Isyarat-Isyarat

Oleh:Dr.Paul Gunadi

Saya merasa beruntung sekali menjadi seorang pengajar. Bagaimana tidak, ternyata banyak sekali hal baru yang saya ketahui setelah menjadi pengajar. Salah satunya adalah pokok pikiran di bawah ini yang saya pelajari setelah saya mengajar mata kuliah Psikologi Abnormal. Pelajaran yang saya terima ini berkaitan dengan hubungan orangtua-anak pada waktu anak berpisah dari orangtuanya.

Dalam bukunya, Abnormal Psychology and Modern Life, 5 th Edition, J.C. Coleman mengutip riset yang dilaporkan oleh Bowlby pada 1960 dan 1973. Bowlby mengamati reaksi anak usia 2 hingga 5 tahun, tatkala mereka berpisah dari orangtua mereka untuk masa yang lama sewaktu anak-anak ini dirawat di rumah sakit. Ternyata ada tiga reaksi anak yang ditunjukkannya secara bertahap. Pada awalnya, anak mulai memprotes, yakni menunjukkan ketidaksetujuannya dan ketidaksediaannya dipisahkan dari orangtua. Pada tahap ini anak biasanya lebih sering menangis dan menjerit. Reaksi berikutnya ialah putus asa, di mana anak menampakkan wajah yang murung dan pandangan yang kosong. Anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak aktivitas yang dilakukannya, dan mulai menarik diri dari lingkungan di sekitarnya. Tahap ketiga dan terakhir adalah menjauh, di mana setelah anak pulang ke rumah, ia tetap tampak tidak peduli dengan ibunya dan ada kalanya memperlihatkan sikap marah atau bermusuhan dengan ibunya.

Saya kira semua orangtua akan terenyuh apabila harus menyerahkan buah hatinya untuk dirawat di rumah sakit. Semua anak kami pernah "dirumahsakitkan" dan saya masih ingat betapa sedihnya hati kami pada saat-saat itu. Menurut saya, pengamatan Bowlby ini sangatlah berfaedah karena memberikan informasi kepada kita tentang apa yang kira-kira dialami oleh anak tatkala berpisah dari kita, orangtuanya. Ketiga tahap reaksi anak sesungguhnya mencerminkan satu objek reaksi yang sama yakni reaksi terhadap menghilangnya orang yang dikasihi dan mengasihinya. Masih dalam buku yang sama, J.C.Coleman juga melaporkan satu eksperimen tentang kera yang dibesarkan sendirian dalam kandang tanpa induk ataupun kera lainnya. Ternyata kera ini memperlihatkan perilaku yang menyimpang.Ia berdiam diri dan mendekam di sudut kandang sendirian, menampakkan wajah yang lesu dan penuh dengan ketakutan.

Sekarang saya ingin masuk ke inti pembahasan. Baik pengamatan Bowlby maupun eksperimen tentang kera menunjukkan satu hal yang jelas, yakni anak memerlukan interaksi yang hangat dengan orang tuanya. Kekurangan interaksi yang hangat dengan orangtua berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang pada diri anak. Sewaktu saya bekerja sebagai Children's Social Worker, ada satu hal yang mengganggu sanubari saya. Kami semua berusaha melindungi anak-anak yang dianiaya, disalah asuh, dilalaikan, dicabuli, dieksploitasi, dan sebagainya, dengan harapan, perlindungan dan suasana rumah yang berbeda (sewaktu mereka dirawat di rumah asuh) dapat menjadikan mereka manusia dewasa yang sehat dan matang. Namun, cukup banyak anak-anak yang bertumbuh besar menjadi pemuda-pemudi yang bermasalah.

Saya mengamati, anak yang harus berpindah-pindah rumah asuh cenderung menjadi anak yang bermasalah. Sedangkan anak yang diasuh di dalam rumah dan keluarga yang sama cenderung bertumbuh besar menjadi pemuda pemudi yang mantap. Saya kira alasannya cukup jelas. Anak membutuhkan ikatan batiniah yang permanen dengan orangtua atau pengasuhnya. Ikatan batiniah yang permanen adalah wadah terciptanya dan tumbuhnya interaksi hangat yang sangat dibutuhkan oleh anak. Tanpa ikatan batiniah, anak dapat bertumbuh besar tanpa arah dan kehilangan pegangan.

Interaksi yang mesra dan hangat dengan orangtua merangsang anak mendayagunakan semua potensi dalam dirinya. Tuhan melengkapi anak dengan kemampuan-kemampuan yang berperan besar dalam pembangunan kepribadian yang mantap. Pemberian Tuhan ini (hanya) dapat bertumbuh secara maksimal apabila anak berada di lingkungan yang aman, hangat, dan merangsang pendayagunaan kemampuan-kemampuan tersebut. Tanpa rasa aman, kehangatan, dan rangsangan yang memadai, kemampuan anak cenderung tidak tergali secara optimal. Akibatnya adalah ia akan kekurangan bahan untuk membangun penilaian dirinya yang positif.

Di samping itu, interaksi yang mesra dan hangat antara anak dengan orangtua menyediakan model atau contoh hidup yang sangat ia butuhkan dalam masa pertumbuhannya itu. Anak berpotensi dapat kehilangan pegangan dalam masa pertumbuhannya apabila ia jarang atau sedikit melihat dan berinteraksi dengan orangtuanya - yakni model atau contoh hidup itu. Pada dasarnya kita dapat mengibaratkan hidup ini dengan proses belajar yang tidak ada habisnya. Pada usia balita, kita belajar berjalan dengan cara melihat bagaimana orang di sekitar kita berjalan. Kita belajar berbicara dengan cara meniru orang di sekeliling kita berbicara. Tidak mengherankan apabila ada anak yang gaya jalan dan bicaranya persis dengan ayah atau ibunya. Bayangkan jika kita disuruh berbicara dan berjalan tanpa ada contohnya. Kita hanya akan bisa berkutat mencoba segala cara dan merasa "kehilangan pegangan". Kira-kira inilah yang dialami oleh anak yang sedang bertumbuh menjadi besar namun kekurangan interaksi dengan orangtuanya. Banyak hal dalam hidup ini yang perlu ia pelajari. Ia membutuhkan seorang guru yang dapat menjadi teladan baginya. Kehadiran orangtua yang dapat menjadi suri teladan bagi anak, akan menciptakan kepribadian anak yang memiliki pegangan.

Di rumah, saya mendapat "tugas" untuk menidurkan anak laki-laki kami. Anak kami ini senang sekali bermain dengan anjing-anjing kami dan kebetulan salah satu anjing kami memang agak galak. Sudah berulang kali saya dan istri saya mengingatkannya untuk tidak bermain telalu kasar dengan anjing tersebut. Kemarin malam sebelum tidur, kedua putri kami memberi "laporan" kepada saya bahwa putra kami bermain kasar lagi dengan anjing tersebut. Sebenarnya saya ingin memarahinya lagi namun berhubung baru beberapa hari yang lalu saya memarahinya untuk hal yang sama, saya memutuskan hanya menegurnya saja. Biasanya untuk menidurkan putra kami itu, saya hanya bercerita kepadanya. Malam itu hati saya jengkel, jadi saya tidak bercerita, dan ia pun tidak berani meminta saya bercerita (mungkin karena melihat wajah saya yang muram).

Setelah beberapa saat berlalu, dia hanya berguling-guling saja dan tidak dapat tidur, meskipun saya sudah memejamkan mata (salah satu teknik untuk menidurkan anak). Tiba-tiba ia menarik tangan saya dan meletakkannya di atas pipinya, seolah-olah meminta saya untuk menyayanginya sebelum ia tertidur. Hati saya luar biasa sedihnya melihat ia menarik tangan saya dan meletakkannya di atas pipinya. Saya baru diingatkan bahwa setiap malam sebelum tidur, saya selalu mencium dan membelai pipinya. Kemarin malam saya tidak melakukannya karena saya sedang jengkel terhadapnya. Tindakannya itu menunjukkan bahwa ia membutuhkan belaian saya dan akhirnya setelah ia meletakkan tangan saya di atas pipinya, barulah ia tertidur. Tanpa saya sadari, belaian tangan saya telah menjadi ungkapan kasih yang menimbulkan rasa damai dalam kalbunya.

Peristiwa di atas saya tuturkan kembali untuk memperlihatkan begitu banyak makna yang disampaikan kepada anak melalui tindakan-tindakan kita sehari-hari, yang nyaris tidak kita perhatikan karena tampak begitu sederhana.

Kenyataannya adalah, semua tindakan kita - betapa pun sederhananya- membawa makna-makna yang menciptakan dan memperkuat ikatan batiniah antara kita dan anak. Sesungguhnya, tindakan kita sehari-hari merupakan isyarat-isyarat yang menyampaikan begitu banyak pesan kepada anak. Misalnya, "Kami mengasihimu", "Kami memarahimu karena kami tidak ingin kamu terluka di kemudian hari", "Kami mengampunimu", dan segudang pesan penting lainnya yang ia butuh dengar dari kita, hari lepas hari.

Tidak heran, seekor kera bisa memperlihatkan sikap yang penuh ketakutan tatkala ia dibesarkan tanpa orangtuanya. Pengamatan Bowlby juga memberi kita peringatan bahwa keterpisahan anak dengan orangtua membawa dampak-dampak tertentu yang perlu kita sadari. Anak ingin dan perlu membaca isyarat-isyarat dari kita, orangtuanya, isyarat- isyarat yang menekankan bahwa ia merupakan bagian dari hidup kita yang penting. Sebagai penutup, pesan dari Gary Smalley dan John Trent mungkin baik untuk kita ingat, "Orangtua adalah alat Tuhan untuk membangun kedewasaan -kesempurnaan -dalam kehidupan seorang anak."

Dan jangan lupa, peran dan fungsi kita sebagai alat Tuhan ini hanya berlaku untuk sementara waktu saja. Jadi, gunakanlah kesempatan emas ini sebaik-baiknya. Kirimkanlah isyarat sebanyak-banyaknya! Tuhan memberkati kita sekalian.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Gaya Belajar

Dalam majalah Fokus on the family, edisi Oktober 1994, ada sebuah artikel karya Cynthia Ulrich Tobias yang menarik perhatian saya. Artikel tersebut berjudul The Way They Learn. Ny. Tobias menjelaskan bahwa ada empat gaya atau cara kita belajar (menangkap pelajaran) dan ia mendasarkan pokok pikirannya itu pada hasil riset Dr. Anthony F. Gregorc. Menurut Dr.Gregorc, ada dua hal penting yang perlu diketahui tentang bagaimanakah kita menangkap suatu pelajaran.

Pertama adalah persepsi, yakni bagaimanakah kita menangkap sesuatu. Ternyata ada di antara kita yang lebih cepat menangkap sesuatu yang nyata atau konkret dan ada yang lebih cepat menangkap sesuatu yang tidak kasatmata atau abstrak. Kedua, setelah kita menangkap sesuatu pelajaran atau informasi yang baru itu secara berurutan dan ada yang mengaturnya secara acak. Anak yang bertipe berurutan biasanya menyukai metode belajar satu demi satu sedangkan anak yang bertipe acak lebih menyukai metode belajar secara spontan tidak harus berurutan. Nah, berdasarkan keempat konsep ini, Ny. Tobias menyusun empat gaya belajar agar orangtua lebih dapat memahami cara anak mereka belajar. Setiap anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk menggunakan tipe yang lain namun biasanya anak mempunyai satu tipe yang dominan.

Anak yang bertipe Konkret Berurutan biasanya mengalami kesulitan apabila ia diminta untuk menangkap suatu pelajaran yang bersifat abstrak dan yang memerlukan daya imajinasi yang kuat. Ia cenderung menangkap pelajaran yang dipresentasikan secara verbal dan yang dapat ia lihat. Dengan kata lain, ia membutuhkan banyak contoh atau peragaan dan semua ini disajikan dalam bentuk yang sistematis dan berurutan. Istilah kunci untuk anak yang bertipe Konkret Berurutan ialah satu demi satu dan nyata. Ia tidak bisa diburu-burui sebab ia harus "mengunyah" pelajaran atau informasi yang diterimanya satu per satu. Ini tidak berarti bahwa ia lebih lamban daripada anak lainnya. Keterpakuannya pada kerapian membuatnya sukar menangkap beberapa hal pada waktu yang bersamaan.

Anak yang bertipe Abstrak Berurutan dilengkapi Tuhan dengan kemampuan bernalar tinggi. Anak ini cenderung kritis dan analitis karena ia memiliki daya imajinasi yang kuat. Pada umumnya ia menangkap pelajaran atau informasi secara abstrak dan tidak memerlukan peragaan yang konkret. Biasanya ia bersifat pendiam dan menyendiri karena ia sibuk berpikir dan menganalisa. Ia pun lebih menyukai pelajaran atau informasi yang disajikan secara berurutan atau sistematis. Bagi anak ini, istilah kunci untuk tipe ini adalah spontan dan imajinatif.

Sebaliknya, bagi anak yang bertipe Abstrak Acak, pelajaran yang disajikan secara berurutan atau sistematis tidaklah menarik. Cara belajarnya tidak teratur dan penjadwalan sangatlah menyiksanya. Ia tidak terbiasa terpaku oleh pelajaran di dalam kelas; baginya semua pengalaman hidup merupakan pelajaran yang berharga. Istilah kunci untuk tipe ini adalah spontan dan imajinatif.

Anak yang bertipe Konkret Acak adalah anak yang penuh dengan energi dan ide-ide yang segar. Ia belajar banyak melalui panca inderanya dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang memerlukan penalaran secara abstrak. Ciri praktisnya yang diperkuat oleh kemampuannya menerima pelajaran secara acak membuatnya menjadi seorang anak yang penuh dengan ide-ide yang baru. Kesulitannya adalah melakukan hal- hal yang sama sebab baginya hal ini sangatlah membosankan. Anak yang bertipe ini cenderung mengalami masalah dalam sistem pengajaran di sekolah karena ia bukanlah tipe penurut. Istilah kunci baginya adalah spontan dan nyata.

Sebagaimana kita dapat melihatnya, setiap anak (dan juga kita) belajar dengan cara yang berbeda. Sebagai orangtua atau pendidik sangatlah penting bagi kita untuk mengenal ciri belajar anak kita. Pemahaman yang tepat sudah tentu akan menghasilkan buah yang optimal. Saya teringat kesaksian Pdt. Gordon McDonald akan caranya belajar. Ia berkata bahwa dulu ia sering merasa tidak enak dengan dirinya sendiri seolah-olah ia kurang bertanggung jawab sebab sulit sekali baginya memaksa diri untuk belajar atau mempersiapkan materi khotbah dari jauh-jauh hari. Walaupun ia sudah mendisiplinkan diri untuk itu, toh tetap tidak bisa. Waktu yang paling produktif baginya adalah pada malam menjelang jatuh tempo alias semalam sebelum berkhotbah. Segala ide dan inspirasi seakan-akan muncul dengan bebasnya pada saat ia berada di bawah tekanan yang amat mendesak. Pdt. McDonald berujar bahwa pada akhirnya ia menerima kondisinya sebagaimana adanya dan malah memanfaatkannya secara efektif.

Sebagai penutup, di bawah ini akan dituliskan satu kuesioner yang dikembangkan oleh Ny. Tobias berdasarkan karya pikir Dr. Gregorc. Pembaca dapat mengisinya sendiri dan setelah itu mengisinya untuk anak anda. Siapa tahu bermanfaat!

Apakah Gaya Anda?
Paparkanlah kecenderungan Anda pada umumnya. Bubuhkanlah tanda cawang (V) pada kotak yang terletak di depan setiap kalimat yang paling mencerminkan kecenderungan Anda. Jawablah sebanyak-banyaknya kalimat-kalimat yang mencerminkan ciri-ciri Anda.

  1. Konkret Berurutan
    • Lebih suka melakukan sesuatu dengan cara yang sama.
    • Paling cocok bekerja sama dengan orang-orang yang tidak ragu-ragu dalam mengambil tindakan dengan segera.
    • Lebih tertarik akan hal-hal yang nyata atau konkret daripada mencari-cari suatu makna yang tersembunyi.
    • Lebih menyukai ruangan yang bersih dan rapi.
    • Bertanya, "Bagaimanakah saya mengerjakannya?"
  2. Konkret Acak
    • Memecahkan masalah dengan kreatif.
    • Bertindak tanpa pikir panjang.
    • Paling cocok bekerja sama dengan orang-orang yang dapat mengikuti saya.
    • Menyukai perubahan-perubahan di sekitar saya.
    • Memilih hanya mempelajari hal-hal yang perlu diketahui.
  3. Abstrak Berurutan
    • Menginginkan sebanyak mungkin informasi sebelum mengambil suatu keputusan.
    • Membutuhkan waktu yang cukup untuk mengerjakan suatu tugas dengan baik.
    • Lebih suka menerima pesan-pesan atau penugasan dalam bentuk tulisan daripada sekadar lisan.
    • Ingin tahu darimanakah orang itu mendapatkan faktanya.
    • Bertanya, "Di manakah saya bisa memperoleh lebih banyak informasi?"
  4. Abstrak Acak
    • Lebih suka mengecek dengan orang lain dulu sebelum mengambil keputusan akhir.
    • Berusaha peka dengan perasaan orang lain.
    • Mudah bekerja sama dengan orang lain.
    • Tidak merasa terganggu dengan ruangan yang berantakan.
    • Meminta pendapat orang lain sewaktu merasa bimbang.

PERTANYAAN ANDA
Dr. Paul Gunadi

Kepala saya sering pusing, namun pemeriksaan medis menunjukkan bahwa saya sehat dan tidak ada gangguan apa-apa. Dapatkah Bapak memberikan penjelasan atas gejala yang saya alami ini?

Apabila dokter medis sudah menyatakan bahwa Anda sehat dan tidak menderita gangguan apa pun, dugaan saya adalah Anda menderita gangguan psikosomatik, yaitu gangguan fisik yang disebabkan oleh faktor kejiwaan. Dalam kasus Anda, saya meminta Anda untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini: 1. Bagaimanakah Anda bereaksi tatkala orang lain melukai perasaan Anda? Berdiam diri atau mengkonfrontasikannya? 2. Akhir-akhir ini seringkah Anda dilukai oleh orang lain atau tertekan oleh situasi tanpa Anda berdaya untuk mengatasinya? 3. Mudahkah bagi Anda mengungkapkan atau membicarakan perasaan Anda dengan orang lain?

Apabila jawaban Anda untuk Pertanyaan 1 adalah berdiam diri, Pertanyaan 2 adalah sering, dan Pertanyaan 3 adalah tidak, kemungkinan besar memang Anda sedang menderita tekanan atau stres yang berlebihan namun tidak dapat diatasi. Stres yang berlebihan acap kali mengakibatkan ketegangan secara fisik dan yang biasanya terpengaruh adalah otot-otot di sekitar bahu dan leher. Ketegangan di sekitar bahu dan leher menjalar ke kepala, yang akhirnya Anda rasakan sebagai rasa pusing atau pening.

Saya mohon maaf oleh karena keterbatasan ruangan, saya tidak bisa membahas penyelesaiannya. Di samping itu, saya memang tidak dapat membicarakan penyelesaiannya secara terarah tanpa saya mendengar lebih lanjut tentang penyebab ketegangan Anda. Saya sarankan agar Anda menghubungi gembala sidang Anda atau kami di sini untuk konsultasi lebih lanjut. Terima kasih.

CATATAN REDAKSI
Dr. Yakub B. Susabda

Sekali lagi kita memikirkan tentang hubungan orangtua-anak dan tanggung jawab pendidikan yang Allah berikan pada mereka. Satu topik yang tak pernah usang oleh waktu maupun lapuk oleh karena kelemahan yang tak kunjung teratasi. Saya sering mendengar keluhan orangtua Kristen yang merasa bahwa masalah pendidikan bukan hanya masalah kurangnya pengetahuan orangtua atas prinsip-prinsip pendidikan yang benar. Mereka mengakui betapa pengenalan akan prinsip-prinsip pendidikan Kristen, bahkan kemauan dan usaha baik untuk menerapkannya tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik. Dan penyebabnya bukan penolakan, dosa, atau kesalahan si anak. Sebagai orangtua, mereka umumnya memahami apa yang sedang terjadi, oleh sebab itu mereka cenderung frustasi karena masalah tersebut sebenarnya adalah masalah kelemahan dan ketidakkonsistenan mereka sendiri.

Lawrence Richards menyebut gejala ini sebagai gejala isolated beliefs ("A Theology of Christian Education," Zondervan, 1975, p.63). Maksudnya, sebagai orang-orang Kristen, mereka percaya akan kebenaran prinsip-prinsip pendidikan yang dipelajari, tetapi kepercayaan yang didasarkan pada pengetahuan rasional tersebut ternyata tidak menghasilkan sikap, dorongan, dan kekuatan untuk betul-betul dilaksanakan. Alhasil, belajar puluhan tahun dan mengenal ratusan prinsip pendidikan tidak dengan sendirinya membuat mereka menjadi orangtua Kristen yang lebih bijaksana. Realitas ini merupakan skandalon dan "duri dalam daging" dalam dunia pendidikan Kristen. Allah seolah-olah tak berkuasa mengubah dan memperbaharui umat-Nya meskipun mereka sudah mempunyai pengetahuan akan kebenaran, bahkan kerinduan dan tekad yang benar untuk menerapkannya. Rupanya masih ada "prasyarat lain" yang belum terpenuhi sebelum Roh Kudus memperbaharui orang-orang percaya. Apa benar demikian?

Lawrence Richards mengatakan bahwa ini hanya masalah metode yang belum pas. Seharusnya setiap kebenaran diajarkan dalam konteks real situations di mana kebenaran dipelajari dalam konteks pengalaman hidup yang riil dengan kebenaran tersebut. Misalnya mempelajari prinsip "understanding" (penuh pengertian) dalam konteks "sikap anak yang melawan dan kurang ajar terhadap orangtuanya". Sehingga sebagai orangtua, mereka akan langsung melihat, memahami bahkan menemukan komponen-komponen, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam diri si anak, yang menjadi kendala penerapan prinsip kebenaran understanding tersebut.

Pendidik yang lain melihat masalah tersebut sebagai masalah sistem yang tidak kondusif dalam kehidupan keluarga. Dalam sistem yang tidak kondusif, tidak ada ruang dan kesempatan untuk menerapkan kebenaran-kebenaran yang dipelajari. Oleh sebab itu penanggulangan masalah di atas haruslah merupakan pembaharuan dan perombakan sistem. Coba bayangkan, betapa besarnya dorongan untuk menerapkan kebenaran prinsip-prinsip pendidikan Kristen yang sudah dipelajari, jikalau dalam sistem kehidupan keluarga, suami-istri kompak, jalur komunikasi antara orangtua dan anak terbuka, dan penerapan prinsip kebenaran didukung oleh seluruh anggota keluarga.

Apakah sebenarnya masalah yang sedang kita gumulkan? Mungkin benar ini adalah masalah metode, mungkin pula benar ini masalah sistem, tetapi apa pun masalahnya, kita patut bersyukur kepada Tuhan jikalau para orangtua Kristen peka dan melihat masalah ini sebagai masalah serius yang harus diselesaikan. Paulus mengatakan, "Berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (I Kor. 15:58).

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 1995)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI