Keluhan Suami Nomor Satu

Beberapa waktu yang lalu dalam suatu diskusi kelas, kami membahas perbedaan antara pria dan wanita dalam hal emosi. Hampir semua mahasiswa (pria) menyimpulkan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil oleh wanita cenderung lebih dikuasai oleh emosinya dibandingkan dengan pria.

Menurut hemat saya, wanita tidaklah kelebihan emosi, prialah yang kekurangan emosi. Di bawah nanti saya akan menjelaskan proposisi saya memberi komentar tentang topik "Keluhan Suami Nomor Satu" yang memang berkaitan dengan diskusi kelas itu.

Saya menemukan bahwa salah satu hal yang dikeluhkan oleh para pria adalah bahwa istri mereka "terlalu emosional". Biasanya yang mereka keluhkan adalah emosi yang cepat naik-turun tanpa "sebab-sebab yang nyata", "tanpa sebab sama sekali", atau "yang diributkan tidak masuk akal sama sekali". Saya mengira di balik keluhan mereka sebenarnya tersembunyi kebingungan menghadapi emosi yang kuat dari pihak istri.

Pada intinya, mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat tatkala istri yang mereka cintai itu sedang mengekspresikan emosi yang meluap dengan "berlebihan". (Saya memasukan kata ini dalam tanda kutip sebab saya yakin tidak semua wanita setuju dengan pandangan ini.) Akibatnya para pria merasa kewalahan alias frustasi berat dalam upaya mengerti emosi istri mereka.

Alkitab mencatat,"...menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia: laki- laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka..." (Kej 1:27 & 28). Di sini kita dapat melihat bahwa Allah tidak menciptakan satu jenis manusia, melainkan dua jenis: pria dan wanita. Menurut hemat saya, perbedaan antara pria dan wanita tidaklah terbatas pada penampilan fisik belaka, tetapi mencakup emosi dan cara berpikir. Alkitab mencakup emosi dan cara berpikir. Alkitab mencatat bahwa Allah Pencipta adalah Allah yang kreatif dan menghargai keragaman. Lihatlah ciptaan-Nya yang lain! Tidak ada dua kuntum bunga yang persis sama; tidak ada dua binatang sejenis yang 100% sama. Gereja, yang merupakan Tubuh Kristus, juga terdiri dari anggota-anggota yang memiliki fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, kenyataan adanya perbedaan antara pria dan wanita lebih sesuai dengan natur Allah dari pada jika pria dan wanita persis sama.

Bersumber dari pengamatan kasatmata, saya menyimpulkan bahwa secara lahiriah, wanita lebih diperlengkapi Allah dengan kemampuan untuk mengekspresikan emosi yang dirasakannya, dibandingkan dengan pria. Tatkala wanita merasa sedih, ia biasanya dapat mengekspresikan kesedihannya itu baik melalui tangisan maupun ucapannya yang bernada sedih. Sebaliknya dengan pria, tatkala suatu peristiwa yang menyedihkan terjadi, ia biasanya tidak langsung dapat merasakan kesedihan itu, apalagi mengekspresikan melalui tangisan. Inilah salah satu perbedaan mendasar antara pria dan wanita, meskipun kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua pria dan wanita adalah sebagaimana yang saya lukiskan di sini. (Keterbatasan ulasan saya adalah bahwa saya membahas hal ini dari sudut pandang"pada umumnya".)

Orangtua acap kali membesarkan anak sesuai dengan kecenderungan atau "bawaan" si anak. Anak yang tampaknya "mandiri" menerima perlakuan yang mendorongnya menjadi lebih mandiri. Anak yang tampaknya "lemah", sebaliknya memperoleh banyak kemudahan karena orangtua memperlakukannya sebagai anak yang seolah-olah lemah dan memerlukan pertolongan. Dengan pula halnya dengan emosi. Anak perempuan mendapatkan lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan emosinya, sedangkan anak laki-laki yang secara lahiriah kurang tanggap tehadap emosi, diperlakukan secara lebih "keras" karena secara fisik pun anak laki-laki tampil lebih "keras" dibandingkan anak perempuan. Tanpa disadari tertanamlah suatu pola perlakuan yang berbeda: anak laki-laki tidak "cocok" menjadi seseorang yang perasa, sedangkan bagi anak perempuan, hal ini lumrah saja.

Perlakuan lingkungan inilah yang akhirnya memperlebar jurang antara pria dan wanita yang memang sudah ada sejak penciptaan. Akibatnya adalah, anak laki-laki lebih didorong untuk mengabaikan dan menekan emosinya sedangkan anak perempuan lebih memiliki keleluasaan untuk merasakan dan menyatakan emosinya.

Berdasarkan pemikiran di atas inilah akhirnya saya menyimpulkan bahwa bukannya wanita yang kelebihan emosi, melainkan prialah yang kekurangan emosi. "Pohon" emosi pria yang memang secara alamiah lebih kecil daripada "pohon" emosi wanita, malah "ditebang" oleh lingkungan. Akibatnya, emosi berkadar tinggi menjadi suatu hal yang asing dan membingungkan bagi pria. Ketidaktahuannya menghadapi dan mengekspresikan emosi yang tinggi menyebabkannya memindahkan emosi itu ke penyaluran fisik, misalnya berkelahi atau memukul. Sedikit penjelasan, emosi mengandung energi, jadi emosi yang tak tersalurkan secara wajar menjadi energi yang membakar dan biasanya pada akhirnya tersalurkan dalam bentuk fisik.

Jadi kesimpulannya ialah, pria perlu menambah kepekaannya terhadap emosi dan memperkaya ketrampilannya menyalurkan emosi secara non- fisik. Saya percaya dengan cara inilah para pria akan dapat membantu istri mereka yang acap kali mengeluh bahwa suami mereka "tidak dapat mengerti" mereka. Perasaan "tidak mengerti" inilah yang sering membuat penyaluran emosi wanita menjadi tidak terkendalikan dan liar. Emosi yang tak terkendalikan biasanya berakar dari perasaan "tidak dipahami" yang akhirnya muncul dalam bentuk frustasi. Kepekaan pria terhadap hal-hal yang bersifat emosi akan menolongnya mengerti apa yang dialami istri. Istri juga dapat menolong suami menjadi peka terhadap emosi dengan cara memberitahu suami (dengan tenang) apa itu yang ia rasakan dan butuhkan dari suami.

Pria perlu mengingat akan kecenderungannya mengabaikan emosi dan berhati-hati untuk tidak mengatakan, "Baru begitu aja sudah beremosi. Saya sih tidak akan merasa begitu!" Camkanlah bahwa ucapan seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya akan mengobarkan apa kemarahan karena merasa tidak dipahami. Pria perlu mengkomunikasikan hasratnya untuk memahami perasaan istri dan istri seyogianya belajar menjelaskan perasaannya kepada suami dengan cara yang dapat dimengerti oleh suami. Suami yang tidak mengabaikan dan menertawakan emosi istri niscaya akan menjadi suami yang tidak memiliki "Keluhan Nomor Satu" ini. Istri yang merasa dipahami oleh suaminya tidak perlu lagi mengumbar emosinya.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Penilaian Diri Yang Buruk Dan Ibu Muda Usia

Dalam bukunya, What Wives Wish Their Husbands Knew About Women, Psikolog Kristen Dr. James Dobson memaparkan hasil angket "Sumber Depresi Di Antara Wanita" yang diberikannya kepada 75 wanita Kristen. Ternyata para wanita ini menunjuk pada "Penilaian Diri Yang Buruk" sebagai sumber depresi nomor satu. Data lain yang menuntut perhatian kita adalah bahwa mayoritas peserta angket ini adalah para ibu rumah tangga berusia antara 27 hingga 40 tahun yang mempunyai anak kecil.

Beberapa waktu yang lalu saya juga membaca satu hasil penelitian akan depresi yang memberikan dukungan terhadap hasil penemuan Dr. Dobson ini. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa wanita memang lebih rawan terhadap depresi dan kelompok yang paling rawan menderita depresi adalah para ibu muda yang masih tinggal di rumah (tidak bekerja di luar).

Dr.Dobson mencoba melukiskan pengalaman para ibu muda usia yang memiliki penilaian diri yang buruk ini dan saya percaya sebagian pembaca dapat mengerti perasaan yang timbul dari pengalaman di bawah ini.

"...duduk sendirian di rumah pada siang hari yang sunyi itu, bertanya-tanya mengapa telepon tidak berdering.

...bertanya-tanya mengapakah Anda tidak mempunyai sahabat 'sejati'.

...mendambakan kehadiran seseorang yang dapat Anda ajak bicara, hati ke hati, namun menyadari bahwa tidak ada yang dapat Anda percayai.

...merasa tidak menarik dan tidak seksi.

...merasa bahwa Anda telah gagal sebagai seorang istri dan ibu.

. ...merasa tidak dikasihi dan tidak layak untuk dikasihi, kesepian dan sedih.

...terbaring di ranjang setelah semua anggota keluarga telah tidur, meresakan kehampaan yang dalam dan mendambakan kasih yang tidak bersyarat.

...mengasihani diri.

...dalam kegelapan malam menghapus air mata yang menetes keluar dari pelupuk mata Anda."

Dr.Dobson mengetengahkan tiga penyebab penilaian diri yang buruk ini dan saya hanya memilih satu untuk pembahasan ini. Pada masa ini para wanita tidak lagi dapat merasa bangga dengan karier mereka sebagai ibu rumah tangga. Dr. Dobson berpendapat, sekarang ini penghargaan atau respek lebih banyak diberikan kepada mereka yang menduduki karier tertentu. Masyarakat modern tidak begitu menghargai panggilan ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan lagi karier idaman tatkala begitu banyak wanita yang berkarier di luar rumah.

Di tempat pekerjaan, kita terbiasa menerima dorongan dan penghargaan, baik dari atasan maupun sesama rekan tatkala kita berhasil melakukan tugas kita dengan baik. Namun sekarang di rumah , siapakah yang memberi kita ujian tatkala kita merasa telah melakukan tugas kita dengan penuh tanggung jawab? Siapakah yang memberi kita dorongan tatkala kita merasa letih dan putus asa? Bukankah di rumah segala sesuatu "memang sudah seharusnya kita lakukan". Kurangnya tanggapan yang menghargai dan mendorong kita terasa bagaikan melempar batu ke tengah kolam-plung, dan tidak timbul lagi, lenyap tenggelam!

Tugas ibu rumah tangga juga dapat melahirkan rasa terasing dari "kehidupan yang sebenarnya". Kita merasa terkucil dari lingkungan kita di mana kita sebelumnya berkecimpung. Kontak-kontak sosial yang biasa kita nikmati dalam karier kita seperti sapaan, senyuman, ngobrol,ngumpul, tiba-tiba menghilang dari kehidupan kita. Melakukan suatu tugas yang tidak dapat kita banggakan, yang itu-itu juga dan dengan rasa terpaksa memang dapat membuat penilaian terhadap diri kita negatif. Jika di antara pembaca ada yang merasa bahwa ulasan ini sesuai dengan keadaan Anda, saya ingin memberi beberapa usulan (mudah-mudahan penyelesaian pula!).

Pertama, yakinlah bahwa panggilan menjadi ibu tangga adalah panggilan yang "tiada taranya" Melalui panggilan ini, Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk bersama-sama dengan-Nya membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan kehendak-Nya. Seorang pengendara mobil dapat merasa bangga mengendarai mobil yang bagus, namun yang paling berbahagia adalah ia yang menciptakan atau merancang mobil tersebut. Para ibu muda usia, pekerjaan Anda adalah merancang dan mencetak pribadi-pribadi yang suatu hari kelak menjadi dewasa dan dapat mempengaruhi lingkungan di sekitar mereka, baik secara positif maupun secara negatif. Pekerjaan Anda memang ibarat investasi jangka panjang yang seolah-olah tidak pernah "jatuh tempo". Namun, ingatlah tatkala satu hari telah berakhir dan malam telah tiba, bahwa Anda telah menabung dan menyenangkan Tuhan kita yang telah mempercayakan tugas mulia ini kepada Anda.

Kepada para suami, tolonglah menjadi "pemantul" terhadap istri- memberi tanggapan, dorongan, pujian dan interaksi. Semakin modern keadaan masyarakat kita, semakin sepi berdiam di rumah, karena semakin menipis ikatan sosial dengan sanak saudara dan kerabat. Penghargaan kita kepada istri niscaya memberi mereka api harapan dan kemenangan kembali. Tuhan memberkati.

PERTANYAAN ANDA
Pertanyaan : Adakah saran supaya kami, sebagai suami istri, dapat berkomunikasi dengan lebih baik lagi?

Jawaban : Pertanyaan ini penting sekali sebab saya percaya, komunikasi merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam pernikahan. Saya mengatakan berpengaruh sebab komunikasi memang mempengaruhi begitu banyak aspek dalam kehidupan berkeluarga. Komunikasi adalah sarana menyampaikan isi hati kita kepada orang lain dan sarana ini sangat mempengaruhi orang lain mengerti isi hati kita. Untuk menekankan betapa pentingnya komunikasi ini saya akan melukiskan dengan satu ilustrasi. Misalkan saya ingin menghadiahkan istri saya sebuah baju yang diidam-idamkannya. Namun saya bukannya memberikan hadiah itu melalui uluran tangan saya melainkan melemparkannya kepadanya. Kira-kira bagaimana tanggapan istri saya menerima hadiah tersebut? Saya kira ia pasti tidak merasa senang bahkan dapat merasa terhina oleh pemberian saya. Dari ilustrasi ini kita dapat melihat, bahwa bahwa meskipun saya berniat memberikan suatu hadiah tapi kalau cara penyampaiannya tidak tepat maka niat saya itu tidakklah mencapai sasarannya. Bukannya saya membuat istri bahagia, malah membuatnya marah.

Komunikasi mencakup banyak faktor dan saya tidak akan mampu menguraikannya secara menyeluruh dalam ruangan ini. Namun pada dasarnya ada dua hal yang penting kita pelajari supaya kita dapat meningkatkan kualitas pernikahan kita. Pertama adalah kejelasan dalam motif atau tujuan. Dengan kata lain penerimaan kita akan motif atau tujuan. Dengan kata lain penerimaan kita akan apa yang orang lain katakan sangatlah bergantung pada berapa percayanya kita pada motif atau tujuannya. Jika kita percaya bahwa istri kita memberi tahu kita dengan motif yang baik, maka kita cenderung akan lebih dapat menerima perkataan itu. Sebaliknya, jika kita meragukan motifnya dan berprasangka bahwa ia bermaksud menjatuhkan kita, maka kita tidak akan dapat mendengar perkataannya dengan tepat. Jelas di sini bahwa komunikasi sangatlah dipengaruhi oleh rasa saling percaya dalam pernikahan.

Pertanyaan yang timbul sekarang adalah, bagaimanakah saya dapat membuat pasangan saya percaya bahwa saya bermaksud baik sehingga ia dapat menerima perkataan saya. Ini melibatkan banyak faktor, misalnya hubungan kita sehari-hari dengannya akan mempengaruhi rasa percayanya pada kita. Namun ada satu yang dapat kita lakukan supaya ia jelas dengan motif kita yakni, sebelum kita mengungkapkan isi hati kita, kemukakanlah dahulu tujuan atau motif kita. Baru setelah itu, kita mengatakan apa itu yang ada dalam isi hati kita. Misalkan kita merasa kuatir sekali karena suami kita belum kembali pada waktu yang ia janjikan. Begitu cemasnya sehingga kita merasa tegang dalam penantian itu. Akhirnya ia datang kembali, misalkan 2 jam terlambat. Begitu ia tiba, kita langsung ...memarahinya, dan pernyataan pertama yang keluar dari mulut kita adalah, "Mengapa kamu tidak memberi kabar bahwa kamu akan terlambat?" Dengan kata lain, yang keluar dari mulut kita adalah tuduhan serta kemarahan bukan kasih dan cemas karena kehilangan dirinya. Kita tidak memberinya kesempatan menerangkan alasan ia terlambat melainkan langsung memarahinya karena ia membuat kita cemas. Sesungguhnya kita cemas karena kita takut kalau-kalau ada apa-apa yang terjadi dengannya. Seharusnya inilah tujuan kita berkomunikasi kepadanya dan seharusnya inilah yang kita sampaikan kepadanya terlebih dahulu. Jadi kita dapat memulai percakapan kita tatkala ia tiba di rumah dengan mengatakan, "Saya merasa cemas sekali karena kamu begitu terlambat pulang. Saya takut kalau-kalau ada apa-apa yang terjadi denganmu." Saya percaya pernyataan ini akan lebih mudah didengar daripada penyataaan semula tadi dan akan memperoleh tanggapan yang jauh lebih simpatik.

Hal kedua dalam komunikasi yang penting adalah cara atau bagaimana kita menyampaikan isi hati kita. Dalam ilustrasi tadi, pernyataan yang keluar dari mulut kita adalah tuduhan, karena kita telah menuduhnya tidak bertanggung jawab atau gagal memberi kabar akan keterlambatannya itu. Saya percaya kita semua tidak suka dituduh meskipun dalam kasus kita memang salah. Nah, apalagi dalam kasus kita salah atau tidak merasa bersalah. Sudah pasti tuduhan membuat kita ingin membela diri. Tatkala mendengar nada tuduhan, kita menjadi sibuk membela diri dan akibatnya, kita gagal mendengarkan perkataan pasangan kita. Jadi dalam penyampaian penting sekali kita menghilangkan nada tuduhan. Biasanya diawali dengan, "Kamu ...".Sebaliknya, nada bukan menuduh diawali dengan, " Saya merasa.........". Sebagaimana dilukiskan dalam contoh tadi, kita berkata bahwa kita merasa cemas dan kitapun menjelaskan alasannya yakni kita takut kalau-kalau ada apa-apa yang terjadinya dengannya. Kita tidak mengatakan bahwa kita marah karena ia tidak peduli dengan kita atau bahwa kita cemas karena ia tidak bertanggung jawab. Jadi, mulai dengan perasaan kita pada saat itu dan fokuskan pada perbuatan yang spesifik, dalam kasus tadi, ia terlambat pulang, bukan pada interpretasi kita, yakni ia tidak bertanggung jawab atau tidak peduli dengan kita. Saya percaya ini akan menolongnya memberikan penjelasan kepada kita sebagaimana yang kita kehendaki.

Saya sadar bahwa ulasan ini tidak sempurna dan ada kekurangannya. Saya percaya ada cara-cara lain yang lebih efektif yang Anda telah lakukan. Jika ada, mungkin Anda dapat membagikannya kepada kita semua agar kita dapat memperoleh manfaatnya pula. Terima kasih.

Sumber
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Apr. - Juni 1994)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI