bingung, apa yang saya harus lakukan karena saya sangat mencintai mereka, menunda keberangkatan?...saya tidak tega, sedangkan melepaskannya saya juga tidak berani??

Jawab :

Sikap orangtua memang sangat menentukan pembentukan konsep dari anak tentang dirinya, tentang hidup dan tentunya tentang Tuhan. Sistem yang sudah terbentuk memang sulit diubah, terutama disini anda kelihatannya mendidik sendiri, suami kurang terlibat dan mungkin tidak mendapat tempat; hal ini menjadi lebih jelas pada saat anda ragu-ragu dan kuatir suami kurang peduli. Ketika anda gelisah seperti ini rasanya semua yang kurang terbentang di pelupuk mata anda, tanggung jawab, pergaulan bahkan hubungan mereka dengan Tuhan.

Kasih anda kepada mereka yang begitu besar, sangat nampak dari keluhan anda sendiri, bahwa sampai hal yang kecil-kecil anda masih menjadi "otak" bahkan mungkin anda mengambil alih semua tanggung jawab. Satu pihak mungkin anda senang dengan apa yang anda lakukan selama ini yaitu tanpa sadar anda sudah memanjakan mereka secara berlebihan. Di pihak lain pada saat sekarang mereka ingin menunjukkan kemandirian mereka, anda merasa tertolak dan usaha anda tidak lagi mendapatkan respon yang menyenangkan.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan:

  1. Kesadaran anda akan tanggung jawab utama yang anda belum lakukan selama ini adalah menanamkan prinsip-prinsip kebenaran dalam hati sanubari mereka, walaupun yang nampak di permukaan adalah kekuatiran anda kehilangan anak-anak (empty nest syndrome). Tidak ada kata terlambat...belajarlah bertanya "bagaimana menggunakan waktu yang ada untuk memberikan kepada mereka yang terbaik." Memang prinsip kebenaran tidak bisa diberikan semuanya dalam waktu yang sempit ini, tapi paling tidak anda bisa mulai dengan mendoakan secara terperinci apa yang anda rasakan sangat dibutuhkan mereka. Jangan sampai seperti keluarga imam Eli (1 Sam 3:13-14) yang akhirnya dibinasakan Tuhan karena "anak-anaknya telah menghujat Allah, dan ia tidak memarahi mereka..." Mintalah pimpinan Tuhan bagaimana mengkomunikasikan kekuatiran anda kepada suami, supaya anda bisa berbagi tentang masalah ini, tanpa ada kesan menimpakan kesalahan pada suami.
  2. Mencintai anak merupakan art/seni yang membutuhkan tanggung jawab dan disiplin yang tinggi. Perbaharuilah sistem interaksi dalam keluarga supaya anda bersama suami dapat menciptakan sistem yang kondusif dimana peran dan tanggung jawab mereka sebagai orang dewasa dapat dimanifestasikan. Kekompakan, keseriusan dan konsistensi anda berdua akan menghasilkan sistem kehidupan baru. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap tentunya, yaitu bagaimana mereka dapat mengatur diri mereka sendiri, mulailah dari hal-hal yang sederhana dan tidak perlu nasehat yang terlalu banyak.
  3. Biasakan juga untuk bicara pribadi dengan anak-anak, ungkapkan kekuatiran anda, bagikan pergumulan anda dan jangan takut konflik oleh karena perbedaan pendapat, jadilah teman untuk mereka.
  4. Kekuatiran anda tidak dapat mengubah dan menyelesaikan masalah mereka, namun anda juga dapat berdoa seperti yang ditulis Dr. James Dobson "be there Father, in the moment of decision when two paths present themselves to our children. Especially during that time when they are beyond our direct influence, send others who will help them do what is righteous and just"/Hadirlah ya Tuhan, pada saat-saat anak-anak kami harus memilih. Terutama saat kami jauh; kirimkan orang yang mampu menolong mereka untuk melakukan apa yang benar dan adil di mataMu."
Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D
Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 2001)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI