Apakah Pernikahan Kami Masih Dapat Diselamatkan?

Dr.Yakub B. Susabda

Pertanyaan yang nadanya pesimistis ini sering saya dengar melalui mulut orang-orang yang berkonsultasi dengan saya. Mereka mengemukakan pergumulan yang mendalam dan sering kali sangat menyakitkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Mengapa demikian? Ah, tentu ada berbagai penyebabnya. Tetapi salah satu sebab yang sering dikemukakan adalah perasaan dan keyakinan (yang tentunya didukung oleh fakta) bahwa suaminya/istrinya tidak mencintainya lagi. Mereka mengatakan, "Kalau sudah tidak ada cinta, untuk apa diteruskan? Kalau sudah tidak ada cinta, apakah pernikahan masih bisa diharapkan?

Memang pernikahan tanpa cinta sulit untuk dapat diperbaiki. Tetapi apakah sebenarnya cinta itu ? Apakah perasaan menyenangkan pada saat-saat permulaan pernikahan pasti merupakan manifestasi dari cinta? Apakah perubahan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan selalu merupakan bukti sudah hilangnya cinta? Apakah kata-kata yang mengkonfirmasikan tidak adanya cinta adalah bukti bahwa cinta benar- benar sudah tidak ada lagi?

Pernah seorang Ibu bercerita bahwa pada saat bertengkar, suaminya sering mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan. Seperti, "Aku sudah muak dan bosan dengan kamu. Kamu perempuan yang tidak berharga sama sekali. Kalau saya belum meninggalkan kamu, itu semata-mata oleh karena anak-anak. Aku menyesal mengapa dulu tidak menikah dengan si A (bekas pacarnya).

Kata-kata ini memang benar-benar merupakan konfirmasi dari tidak adanya cinta. Dan benar-benar dalam hatinya ada kekecewaan dan rasa bosan terhadap istrinya. Bahkan tidak dapat disangkal ia masih menyimpan rasa suka terhadap bekas pacarnya. Tetapi, apakah ini semua merupakan bukti yang otentik bahwa cintanya pada istrinya sudah tidak ada lagi?

Masalah ini merupakan masalah yang rumit. Karena hanya mereka yang memahami psikologi dengan cukup baik yang dapat memahami pula yang sesungguhnya terjadi dalam jiwa si suami.

Kapan kata-kata yang buruk itu diucapkan? Dalam kondisi apakah si suami sampai mengucapkan kata-kata sedemikian? Apakah ia betul-betul mengucapkan dengan penuh kesadaran? Apakah memang hal-hal yang diucapkannya itulah yang dikehendakinya?

Ternyata sering kali tidak demikian, dengan jujur si istri mengatakan bahwa di luar pertengkaran, si suami adalah seorang suami yang baik. Ia sabar, penuh perhatian, lembut dan setelah bertengkar, ia betul-betul menyesal dan meminta maaf. Sebagai orang Kristen, ia sangat membenci perbuatan dan kata-kata yang ia ucapkan pada saat itu.

Cinta dalam hubungan suami-istri benar-benar mengandung banyak misteri. Antara kebutuhan, realitas, perasaan, persepsi, penafsiran dan komunikasi terdapat berbagai macam manifestasi kebenaran (truth) yang harus dikenali dan dipatuhi a.l.:

  1. Kalaupun apa yang dikatakan si suami pada saat bertengkar betul- betul dari dalam hatinya, tak berarti si suami sudah tidak mencintai istrinya lagi.

    Apa yang ada di dalam hati manusia betul-betul merupakan suatu misteri tersendiri. Banyak orang menyimpan berbagai memori (kenangan) yang busuk dan tidak sepantasnya di dalam hati mereka tanpa mereka dapat membuangnya begitu saja. Kenangan yang tersimpan dalam alam bawah sadar dan setengah sadar (unconscious dan preunconscious) itu sering kali begitu saja memanifestasikan diri di luar kendali orang yang bersangkutan. Dan itu terjadi terutama pada saat-saat kritis (mis: marah) atau pada saat orang tersebut mengalami kekosongan jiwa (mis: melamun).

    Dalam kasus di atas, si suami mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya pada saat marah. Apakah yang dikatakannya itu benar- benar dari dalam hatinya? Tentu saja ya. Apakah ia masih memiliki rasa tertarik pada bekas pacarnya? Tentu saja ya. Apakah ia pernah muak dengan istrinya? Tentu saja ya. Itu semua realitas yang ada dan tersimpan di dalam lubuk hatinya. Dan tidak seorang pun, termasuk dirinya sendiri yang dapat membuang itu begitu saja.

    Jadi, yang dikatakan si suami pada saat marah itu betul-betul realitas yang ada di dalam hatinya. Tetapi ketidakhadiran realitas itu di dalam hatinya tak berarti ia tidak mencintai istrinya. Kebenaran yang objektif mesti dikenali. Kita perlu bertanya, "Apakah dan bagaimanakah sikap hati yang sesungguhnya dari si suami? Apakah kehadiran memori bahkan perasaan yang tidak pantas itu disukai dan dinikmatinya? atau sebagai anak Tuhan, ia membencinya dan selama bertahun-bertahun sudah menggumuli untuk membuangnya meskipun ia belum berhasil?"

    Di sinilah letak truth (kebenaran) di belakang fenomena tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah suami yang baik walaupun ia masih mempunyai kenangan dan perasaan yang tidak sepantasnya. Bahkan jikalau pada saat marah ia slip of tongue dan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati istrinya.

    Bukankah rasul Paulus yang begitu agung juga bergumul dengan fenomena yang serupa? Ia mengeluh, "Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku hendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat...tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku...(Roma 7:15,23).

  2. Bahkan jikalau si suami sampai jatuh ke dalam pencobaan, tetap tidak dapat dikatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak dapat diharapkan lagi.

    Kadang-kadang kita menjumpai realitas yang lebih menyakitkan lagi. Bukan hanya pada saat bertengkar si suami mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, tetapi terbukti ia jatuh, bahkan mungkin ia jatuh berkali-kali dalam pencobaan.

    Dalam percakapan konseling tadi, si istri akhirnya menceritakan hal yang jauh lebih menyakitkan lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan tentang hubungan suaminya dengan bekas pacarnya, yang masih berkelanjutan sampai sekarang. "Ia masih sering menelpon suami saya, minta tolong ini dan itu. Misalnya urusan perpanjangan SIM baru-baru ini. Ia kan punya suami. Mengapa minta suami saya yang mengurusi? Saya tidak tahu apa saja yang mereka berdua lakukan.

    Untuk cerita ini, si suami mengaku memang semuanya itu benar, dan bahkan ia mengatakan, "Saya memang bukan suami yang baik, tapi saya sendiri tidak tahu mengapa saya selalu tidak dapat menolak permintaannya. Bahkan terus terang saya akui, kadang-kadang saya sendiri yang mau. Saya benci sekali dengan kelemahan saya ini. "Apakah pernikahan mereka masih dapat diharapkan? Jawabannya, sekali lagi, ya.

    Dalam kasus-kasus seperti ini, kita sebenarnya dapat membedakan antara suami yang sengaja (mau menghancurkan rumah tangganya sendiri) dengan suami yang tidak sengaja. Untuk yang pertama, Paulus bahkan mengatakan,"Kalau mereka mau bercerai, silakan." (I Kor. 7:15). Karena bagi orang yang melawan kebenaran, segala sesuatu yang baik sulit untuk diharapkan. Kalau mereka mempunyai masalah dalam pernikahan, masalah terbesar hampir mustahil untuk dapat diselesaikan dengan baik. Tetapi lain halnya dengan kasus ketidaksengajaan dan ketidakberdayaan pribadi.

    Banyak orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan dan kondisi keluarga yang kurang condusive untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Akibatnya setelah dewasa, mereka mengalami banyak kesulitan dalam membina hubungan dan kerja sama dengan sesamanya. Dan mereka menghadapi persoalan-persoalan yang seharusnya tidak perlu dihadapi. Kadang-kadang, seperti si suami yang tadi, bentuknya adalah ketidakberdayaan untuk menolak pencobaan. Meskipun hati nuraninya sadar dan mengatakan tidak, tetapi dengan kepribadiannya yang lemah, ia toh melakukan hal yang kemudian ia sesali.

    Memang setiap individu harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Tetapi perlu juga dipahami bahwa hal memikul tanggung jawab bukanlah penyelesaian pada dirinya sendiri. Ia harus bertobat, mendisiplinkan diri, menciptakan sistem kehidupan yang baru yang tidak memberi peluang untuk pencobaan, bahkan bertekad untuk memulai suatu kehidupan doa dan puasa, plus kerelaan untuk menerima terapi dari orang yang tepat.

    Banyak individu yang mempunyai kelemahan seperti si suami tadi. Mereka bukan hanya sering kali melukai hati pasangannya dengan kata- kata yang tidak sepatutnya, mereka diwarnai oleh kejatuhan dan kegagalan dalam membuktikan cinta dan kesetiaannya.

    Apakah pernikahan dengan individu seperti ini merupakan pernikahan yang sudah tidak dapat diharapkan lagi? Saya yakin, sebagai orang percaya, tidak seharusnya kita mengatakan demikian. Karena "...dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (I Kor. 15:58).

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Hitam-Putih

Dr. Paul Gunadi

Ada beberapa ciri pola pikir yang dapat menimbulkan depresi, salah satunya adalah pola pikir hitam-putih. David Burne menyebutnya pola pikir All or Nothing. Pola pikir ini memisahkan segala peristiwa yang dialami ke dalam dua kategori, misalnya baik-buruk, dipercaya- tidak dipercaya, atau dihargai-tidak dihargai. Saya berikan satu contoh lagi untuk memperjelas konsep pola pikir hitam-putih cenderung memandang persahabatan dari dua sudut yang ekstrem: "Menjadi sahabatku berarti bersedia menolongku dan membelaku kapan saja dan untuk apa saja; jika tidak bersedia, berarti engkau bukanlah sahabatku." Atau, "Jika tidak mengasihiku berarti engkau tidak menyukaiku!" Sebagaimana Saudara dapat lihat, pola pikir ini dapat muncul dalam pelbagai bentuk, namun sumbernya tetap satu, yakni kekurangmampuan memandang hidup secara lebih fleksibel. Pola pikir ini memiliki satu kelemahan yang utama yaitu gagal melihat untaian yang menghubungkan kedua kutub kategori hitam-putih.

Salah satu tangkai yang merambah keluar akar pola pikir hitam-putih ialah melihat orang lain dari kacamata, "Orang lain menyukaiku atau tidak menyukaiku." Saya kira pola pikir yang tidak sehat ini menjangkiti sebagian dari kita pula. Pola pikir ini tidak memberi celah kepada orang lain untuk menempati posisi netral. Seolah-olah kita memaksa orang untuk mengambil sikap yang ekstrem (yang sebetulnya sama sekali. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem, kita mungkin saja memutuskan bahwa tidak menyukai kita adalah sama dengan membenci kita. Kita menolak kemungkinan bahwa di dunia ini ada orang yang tidak terlalu mengasihi(menyukai) kita namun juga tidak membenci kita. Perasaannya terhadap kita biasa-biasa saja alias netral. Masalahnya hal inilah yang tidak kita izinkan terjadi: Orang tidak boleh sekedar "biasa-biasa" saja terhadap kita. Secara langsung pola pikir ini mempengaruhi relasi kita dengan orang lain dan juga menggerogoti diri kita secara perlahan-lahan. Marilah kita telaah masalah ini secara lebih seksama; pertama etiologinya (asal- muasalnya), kemudian dampaknya dan terakhir cara penanggulangannya.

Pola pikir "Anda menyukaiku atau tidak menyukaiku" sebenarnya dapat bersumber dari dua tipe hubungan orangtua-anak yang saling berlawanan. Tipe pertama adalah hubungan orangtua-anak yang ditandai dengan banyaknya pujian dan penerimaan berkondisi. Di sini orangtua seakan-akan mengagung-agungkan anaknya karena memang anak itu (kehadirannya) semata-mata telah memenuhi kebutuhan atau kekosongan dalam diri orangtua. Pujian memang perlu diberikan dan jika disampaikan secara tepat akan berfaedah besar dalam pembentukan konsep diri anak yang positif. Sebaliknya, pujian yang berlebihan dan menjurus ke arah pengagungan akan membengkakkan konsep diri anak.

Bak balon yang kelebihan udara nyaris meledak berhubung menipisnya kulit balon, demikian pulalah diri anak yang kelebihan pujian. Konsep dirinya sekilas tampak bersinar positif namun sesungguhnya ketahanannya sangat rentan. Ia sukar mengakui kegagalan dan beriktiar terlalu keras untuk menggapai pujian dari orang lain. Reaksi orang lain yang hampa pujian ditafsirnya sebagai tanggapan yang tidak simpatik terhadapnya. Dan dari sinilah mulai bersemi bibit pola pikir hitam-putih, "Jika engkau tidak mengasihiku (memujiku), maka engkau membenciku dan tidak menghargaiku."

Sumber kedua merupakan kebalikan dari tipe pertama. Di sini corak hubungan orangtua-anak ditandai dengan banyaknya penolakan dan penghinaan yang diterima anak dari orangtuanya. Begitu banyaknya kata-kata penolakan yang didengarnya sehingga anak haus akan penerimaan dan pujian. Betapa rindunya anak mendengar perkataan, "Engkau anak yang pintar" sebab yang sering terlontar dari bibir orangtua adalah, "Engkau bodoh". Besar kemungkinan anak ini pun akhirnya bertumbuh besar dengan membawa pola pikir hitam-putih. Tanpa disadarinya, ia pun mulai berpikir, "Orangtuaku tidak menyukaiku, aku harus mencari orang yang menyukaiku!" Perlahan-lahan ia pun mulai memilah tanggapan orang dalam dua kategori, "Apakah mereka seperti orangtuaku (tidak menyukaiku) ataukah mereka menyukaiku?" Usahanya mendapatkan acungan jempol dari orang lain menjadi besar, sedangkan ketahanannya menerima penolakan sangatlah tipis.

Jika kita perhatikan dengan seksama, sekurang-kurangnya ada dua persamaan di dalam kedua kondisi yang melahirkan pola pikir hitam- putih ini. Pertama ialah kehampaan penerimaan anak apa adanya dan kedua, penggunaan label untuk melukiskan siapa anak itu. Berbeda dengan kondisi sumber kedua yang dengan jelas mencerminkan penolakan terhadap anak, pada hakikinya kondisi sumber pertama pun berisikan penolakan terhadap anak apa adanya, namun secara sekilas tidak terlalu tampak. Yang diagungkan orangtua adalah kelebihan anak sedangkan kelebihan anak tidaklah mewakili siapa diri anak seutuhnya. Atau, di dalam kasus pemujaan terhadap anak yang didasari atas pemenuhan kebutuhan orangtua (misalnya, orangtua yang sangat menantikan kelahiran seorang putra). Di sini sebenarnya orangtua juga tidak menerima anak apa adanya sebab yang dilihat orangtua adalah lambang atau simbol yang diwakilkan dengan kehadiran anak itu (misalnya, seorang putra melambangkan kebanggaan orangtua dan keluarga).

Persamaan kedua berkenaan dengan penggunaan label, seperti "Anak pintar" atau "Anak bodoh". Anak yang memiliki banyak kelebihan akan mendengar banyak pujian sedangkan yang kurang akan menerima celaan. Label-label ini pun tidak mencerminkan anak seutuhnya. Sepintar- pintarnya anak, pasti ada hal-hal yang tidak dilakukannya dengan terlalu baik. Sebaliknya, sebodoh-bodohnya anak, tentu ada hal-hal yang dikuasainya dengan mahir. Label hanyalah melambangkan penilaian terhadap sisi tertentu; label tidaklah mampu menguakkan siapa diri anak seutuhnya. Jadi penekanan terhadap label tertentu berpotensi menjerumuskan baik orangtua maupun anak ke konsep diri anak yang tidak seimbang dan tidak menyeluruh.

Apa dampaknya pada anak dan relasinya dengan orang lain? Perlakuan orangtua terhadap anak yang tidak menerima anak "apa adanya" dan "seutuhnya" dapat membuat anak tidak menerima dirinya "apa adanya" dan "seutuhnya" pula. Ia sukar menerima kelemahan dirinya dan dalam kasus yang ekstrem, ia menjadi buta terhadap kelemahan dirinya. Teguran atau saran orang lain terhadap kelemahan dibacanya sebagai , "Ia belum mengenal siapa diriku sebenarnya". Jika konsep dirinya terpancang terlalu kaku, ia pun mulai mengkategorikan mereka yang mengkritiknya (atau bahkan tidak memujinya) sebagai orang yang tidak berpihak padanya (bahkan tidak menyukainya). Dalam kasus di mana anak tidak menerima perlakuan orangtua yang melihat dirinya seutuhnya, ia pun mulai mengikuti jejak yang sama: Ia hanya melihat kekurangan dirinya. Jadi, dalam kasus pemujaan, anak tidak bisa menerima diri apa adanya (termasuk kelemahannya, karena hanya melihat kelebihan); sebaliknya dalam kasus penolakan, anak tidak dapat melihat diri seutuhnya (hanya melihat kelemahan, tidak bisa melihat kelebihan).

Tanpa disadari, ia pun mulai memperlakukan orang lain dengan pola yang serupa. Anak yang diagungkan sukar menerima kelemahan orang lain sedangkan anak yang ditolak sulit menerima kelebihan orang lain. Namun yang terlebih penting adalah ia telah menggariskan hidup dalam dua kutub dan pola pikir ini menyusahkan orang yang hidup dekat dengannya. Orang tidak dapat hidup bebas dengannya karena tanggapan yang sedikit mencela atau negatif sudah secara otomatis dimasukkan ke dalam kotak "Engkau tidak menyukaiku." Tanpa disadari, ia pun mendorong orang masuk ke dalam perangkap yang telah menjeratnya sejak kecil.

Yohanes 8:32 berisikan janji Tuhan bahwa kebenaran-Nya akan memerdekakan kita. Saya sadari bahwa kebenaran yang sedang dibicarakan oleh Tuhan Yesus dalam bagian ini adalah kebenaran dalam konteks keselamatan melalui karya penebusan-Nya. Namun, saya ingin memperluasnya dalam pengertian, bukankah kebenaran (hidup dalam kebenaran yang telah digariskan Tuhan) juga memerdekakan kita? Tidak perlu lagi persembunyian, tidak ada lagi kepura-puraan, sebagaimana kita dapat saksikan dari kehidupan Tuhan Yesus. Bukankah kehidupan- Nya mengajarkan kita apa itu sebenarnya hidup yang bebas? Ia tahu siapa diri-Nya dan bertindak apa adanya dan seutuhnya. Pandangan-Nya terhadap orang lain didasari atas penerimaan apa adanya; perlakuan- Nya terhadap yang lain dialasi atas pengenalan yang seutuhnya. Ia tidak memilah-milah orang karena ia tidak memilah-milah diri- Nya.

Saya menyadari bahwa masukan saya ini terbatas dan seakan-akan tidak berdaya melepaskan Saudara dari belenggu hitam-putih ini. Kuasa penyembuhan berasal dari sumber kebenaran itu sendiri, yaitu Kristus Tuhan. Namun, saudara perlu mengambil langkah pertama, yakni mulai dengan diri sendiri dulu. Mohonlah kepada Tuhan agar Ia mencelikkan mata kita sehingga kita dapat melihat diri dengan lebih jelas. Selanjutnya, mintalah sentuhan-Nya agar Ia mengingatkan kita tatkala kita terjebak masuk ke dalam pola pikir hitam-putih ini. Terakhir, dengan kekuatan-Nya lawanlah pola pikir ini. Secara sadar, ambillah keputusan untuk menerima diri apa adanya dan seutuhnya. Setelah itu perbuatlah yang sama kepada orang lain. Tolaklah pikiran yang dengan cepat dan mudah mengkategorikan hidup serta orang lain. Jangan mengambil kesimpulan terlalu cepat. Ingatlah bahwa informasi yang kita miliki biasanya tidak lengkap dan terbatas. Semoga Tuhan menyertai kita semua.

RETROSPEKSI
Dr. Yakub B.Susabda

Pergumulan dalam anak-anak Tuhan kadang-kadang di luar dugaan. Kehidupan kristiani yang nampak dari luar begitu bagus sering kali hanya merupakan kertas pembungkus hadiah yang manis untuk dipandang. Filsuf Rusia Feodor Dostoevsky pernah mengatakan bahwa, "Di tengah kedalaman lubuk hati manusia ada rahasia yang orang tak mungkin bukakan kecuali pada sahabat dekatnya. Itupun sering kali dengan cara yang sangat hati-hati. Meskipun demikian, di samping itu ia masih menyimpan rahasia lain lagi yang tak mungkin ia ceritakan kepada sahabat tersebut, karena ia hanya dapat menyingkapkannya kepada dirinya sendiri. Dan yang lebih mengherankan lagi, di samping rahasia-rahasia tersebut, ia ternyata masih menyimpan rahasia yang lain lagi, yang begitu memalukan sampai kepada dirinya sendiri pun ia takut untuk menyingkapkannya.

"Ah, apakah sebenarnya manusia," kata Daud (Maz.8:5-7). Manusia menyimpan begitu banyak rahasia. Batinnya merupakan suatu dunia tersendiri, yang kadang-kadang menyimpan hal-hal yang ia sendiri tidak sadari." Untuk itu, Daud yang pernah terjebak, mengajar kita untuk selalu berdoa, "bebaskanlah aku dari apa yang tidak kusadari." (Maz.19:13). Ia sadar, sering kali ia sudah terjebak dan melakukan dosa tanpa ia dapat mencegahnya. Kadang-kadang sebelum ia sempat berpikir, pikiran jahat sudah hadir dan begitu cepat ia melibatkan dirinya dengan dosa. Dan untuk melayani kemauan dosa tersebut, ia sampai menjadi pembunuh dan pezinah (II Sam.11). Ia sangat menyesal, tapi perbuatan dosa telah dilakukan. Tidak heran dalam salah satu mazmurnya, ia meratap,"Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa....Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahu hikmat kepadaku." (Maz.51:6-8).

Sekarang bagaimana tanggapan kita menghadapi realitas dosa ini? Pertama, kejujuran. Kejujuran adalah suatu tindakan yang "mengangkat ke permukaan, ke alam kesadaran" apa yang sedang terjadi dalam batin kita.

Pada tanggal 21 Juli 1976, Presiden terpilih AS, seorang Injili yang aktif, Jimmy Carter, membuat pernyataan yang sangat mengagetkan. Di hadapan para wartawan di depan rumahnya di Plains, Georgia, ia mengatakan: "I've looked on a lot of women with lust. I've committed adultery in my heart many times. This is something that God recognizes I will do - and I have done it - and God forgives me for it." (Saya sudah memandangi banyak wanita dengan nafsu birahi. Sering kali saya berzinah di dalam hati saya. Allah mengetahui apa yang akan dan sudah saya lakukan dan Ia mengampuni saya*) (Mel White, Lust, the Other Side of Love, Old Tappan, New Jersey: Fleming & Revell, 1978,p.11).

Ia jujur, ia sadar dan ia tidak membiarkan itu semata-mata menjadi rahasia yang tersimpan di dalam hatinya. Ia ingin menyelesaikannya, oleh sebab itu dengan resiko berat diejek dan dipermalukan, ia berani membuat pernyataan terbuka. Sampai majalah porno Playboy memuat pernyataan tersebut dalam bentuk cerita yang sinis tentang dia (Sept.20,1976).

Kedua, pengenalan akan akar persoalannya. Seorang hamba Tuhan pernah mengatakan, "Christ is the answer, but what is the question?" ("Kristus adalah jawabannya, tetapi apakah sebenarnya pertanyaan kita? Apakah kita mengerti apa yang kita tanyakan?")

Hambatan yang terbesar untuk penyelesaian persoalan sebenarnya bukanlah materi persoalan itu sendiri, melainkan bagaimana pengenalan kita akan akar persoalan tersebut. Apakah sebenarnya persoalannya? Apakah ia berzinah karena kekosongan dalam jiwanya atau karena kebutuhan love dan acceptance. Apakah ia berzinah untuk menghancurkan pernikahannya (intentionally) atau karena ia belum dapat mengontrol dan mematikan kebiasaan lamanya. Apakah ia berzinah karena tergoda dan jatuh atau karena ia mencari dan menginginkannya? Jadi, sepuluh kasus perzinahan mempunyai sepuluh kemungkinan akar persoalan yang berbeda. Pengenalan akan akar persoalan inilah yang diperlukan untuk dapat mengatasi realitas dosa yang tidak disadari. Tuhan kiranya memberkati hati yang peka dan tulus mencintai kebenaran.

Sumber
Halaman: 
--
Judul Artikel: 
Parakaleo (Edisi Juli - Sept. 1996)
Penerbit: 
Departemen Konseling STTRI